Senin, 01 Agustus 2016

Sang Pengendara Dan Kesunyian Malam

    

Luar biasa sekali, hari ini sudah tengah malam tapi masih saja bekerja, memang sesuatu sekali. Keluh seorang pekerja dalam hati yang baru pulang dari tempat kerjanya. Dia pacu sepeda motornya dengan kecepatan yang lumayan konstan, tidak lebih tidak kurang, pas pada garis diangka 60 km/h. Deru angin malam mencucuk bagian tubuhnya yang tidak terbungkus oleh kain-kain tebal dari baju hangat dan celana serta sepatunya. Cahaya bulan bersinar terang, berwarna kuning menyilaukan walaupun tak sesilau sinar matahari ditengah hari. Untunglah malam ini cerah, tidak ada tanda-tanda akan turun hujan lagi, padahal dari pagi tadi, ah tidak, dari subuh tadi hujan terus menerus turun secara konstan sampai senja tiba. Seakan-akan langit menangis tersedu-sedu dan baru berhenti setelah lelah serta tidak ada yang mau peduli lagi dengan tangisannya.
Jalanan kota ini sudah sepi sekali pikirnya, tidak ada kendaraan lagi yang lalu-lalang tidak ada lagi stand-stan makanan yang setiap malam berjualan menjajakan hasil karya mereka dipinggiran trotoar jalan karena hari ini sudah tengah malam yang sudah lebih dari larut malam. Yang tersisa hanya angin malam yang berhembus mesra melayangkan daun-daun yang gugur berwarna coklat dari pepohonan yang berjejer rapi disepanjang pinggiran jalan.
Tidak ada yang tersisa lagi dari malam ini, semuanya sudah tidur. Bahkan lampu merah dan hijau dari ‘traffic light’ pun sudah beristirahat karena sudah terlalu lelah bergantian menyala sepanjang hari ini, untuk membantu para aparat penegak keadilan dalam mengatur lalu lintas yang masih terksesan semrawut jika tidak diatur. Berganti dengan lampu berwarna ‘kuning’ yang sedari tadi terus berkedap-kedip seperti mengisyaratkan agar berhati-hati sepanjang jalan in.
Seperti domba-domba dipadang ilalang yang tidak akan pulang jika tidak digiring sang tuan pemilik. Kenapa kita tidak seperti merpati saja yang bisa pulang tanpa harus digiring sang tuan. Sungguh berbeda sekali, walaupun mereka sama-sama putih tapi wataknya berbeda. Layaknya kita manusia yang walau hampir semua kepala berwarnya hitam tapi isi pikiran adalah milik kita masing-masing.
Lucu sekali, desah pengendara itu sambil memelankan laju motornya, karena memang tidak ada yang dia kejar lagi. Jadi untuk apa harus cepat-cepat sampai ?? Bukankah lebih baik kalau kita nikmati saja malam ini, katanya dalam hati. Jarang-jarang bisa merasakan momen seperti ini.
‘Tidak setiap malam bisa begini’, katanya berkata pada dirinya sendiri.
Sebuah ide liar terlintas dipikirannya saat itu, tentang bagaimana untuk bisa memaksimalkan kesempatan yang dia dapat untuk menikmati malam ini. Sepeda motor yang memang sudah sejak tadi dia coba pelankan, kemudian dihentikan. Disebuah badan jalan dia berenti dan menetralkan gear motornya. Dia buka helmnya yang sejak tadi dia pakai sedari dia memulai perjalanan dari parkiran tempat dia bekerja. Baru sejenak hidungnya yang tadi terbekap oleh pelindung kepalanya bersentuhan dengan alam bebas, tercium olehnya wangi udara malam selepas hujan yang khas itu.
Wangi tanah yang terangkat seperti menguap karena dibasahi oleh air hujan tercium dengan jelas. Sebuah kesempatan yang mungkin tidak bisa didapatkan kalau tidak dilakukan dalam kesunyian malam. Langit-langit hidungnya yang sejak dari pagi tadi selalu bersentuhan dengan wangi udara yang sudah terkontaminasi dan terprovokasi oleh peralatan-peralatan mekanis buatan manusia seperti air conditioner, menjadi seakan-akan dibelai manja oleh udara ciptaan alam nan segar dimalam ini.
‘Begini lebih terasa menyejukkan rasanya’, desah sang pengendara itu sambil menghirup dalam-dalam udara yang ada disekitarnya layaknya seorang yang serakah akan nikmat Tuhan pada malam itu, agar bisa sebanyak-banyaknya mendapatkan gas oksigen versi udara malam.
Seakan-akan dia sedang berlomba-lomba dengan pepohonan besar yang ada disekelilingnya yang juga membutuhkan oksigen juga karena sepanjang siang tadi sudah dengan dermawannya membagikan oksigennya kepada para manusia.
Ah, kalau saja paru-paruku tidak sekecil ini diciptakan Tuhan. Ingin aku hirup sedalam-dalamnya dan sebanyak-banyaknya udara malam ini. Kembali pengendara itu berbicara dengan dirinya sendiri, dia berbicara dengan dirinya sendiri bukan karena dia sedang tidak waras pikirannya karena keracunan gas oksigen (memang pernah ada terdengar orang keracunan oksigen ?? Ah ada-ada saja kau ini), tapi memang karena sudah tidak ada orang lain yang bisa diajaknya berbicara untuk berbagi pengalaman ini.
Setelah puas berhenti disatu sisi jalan dari beberapa bagian jalan menuju rumah, pengendara itu seakan teringat oleh satu hal. Dilihatnya jam tangan model lama ditangan kirinya, jam tangan pemberian sang kekasihnya dahulu, atau tepatnya pemberian dari mantan kekasihnya. Pemberian yang diberikan sebagai tanda selamat atas sebuah pertambahan umurnya ketika usianya beranjak tujuh belas tahun.
Masih teringat dibenaknya saat itu jam itu diletakkan dalam sebuah kotak plastik berwarna putih, warna kesukaannya. Kemudian setelah itu kotak itu dibalut oleh kertas kado bermotif lambang sebuah klub sepak bola kesukaannya pula. Memang pandai sang mantan memilihkan warna kesukaannya dan pandai pula dia memilih kertas kado yang menarik hatinya hingga sampai kinipun dia masih terngiang-ngiang diujung pelupuk ingatannya tentang momen itu.
‘Kenapa kau berikan aku sebuah jam tangan ??’, tanya dia heran saat itu kala dia diberi hadiah sebuah jam tangan oleh mantan kekasihnya.
Karena memang saat itu kebanyakan orang-orang yang sedang dimabuk asmara pada usia itu hanya memberikan orang yang mereka sayang satu loyang kue untuk menunjukkan perasaan romantis dan cendera mata baju yang dibuat berpasangan. Walaupun sebenarnya ada duapuluh pasang atau mungkin lebih baju yang dibuat seperti itu dan sama persis.
‘Agar kau ingat waktu dan ingat aku. Karena aku ingin seperti sang waktu yang walaupun telah berlalu akan selalu teringat jelas dalam pelupuk ingatanmu’, kata sang pemberi hadiah itu.
Sebuah jawaban yang panjang, terkesan simpel, dan juga terdengar gombal tapi terasa seperti sebuah pernyataan spontan yang diutarakan dan memperlihatkan kecerdasan serta sponitas sang pemberi jawaban. Terlihat jelas pulalah kalau dia sudah berpikiran intelek meskipun usianya saat itu masih seperenam usia negara ini, yang saat itu baru saja berusia 63 tahun.
Tersenyum sendiri pengendara itu begitu mengingat asal muasal benda itu.
Maka dari itu dengan segenap hati dia rawat terus benda itu, meskipun dirasanya hadia itu harganya tidak seberapa tapi kenangannya yang membuatnya menjadi mahal. Sebab tidak ada satu orangpun didunia ini dan tidak ada satu apapun didunia ini yang bisa membayar sebuah kenangan.
Sudah berapa kali jam itu rusak, berapa kali pula dia pergi ketukang jam untuk memperbaikinya. Tak terhitung sudah berapa kali rantai jam tersebut terlepas karena beberapa kawat penyambung rantainya sudah rapuh termakan oleh jamur dan karat, dan juga tidak terhitung lagi battery nya sudah dia ganti, bahkan dipenutup mesin bagian bawah jam tersebut sudah penuh dengan coret-coretan sang tukang jam yang mengukirkan waktu pengingat tanggal berapa jam itu berganti battery nya.
Terhitung sudah pernah dia mengganti mesinnya, karena dulu sekali dia tak sengaja mencelupkan tangannya kedalam air dengan jam tersebut masih terlekat erat dilengan kirinya, dan layaknya sebuah jam murah yang tidak bermerk benda itupun langsung berhenti berdetak dengan angka menunjukkan pukul 2.30.45’ entah diwaktu siang atau diwaktu malam jam itu berhenti berdetak dia tidak tahu, karena memang jam tersebut bukanlah jam analog kesukaannya melainkan jam berjarum kecil yang sebenarnya jarang menarik perhatiannya.
Tapi bukankah yang memberikannya sudah begitu menarik perhatiannya, bahkan sampai saat ini, batinnya berkata. Sedapat mungkin ingin dia rawat jam lama bermodel tua itu, agar bukan hanya untuk mengingatkan dia kepada sang waktu tapi juga untuk mengingatkan dia pada sebuah kenangannya kepada sang pemberinya.


Jarum jam menunjukkan pukul 1.25 tengah malam dengan jarum detik perlahan bergulir bersamaan dengan bunyi ‘tik-tik’ yang jelas terdengar karena malam sudah sangat sunyi. Artinya hari telah berganti sejak satu jam dua puluh lima menit sepersekian detik yang lalu. Sudah waktunya pikirnya untuk melanjutkan perjalannannya lagi, karena perjalanannya masih cukup jauh sebab dia berniat untuk berjalan santai malam ini, sebab malam masih panjang.
Dikaitkannya helmnya disebuah pengait yang entah oleh sang mekanik-mekanik perusahaan motor dari negeri Nipon ini memang khusus dibuat untuk mengaitkan helm atau untuk tujuan lain yang sampai sekarang tidak pernah dijelaskan. Bahkan dibuku panduan pemakaian yang dia dapat ketika membeli kendaraan ini, atau mungkin juga memang tidak sempat terbaca olehnya karena memang dia tidak pernah membaca buku panduan tersebut. Sebab dia sudah paham semuanya, pikirnya. Bahkan sekarangpun dia sudah tidak tahu lagi dimana letak buku panduan tersebut, apakah sudah hilang atau masih bersembunyi disudut-sudut berdebu disalah satu bagian rumahnya, atau mungkin sudah menjadi abu dan hilang tanpa jejak karena sengaja atau tidak sengaja terbakar karena tercampur dengan tumbukan sampah yang sering dibakar oleh ibu.
Setelah selesai mengaitkan helm dibalik jok motornya, dikeluarkannya sebuah benda yang disimpannya dikantong baju yang terselimuti oleh jaketnya. Sebuah kaca mata yang membantu matanya yang silindernya sudah tidak normal lagi karena akibat korban dari sistem pendidikan diranah perkuliahan yang disebut dengan ‘skripsi’.
Tujuannya memakai kacamata saat itu bukan untuk gaya-gayaan ataupun pula untuk membantunya melihat, karena hanya sekedar untuk melihat jalan dia masih bisa. Dia memakai kaca-mata tujuannya hanya untuk melindungi matanya dari debu yang mungkin melayang didepan matanya atau mungkin seekor serangga malam yang sedang bermain ria bersama teman tongkrongan mereka dan melintas didepannya nanti.
Setelah selesai melakukan persiapan, sang pengendara itupun melanjutkan perjalanannya lagi.
Sudah lupa diingatannya tadi tentang bagaimana dia menggerutu karena kebijakan tempatnya kerja yang memutuskan untuk melakukan lembur yang tiba-tiba.
Benar-benar tidak profesional, makinya dalam hati.
Mereka pikir aku kerja untuk mendapatkan uang saja. Aku bekerja untuk mendapatkan pengalaman dan kesenangan, tapi kalau begini semua tidak bisa kudapat. Pengalaman, apa yang bisa kudapat dari hanya bekerja membuai orang-orang untuk terlena dalam mimpi-mimpi hingga akhirnya mereka tanpa sadar mengikuti ajakan untuk menggadaikan harta mereka guna mendapatkan modal yang bahkan mereka sendiri saat sudah memegangnya menjadi bingung mau digunakan untuk apa uang tersebut sebab mimpi-mimpi serta buaian tadi yang mereka dengar bukanlah sebuah rencana yang dia inginkan. Begitulah yang dipikirkan oleh sang pengendara itu.
Pernah terlintas dipikirannya, apakah pekerjaan ku ini berdosa ??
Sebab tak banyak dari mereka yang pernah terbuai itu mengalami kehancuran dalam usaha mereka, walaupun tidak sedikit dari mereka yang usahanya sukses. Tapi mereka yang sukses adalah mereka yang datang kepadanya dengan kehendak sendiri bukan mereka yang dibujuk untuk datang dengan buaian-buaian dari mulutnya yang memang sudah terlatih untuk membuai. Dari buaian yang bertujuan untuk memenuhi target yang para atasan bebankan kepadanya diawal bulan.
Tapi sekelebat terpikir sebuah pikiran jahat dipikirannya.
Salahkan mereka yang bodoh karena sudah mudah terbuai oleh buaiannya, yang memikir tanpa logika dan hanya berlandaskan mimpi tanpa mengukur kemampuan diri yang mereka punya.
Mereka memang bodoh pada dasarnya, begitu pikirnya.
Sebab jika mereka cerdas, usaha mereka bisa berkembang tanpa harus bergantung dengan bantuan kami, dengan bantuan uluran tangan kami. Yang bersamarkan sebuah perusahaan resmi ini.
Aku tidak berdosa, katanya.
Aku hanya seorang pekerja, orang yang bekerja mengikuti apa yang sudah ditetapkan dan dibuat oleh tempat aku bekerja saat ini. Kalaupun pekerjaan ini berdosa yang berdosa adalah mereka yang menciptakan sistem kerja seperti ini, lagi pulah salah mereka yang mau terbuai itu. Sebab sebuah racun tidak akan membahayakan tubuh jika tidak masuk atau dimasukkan kedalam tubuh itu sendiri.
Ah, masa bodohlah dengan itu. Aku bekerja hanya untuk bersenang-senang kata pengendara itu dalam hati.
Tunggu. Apa sekarang dan selama ini aku merasa dalam keadaan bersenang-senang ??
Malam ini malam minggu, seharusnya aku tidak dijalan dalam keadaan seperti ini. Berkata sendiri dalam hati, tidak, aku tidak seharusnya seperti ini kalau tujuanku bekerja untuk bersenang-senang. Sebab definisi sebuah kesenangan dalam hidupku itu amatlah sederhana,
Selepas maghrib, berpakaian rapi santai, mengendarai motor menuju sebuah pusat jajanan makanan diperempatan jalan yang sudah lama berdiri itu, yang bahkan sejak aku tahu dunia perempatan dan pusat jajanan itu sudah ada. Sebuah pemandangan yang tidak begitu indah dalam makna kata indah secara harfiah bagi seseorang penikmat ketenangan seperti aku tapi sebuah pemandangan yang menyurgakan untuk seorang pencinta makanan jalanan sederhana sepertiku.
Terlintas dikhayalanku bagaimana rapinya para penjaja makanan yang sejak dari sore tadi sudah berkemas dan bersiap-siap atau bahkan sudah ada yang berjualan ditempat itu. mulai dari gorengan murah sampai kepada satu porsi sate kacang yang harganya terbilang cukup mahal untuk sebuah kota kecil yang upah minimumnya hanya separuh dari upah minimum ibukota.
Terkhayal dibenakku, sebuah gerobak mie ayam yang tak bermerek dan juga tak berwarna khas, yang dibuat hanya dengan sederhana dengan seng-seng plat yang dikemas dengan rapi dan enak dipandang. Mie ayam yang sudah menjadi langgananku sejak dua tahun yang lalu sejak mie ayam langgananku hilang entah kemana dari tempat jajanan itu. Terbayang olehku bagaimana gurihnya potongan daun bawang yang ditaburi diatasnya yang selalu kumakan lebih dahulu sebelum mengadung mie ayam itu agar rata dengan bumbunya, terbayang olehku bagaimana kebiasaanku memakan potongan daun bawang ittu dengan menambah sedikit kecap dan saos didalam sendokku. Terbayang pula bagaimana gurihnya bawang goreng yang selalu kumakan setelah kulihat daun bawang itu sudah habis dimangkokku. Terbayang juga olehku bagaimana pelan-pelannya aku mengaduk mie ayam itu agar bumbunya rata dengan kuah dan campuran saos serta kecap, terbayang juga olehku bagaimana dan mau bagaimanapun juga aku berhati-hati untuk mengaduk mie ayam tersebut tapi tetap saja ada kuahnya yang meluap dari mangkoknya, karena memang porsi mie ayam disana sangat banyak dan cukup menjadi penyangga lapar. Terbayang juga olehku bagaimana langkah-langkah aku menghabisi mie ayam tersebut, dimulai dengan menghabisi suwir-suwiran ayamnya kemudian dilanjutkan dengan menghabisi sayur sawi hijaunya dan baru setelahnya menghabisi mie yang dibuat sendiri oleh abang penjualnya. Sedangkan kuahnya, ah akan terlihat malu sekali kalau aku meminumnya seperti seorang yang kehausan tapi untuk menyisakannya aku tidak rela, sebab rasa merica dan garamnya yang gurih itu terlalu menggoda untuk ditinggalkan dan nantinya akan ditumpahkan diselokan dekat gerobak mie ayam itu.
Kuajarkan sebuah trik yang mungkin bisa kalian lakukan jika berada dalam keadaan seperti yang aku alami saat itu. belilah beberapa buah gorengan yang cukup untuk mengisi spot kosong didalam lambung kalian tidak usah terlalu banyak. Kemudian makanlah dengan mencelupkannya kedalam kuah gurih yang masih tersisa itu sambil sesekali menyendok kuah tersebut hingga akhirnya habis tidak tersisa. Begitulah yang selalu kulakukan jika terpikir untuk menyenangkan diri. Aku seakan merasakan telah melakukan ‘win win solution’ saat itu.
Satu sisi aku merasa menang karena hajat diriki sudah terpenuhi, disisi lain aku berlaku adil. Adil dengan sudah berbagi rizki Tuhan kepada penjual mie ayam dan penjual gorengan yang sudah aku kenal satu sama lainnya karena sudah amat teramat sering bertemu.
Terbayang juga olehku bagaimana setiap aku bertanya harga kepada sang penjual mie ayam tersebut karena takut dengan sejumlah perkembangan dunia dan negeri ini serta naiknya harga minyak dunia, akan berdampak juga pada naiknya harga mie ayam tanpa pernah aku tahu. Sebab banyak dari penjual yang sering kudengar saat menaikkan harga jualannya selalu beralaskan dengan mengkambing hitamkan harga BBM. Sebuah pencarian alasan yang lumayan akward menurutku. Masih terbayang olehku saat menanyakan perihal berapa yang harus kubayar dengan apa yang telah kunikmati malam itu, sang penjual yang ternyata istrinya itu selalu memberiku harga lama yang menurutku sudah tidak layak lagi untuk ditawarkan.
Masih delapan ribu rupiah ternyata bik, kataku.
Untuk seorang pelanggan lama bibik kasih harga lama, begitulah alasannya.
Sebuah alasan yang tidak masuk akal menurutku yang kudengar dari seorang perempuan bertubuh gemuk ini yang setiap kali aku makan disana dia tak henti-hentinya mengoceh kesana-kemari seakan-akan apa yang dia ceritakan itu tidak ada habis-habisnya, selalu saja ada topik-topik baru yang muncul selama aku makan disana. Terkadang sesekali aku menyahuti apa yang dia bicarakan, tapi itu hanya ketika aku menuangkan air minum kedalam gelas. Setelah itu aku hanya diam mendengarkan saja, karena aku terlalu sibuk terlena oleh mie yang dia hidangkan.
Ah, malam-malam seperti ini membayangkan mie ayam diperapatan jalan itu membuat perutku terasa lapar. Sang pengendara itu berbisik dalam hati.
Memang tidak ada yang bisa mengalahkan mie ayam perapatan, katanya lagi. Meski sudah berkali-kali dia mendengar bagaimana indah dan menakjudkannya disepanjang jalan Malioboro dikota Yogya yang sering dia dengar dari orang yang baru pulang dari sana atau bagaimana glamournya makan disebuah restouran mewah yang penuh adab aneh membuat pegal leher dan kaki serta harusnya memakai pakaian formal seperti jas rapi dengan celana dasar serasi dan sepatu kulit hitam legam yang menjadi syarat untuk makan disana, atau bagaimana merasa gaulnya teman-temannya disosial media yang dengan bangga memamerkan beberapa potong tulang ayam dan sisa-sisa tepung goreng serta saos dipiring bekas makan mereka yang menandakan kalau mereka baru saja menyelesaikan makan malam disebuah restoran yang menjadi indikasi kata ‘gaul’ dari anak jaman sekarang. Tetap saja baginya kesederhanaan makanan jalanan dikota sendiri lebih mendapat tempat dihati

Mie rebus campur telor, tampaknya boleh juga kalo sudah sampai nanti. Katanya dalam hati sambil tersenyum dengan mata masih menatap lurus waspada dan hati-hati disepanjang jalan.
Ingin rasanya dia pulang lebih cepat, karena udara malam sudah cukup banyak dia hirup. Diraba-rabanya jalan mana yang dirasanya bisa mengantarnya agar bisa lebih cepat untuk sampai dirumah, tapi.
Ah, ini bukan hal seperti biasanya. Aku sedang tidak berada dirumahku sekarang, aku tidak sedang akan pulang kekediamanku, tapi aku akan pulang ketempat lain, sebab aku sedang ditanah orang. Begitulah yang terpikir oleh sang pengendara itu setelah dia sadar kalau dia sekarang bukan sedang akan pulang kerumahnya, sebab dia sedang berkelana ditanah orang yang tidak familiar olehnya.
Walaupun begitu tanah itu sudah dia kenal walaupun hanya sedikit, tanah dimana ayahnya terlahir dan dibesarkan tapi bukan tempat ayahnya tumbuh dewasa dan berkembang menjadi manusia yang tangguh dan hebat. Itulah sebabnya tidak sempat bagi dia menyimpan ingatannya tentang tempat itu karena memang dia jarang sekali berkunjung disana bahkan bisa dihitung dengan hitungan jari dia berkunjung disana. Sebuah lingkungan yang telah membuang ayahnya pergi jauh dari tanah kelahirannya karena jika tetap bertahan disana beliau merasakan tidak adanya pengharapan akan hidup disana.
Memang sebuah keputusan yang berat untuk anak seusia ayahnya dulu, yang tidak lebih dari usia anak-anak yang bersekolah masih hanya dengan menggunakan celana pendek berwarna biru. Sebuah keputusan yang pada akhirnya nanti akan mempertemukan sang ayah dengan sang ibu yang pada akhirnya melahirkan sang pengendara itu.
Tidak ada jalan lain yang bisa dipilih untuk sampai ditempat tujuannya, karena memang jalan disana hanya satu, sebuah ciri khas jalan pedesaan yang melambangkan pemikiran penduduk pedesaan yang simple dan fokus pada tujuan. Tidak seperti jalanan perkotaan yang rumit yang untuk pergi ketujuan bisa menggunakan beberapa jalan, baik itu jalanan yang tertera dipeta ataupun yang dibuat sendiri oleh ide-ide cerdik masyarakat kota. Layaknya pemikiran masyarakat kota yang kebanyakan menggunakan segala jalan untuk sampai kepada tujuan, tidak peduli kalau itu harus melewati jalan yang tidak disarankan.
Ah..
Desah pengendara itu bagaimana sudah terbayang dipelupuk matanya begitu gelapnya jalan yang akan dia tempuh nanti, hutan belantara yang tidak diketahui apa saja isinya, dan beberapa pemakaman umum yang berdiri disebelah jalan atau bahkan ada yang sengaja dibelah oleh jalan karena dahulunya memang jalan tersebut didirikan diatas sebuah pemakaman umum. Tidak tahu sudah berapa makam yang digusur atau dipindahkan untuk membuat jalan itu.
Tapi meskipun begitu tidak sedikitpun hatinya gentar karena itu, meski sudah banyak dia mendengar cerita-cerita dan mitos-mitos tentang pengalaman orang yang entah benar atau tidaknya pernah melihat sesosok makhluk mistis penunggu-penunggu makam tua itu. Yang entah apa tujuan mereka menceritakannya, entah untuk menakut-nakuti atau hanya sekedar untuk memberi kesenangan pencerita semata saat melihat banyak orang-orang yang percaya dengan ceritanya.
‘Semua orang sama bodohnya’, mungkin begitu yang dikatakan oleh sang pencerita dalam hati saat melihat orang yang mendengar ceritanya meringding ketakutan.
Tapi pengendara itu tetap saja santai melaju menerobos jalan yang dalam keadaan sore saja sudah sepi dan sekarang sudah tengah malam menjadi semakin sepi. Tidak ada satu rasa takutpun terselip dihatinya, tidak takut terhadap hantu dan tidak pula dia takut pada manusia yang berniat jahat. Yang dia takutkan hanya kalau-kalau motornya mogok ditengah jalan yang sepi dan gelap, sebab akan sangat melelahkan jika dia harus mendorong motornya dijalan yang kontur nya menurun dan menanjak, akan sangat malang dia jika harus melakukan hal itu dengan jarak menuju tujuan yang masih sangat jauh sekali.
Ini pengalaman hidup, katanya dalam hati dengan bangga.
Aku rasa tidak ada orang yang mempunyai pengalaman seperti ini, katanya lupa diri seakan dirinyalah yang sudah hebat dengan apa yang dia dapat yang jika diukur hanya sepersekian ujung kuku dari pengalaman para orang-orang besar dalam sejarah.
Lagu dari grub musik jaman dulu ‘the beatles’ masih setia menemaninya dan terdengar ditelinga melalui speaker kecil yang terkait ditelinganya dan dihubungkan dengan dua helai kabel halus menuju sebuah ponsel miliknya yang tersimpan didalam saku jaketnya. Kumpulan lagu yang memang sudah dia setting rapi agar pas menemaninya dijalan dari dia mulai berangkat sampai dia sampai ditujuannya.
Karena mengira-ngira dan menghitung waktu dengan tepat adalah salah satu keahliannya diantara keahlian-keahliannya yang aneh lainnya.
Pernah suatu beberapa waktu yang lampau, kemampuan itu dia gunakan untuk menunggu seseorang yang dia tunggu diujung gang rumahnya. Yang dia tunggu hanya sekedar untuk dia lihat wajahnya, yang dia tunggu hanya untuk sekedar dia bisa melampiaskan hasratnya yang tidak pernah tersampaikan darinya pada sang wanita itu, yang dia tunggu hanya sekedar untuk menjadi motivasinya agar harinya saat itu dirundung keberuntungan sepanjang hari.
Sungguh sebuah pemikiran yang aneh bukan ??
Dijaman yang sudah modern ini masih saja ada orang yang berpikir seperti itu, yang menggantungkan keberuntungannya kepada sebuah kepercayaan aneh itu. Tapi sebuah kepercayaan tidak akan menjadi sebuah kepercayaan tanpa adanya sebuah kenyataan. Sebab sebuah kepercayaan itu timbul dengan dimulai dengan sebuah hal yang secara tidak sengaja menjadi nyata dan kemudian diolah oleh otak yang mencari-cari penyebab kenapa sebuah kebetulan yang nyata ini terjadi secara berulang-ulang. Hingga pada akhirnya kenyataan yang berulang-ulang ini bertemu dalam satu titik nadir yang kemudian disimpulkan menjadi sebuah penyebabnya.
Dia percaya kalau wanita itu sang wanita pembawa keberuntungan dan rela dia tunggu dipagi harinya dan jika malam tiba selalu dia harapkan agar pagi cepat datang, bukanlah karena dia adalah pencinta mitos. Dia sama sekali tidak pernah percaya mitos yang dihembuskan oleh orang-orang, seperti layaknya dia yang sekarang yang dengan gagah berani berjalan sendiri membelah belantara seram dan pemakaman yang menaikkan bulu roma. Dia percaya kalau wanita itu sang pembawa keberuntungan adalah karena dia selalu bertemu kenyataan aneh yang berulang-ulang, yang selalu dia temukan setiap kali dia melihat pipi dan bibir merah merona dari wajah ayu yang kerap kali tersenyum indah jika setiap kali dilihatnya melintas dihadapannya.
Setiap kali dia melihat wanita itu, setiap kali pula harinya berakhir dengan happy ending. Sebuah kecemasan yang timbul diawal pagi, yang tak termakan dikhayal bagaimana jika itu terjadi dan sangat mustahil untuk tidak terjadi layaknya sebuah persentase yang bahkan hampir menyentuh angka 0% itu pun dapat seketika terwujud berbalik jika dia melihat wajah wanita itu. Seakan wanita itu memiliki daya magis yang bisa membagikan kebahagiaan kepada setiap orang dipagi hari.
Sejak dari itu dia mantap menyatakan, kalau wanita itu adalah wanita pembawa keberuntungannya. Hingga sedapat mungkin dia berusaha agar paginya selalu diawali dengan melihat senyum sang pembawa keberuntungan itu adanya.
Sebuah kisah yang aneh menurutku, yang membuatku selalu tertawa kecil jika mengingatnya. Betapa lucunya orang itu, seseorang yang hanya percaya pada Tuhannya, dan tidak percaya akan hantu tapi menyukai film horror tapi lebih mempercayai kalau ada wanita yang bisa membawa keberuntungan kepadanya.
Perlahan sepeda motor itu sedikit-demi sedikit membawanya ketempat tujuan, sebuah rumah panggung tua yang menurut cerita dari beberapa orang ada sedikit keringat sang ayah berbekas dibeberapa kayu penyanggah rumah itu. Karena dahulu ayahnyalah yang bertugas memanggul kayu-kayu itu berpindah dari tempat pemotongan menuju rumah itu. Tidak terbayangkan diayal memang, seorang anak kecil yang menamatkan sekolahnya disekolah dasarnya saja belum tapi sudah bekerja segiat itu.
Entah cerita itu benar atau mitos belaka, atau perumpamaan para orang-orang tua yang menceritakan cerita itu kepadanya untuk menggambarkan betapa beratnya penanggungan ayahnya diwaktu kecil dulu, betapa kerasnya dia bekerja, atau hanya sebuah penyindiran baginya yang dilihat oleh orang luar kalau dirinya selalu dimanja. Padahal tidak sekalipun dia merasakan kalau dia dimanja, sebab dia tahu walaupun kedua orang tuanya ingin memanjahinya tapi mereka tidak punya kemampuan.
Dilihatnya pintu pagar rumah itu yang terbuat dari bambu yang disusun oleh beberapa batang bambu yang melintang sudah tertutup. Dan satu persatu dia menggeser pintu pagar itu agar bisa terbuka, agar bisa dia memasukkan motornya, agar lekas dia bisa masuk kedalam rumah besar itu. Setelah bisa dia masuk kedalam perkarangan rumah yang tanahnya masih terasa lembut karena sudah seharian kemarin diguyur hujan, dia susun kembali pintu pagar itu seperti sediakala agar kembali tertutup seperti sebelum dia sampai tadi.
Udara disekitarnya sudah terasa sangat dingin namun menyegarkan, layaknya udara khas pegunungan atau dataran tinggi. Sedikit kabut mulai turun dipekarangan rumah tua itu.
Lubang hidung sudah terasa ngilu karena menghirup dinginnya udara malam itu.
Berakhir sudah perjalanan panjang ini, katanya dalam hati.
Perlahan dia menaiki tangga kayu yang kata ayahnya sudah ada sejak rumah itu dibangun dan belum pernah diganti. Setelah itu dia buka pintu kayu berdaun dua khas rumah adat melayu jaman dulu, dan masuklah dia kedalam seuah ruang tamu kecil rumah tersebut. Itulah adalah akhir dari perjalanannya malam itu, sebuah perjalanan yang tidak cukup panjang namun bisa membawa pikirannya berlari kian kemari dari masa lalu kemudian kemasa depan dan juga kepada khayalan tentang hal yang jauh dari jangkauannya.
Perjalanan malam ini memang sudah usai, sebab dia sudah sampai pada tujuannya. Tetapi tidak pada perjalanan hidupnya, masih panjang jalan yang ada didepannya, sepanjang usia yang telah dia sepakati dengan sang penciptanya, dengan Sang Maha Kuasa. Malam ini hanya sepersekian kecil dari sekian banyaknya jalan hidupnya, dan masih banyak rintangan serta sesuatu yang belum lihat didepan sana. Sebab ini dunia, sebab ini semesta, yang sangat luas sekali, seluas hati dari seorang pemaaf.
                                         
Dan perjalanan tadi hanya sebuah penganalogian sederhana tentang hidup, dimana kita harus mampu melawan takut, melawan kegelapan jika ingin menuju tempat berpulang. Sebab dibalik pekatnya gelap dan dinginnya malam ada tempat yang nyaman untuk kita bisa berpulang dan melepas kepenatan yang ada dan yang kita rasakan sebagai hasil dari yang kita kerjakan selama seharian ini.
Sebuah tempat yang nyaman untuk kita merebahkan punggung kita yang telah kaku, tempat yang hangat setelah sepanjang jalan kita merasakan hawa dingin malam angin jalanan. Tempat yang mampu membuat kita aman untuk memejamkan mata tanpa harus takut akan kegelapan malam dan hal yang menakutkan dibaliknya.
Tempat yang akan membuat kita berkata dan selalu ingin berkata, ‘aku ingin pulang secepat mungkin’.
Tempat yang dengan bangga kau sebut dengan sebutan 'rumah'.

0 komentar:

Posting Komentar