Luar biasa sekali, hari ini sudah
tengah malam tapi masih saja bekerja, memang sesuatu sekali.
Keluh seorang pekerja dalam hati yang baru pulang dari tempat kerjanya. Dia
pacu sepeda motornya dengan kecepatan yang lumayan konstan, tidak lebih tidak
kurang, pas pada garis diangka 60
km/h . Deru angin malam mencucuk bagian tubuhnya yang
tidak terbungkus oleh kain-kain tebal dari baju hangat dan celana serta
sepatunya. Cahaya bulan bersinar terang, berwarna kuning menyilaukan walaupun
tak sesilau sinar matahari ditengah hari. Untunglah malam ini cerah, tidak ada
tanda-tanda akan turun hujan lagi, padahal dari pagi tadi, ah tidak, dari subuh
tadi hujan terus menerus turun secara konstan sampai senja tiba. Seakan-akan
langit menangis tersedu-sedu dan baru berhenti setelah lelah serta tidak ada
yang mau peduli lagi dengan tangisannya.
Jalanan
kota ini sudah sepi sekali pikirnya, tidak ada kendaraan lagi yang lalu-lalang
tidak ada lagi stand-stan makanan yang setiap malam berjualan menjajakan hasil
karya mereka dipinggiran trotoar jalan karena hari ini sudah tengah malam yang
sudah lebih dari larut malam. Yang tersisa hanya angin malam yang berhembus
mesra melayangkan daun-daun yang gugur berwarna coklat dari pepohonan yang
berjejer rapi disepanjang pinggiran jalan.
Tidak
ada yang tersisa lagi dari malam ini, semuanya sudah tidur. Bahkan lampu merah
dan hijau dari ‘traffic light’ pun sudah beristirahat karena sudah terlalu
lelah bergantian menyala sepanjang hari ini, untuk membantu para aparat penegak
keadilan dalam mengatur lalu lintas yang masih terksesan semrawut jika tidak
diatur. Berganti dengan lampu berwarna ‘kuning’ yang sedari tadi terus
berkedap-kedip seperti mengisyaratkan agar berhati-hati sepanjang jalan in.
Seperti
domba-domba dipadang ilalang yang tidak akan pulang jika tidak digiring sang
tuan pemilik. Kenapa kita tidak seperti merpati saja yang bisa pulang tanpa
harus digiring sang tuan. Sungguh berbeda sekali, walaupun mereka sama-sama
putih tapi wataknya berbeda. Layaknya kita manusia yang walau hampir semua
kepala berwarnya hitam tapi isi pikiran adalah milik kita masing-masing.
Lucu
sekali, desah pengendara itu sambil memelankan laju motornya, karena memang
tidak ada yang dia kejar lagi. Jadi untuk apa harus cepat-cepat sampai ??
Bukankah lebih baik kalau kita nikmati saja malam ini, katanya dalam hati.
Jarang-jarang bisa merasakan momen seperti ini.
‘Tidak
setiap malam bisa begini’, katanya berkata pada dirinya sendiri.
Sebuah
ide liar terlintas dipikirannya saat itu, tentang bagaimana untuk bisa
memaksimalkan kesempatan yang dia dapat untuk menikmati malam ini. Sepeda motor
yang memang sudah sejak tadi dia coba pelankan, kemudian dihentikan. Disebuah
badan jalan dia berenti dan menetralkan gear motornya. Dia buka helmnya yang
sejak tadi dia pakai sedari dia memulai perjalanan dari parkiran tempat dia
bekerja. Baru sejenak hidungnya yang tadi terbekap oleh pelindung kepalanya
bersentuhan dengan alam bebas, tercium olehnya wangi udara malam selepas hujan
yang khas itu.
Wangi
tanah yang terangkat seperti menguap karena dibasahi oleh air hujan tercium
dengan jelas. Sebuah kesempatan yang mungkin tidak bisa didapatkan kalau tidak
dilakukan dalam kesunyian malam. Langit-langit hidungnya yang sejak dari pagi
tadi selalu bersentuhan dengan wangi udara yang sudah terkontaminasi dan
terprovokasi oleh peralatan-peralatan mekanis buatan manusia seperti air
conditioner, menjadi seakan-akan dibelai manja oleh udara ciptaan alam nan
segar dimalam ini.
‘Begini
lebih terasa menyejukkan rasanya’, desah sang pengendara itu sambil menghirup
dalam-dalam udara yang ada disekitarnya layaknya seorang yang serakah akan
nikmat Tuhan pada malam itu, agar bisa sebanyak-banyaknya mendapatkan gas
oksigen versi udara malam.
Seakan-akan
dia sedang berlomba-lomba dengan pepohonan besar yang ada disekelilingnya yang
juga membutuhkan oksigen juga karena sepanjang siang tadi sudah dengan
dermawannya membagikan oksigennya kepada para manusia.
Ah,
kalau saja paru-paruku tidak sekecil ini diciptakan Tuhan. Ingin aku hirup
sedalam-dalamnya dan sebanyak-banyaknya udara malam ini. Kembali pengendara itu
berbicara dengan dirinya sendiri, dia berbicara dengan dirinya sendiri bukan
karena dia sedang tidak waras pikirannya karena keracunan gas oksigen (memang
pernah ada terdengar orang keracunan oksigen ?? Ah ada-ada saja kau ini), tapi
memang karena sudah tidak ada orang lain yang bisa diajaknya berbicara untuk
berbagi pengalaman ini.
Setelah
puas berhenti disatu sisi jalan dari beberapa bagian jalan menuju rumah,
pengendara itu seakan teringat oleh satu hal. Dilihatnya jam tangan model lama
ditangan kirinya, jam tangan pemberian sang kekasihnya dahulu, atau tepatnya
pemberian dari mantan kekasihnya. Pemberian yang diberikan sebagai tanda
selamat atas sebuah pertambahan umurnya ketika usianya beranjak tujuh belas
tahun.
Masih
teringat dibenaknya saat itu jam itu diletakkan dalam sebuah kotak plastik
berwarna putih, warna kesukaannya. Kemudian setelah itu kotak itu dibalut oleh
kertas kado bermotif lambang sebuah klub sepak bola kesukaannya pula. Memang
pandai sang mantan memilihkan warna kesukaannya dan pandai pula dia memilih
kertas kado yang menarik hatinya hingga sampai kinipun dia masih
terngiang-ngiang diujung pelupuk ingatannya tentang momen itu.
‘Kenapa
kau berikan aku sebuah jam tangan ??’, tanya dia heran saat itu kala dia diberi
hadiah sebuah jam tangan oleh mantan kekasihnya.
Karena
memang saat itu kebanyakan orang-orang yang sedang dimabuk asmara pada usia itu
hanya memberikan orang yang mereka sayang satu loyang kue untuk menunjukkan
perasaan romantis dan cendera mata baju yang dibuat berpasangan. Walaupun
sebenarnya ada duapuluh pasang atau mungkin lebih baju yang dibuat seperti itu
dan sama persis.
‘Agar
kau ingat waktu dan ingat aku. Karena aku ingin seperti sang waktu yang
walaupun telah berlalu akan selalu teringat jelas dalam pelupuk ingatanmu’,
kata sang pemberi hadiah itu.
Sebuah
jawaban yang panjang, terkesan simpel, dan juga terdengar gombal tapi terasa
seperti sebuah pernyataan spontan yang diutarakan dan memperlihatkan kecerdasan
serta sponitas sang pemberi jawaban. Terlihat jelas pulalah kalau dia sudah
berpikiran intelek meskipun usianya saat itu masih seperenam usia negara ini,
yang saat itu baru saja berusia 63 tahun.
Tersenyum
sendiri pengendara itu begitu mengingat asal muasal benda itu.
Maka
dari itu dengan segenap hati dia rawat terus benda itu, meskipun dirasanya
hadia itu harganya tidak seberapa tapi kenangannya yang membuatnya menjadi
mahal. Sebab tidak ada satu orangpun didunia ini dan tidak ada satu apapun
didunia ini yang bisa membayar sebuah kenangan.
Sudah
berapa kali jam itu rusak, berapa kali pula dia pergi ketukang jam untuk
memperbaikinya. Tak terhitung sudah berapa kali rantai jam tersebut terlepas
karena beberapa kawat penyambung rantainya sudah rapuh termakan oleh jamur dan
karat, dan juga tidak terhitung lagi battery nya sudah dia ganti, bahkan
dipenutup mesin bagian bawah jam tersebut sudah penuh dengan coret-coretan sang
tukang jam yang mengukirkan waktu pengingat tanggal berapa jam itu berganti
battery nya.
Terhitung
sudah pernah dia mengganti mesinnya, karena dulu sekali dia tak sengaja
mencelupkan tangannya kedalam air dengan jam tersebut masih terlekat erat
dilengan kirinya, dan layaknya sebuah jam murah yang tidak bermerk benda itupun
langsung berhenti berdetak dengan angka menunjukkan pukul 2.30.45’ entah
diwaktu siang atau diwaktu malam jam itu berhenti berdetak dia tidak tahu,
karena memang jam tersebut bukanlah jam analog kesukaannya melainkan jam
berjarum kecil yang sebenarnya jarang menarik perhatiannya.
Tapi
bukankah yang memberikannya sudah begitu menarik perhatiannya, bahkan sampai
saat ini, batinnya berkata. Sedapat mungkin ingin dia rawat jam lama bermodel
tua itu, agar bukan hanya untuk mengingatkan dia kepada sang waktu tapi juga
untuk mengingatkan dia pada sebuah kenangannya kepada sang pemberinya.
Jarum
jam menunjukkan pukul 1.25 tengah malam dengan jarum detik perlahan bergulir
bersamaan dengan bunyi ‘tik-tik’ yang jelas terdengar karena malam sudah sangat
sunyi. Artinya hari telah berganti sejak satu jam dua puluh lima menit
sepersekian detik yang lalu. Sudah waktunya pikirnya untuk melanjutkan
perjalannannya lagi, karena perjalanannya masih cukup jauh sebab dia berniat
untuk berjalan santai malam ini, sebab malam masih panjang.
Dikaitkannya
helmnya disebuah pengait yang entah oleh sang mekanik-mekanik perusahaan motor
dari negeri Nipon ini memang khusus dibuat untuk mengaitkan helm atau untuk
tujuan lain yang sampai sekarang tidak pernah dijelaskan. Bahkan dibuku panduan
pemakaian yang dia dapat ketika membeli kendaraan ini, atau mungkin juga memang
tidak sempat terbaca olehnya karena memang dia tidak pernah membaca buku
panduan tersebut. Sebab dia sudah paham semuanya, pikirnya. Bahkan sekarangpun
dia sudah tidak tahu lagi dimana letak buku panduan tersebut, apakah sudah
hilang atau masih bersembunyi disudut-sudut berdebu disalah satu bagian
rumahnya, atau mungkin sudah menjadi abu dan hilang tanpa jejak karena sengaja
atau tidak sengaja terbakar karena tercampur dengan tumbukan sampah yang sering
dibakar oleh ibu.
Setelah
selesai mengaitkan helm dibalik jok motornya, dikeluarkannya sebuah benda yang
disimpannya dikantong baju yang terselimuti oleh jaketnya. Sebuah kaca mata
yang membantu matanya yang silindernya sudah tidak normal lagi karena akibat
korban dari sistem pendidikan diranah perkuliahan yang disebut dengan
‘skripsi’.
Tujuannya
memakai kacamata saat itu bukan untuk gaya-gayaan ataupun pula untuk
membantunya melihat, karena hanya sekedar untuk melihat jalan dia masih bisa.
Dia memakai kaca-mata tujuannya hanya untuk melindungi matanya dari debu yang
mungkin melayang didepan matanya atau mungkin seekor serangga malam yang sedang
bermain ria bersama teman tongkrongan mereka dan melintas didepannya nanti.
Setelah
selesai melakukan persiapan, sang pengendara itupun melanjutkan perjalanannya
lagi.
Sudah
lupa diingatannya tadi tentang bagaimana dia menggerutu karena kebijakan
tempatnya kerja yang memutuskan untuk melakukan lembur yang tiba-tiba.
Benar-benar
tidak profesional, makinya dalam hati.
Mereka
pikir aku kerja untuk mendapatkan uang saja. Aku bekerja untuk mendapatkan
pengalaman dan kesenangan, tapi kalau begini semua tidak bisa kudapat.
Pengalaman, apa yang bisa kudapat dari hanya bekerja membuai orang-orang untuk
terlena dalam mimpi-mimpi hingga akhirnya mereka tanpa sadar mengikuti ajakan
untuk menggadaikan harta mereka guna mendapatkan modal yang bahkan mereka
sendiri saat sudah memegangnya menjadi bingung mau digunakan untuk apa uang tersebut
sebab mimpi-mimpi serta buaian tadi yang mereka dengar bukanlah sebuah rencana
yang dia inginkan. Begitulah yang dipikirkan oleh sang pengendara itu.
Pernah
terlintas dipikirannya, apakah pekerjaan ku ini berdosa ??
Sebab
tak banyak dari mereka yang pernah terbuai itu mengalami kehancuran dalam usaha
mereka, walaupun tidak sedikit dari mereka yang usahanya sukses. Tapi mereka
yang sukses adalah mereka yang datang kepadanya dengan kehendak sendiri bukan
mereka yang dibujuk untuk datang dengan buaian-buaian dari mulutnya yang memang
sudah terlatih untuk membuai. Dari buaian yang bertujuan untuk memenuhi target
yang para atasan bebankan kepadanya diawal bulan.
Tapi
sekelebat terpikir sebuah pikiran jahat dipikirannya.
Salahkan
mereka yang bodoh karena sudah mudah terbuai oleh buaiannya, yang memikir tanpa
logika dan hanya berlandaskan mimpi tanpa mengukur kemampuan diri yang mereka
punya.
Mereka
memang bodoh pada dasarnya, begitu pikirnya.
Sebab
jika mereka cerdas, usaha mereka bisa berkembang tanpa harus bergantung dengan
bantuan kami, dengan bantuan uluran tangan kami. Yang bersamarkan sebuah
perusahaan resmi ini.
Aku
tidak berdosa, katanya.
Aku
hanya seorang pekerja, orang yang bekerja mengikuti apa yang sudah ditetapkan
dan dibuat oleh tempat aku bekerja saat ini. Kalaupun pekerjaan ini berdosa
yang berdosa adalah mereka yang menciptakan sistem kerja seperti ini, lagi
pulah salah mereka yang mau terbuai itu. Sebab sebuah racun tidak akan
membahayakan tubuh jika tidak masuk atau dimasukkan kedalam tubuh itu sendiri.
Ah,
masa bodohlah dengan itu. Aku bekerja hanya untuk bersenang-senang kata
pengendara itu dalam hati.
Tunggu.
Apa sekarang dan selama ini aku merasa dalam keadaan bersenang-senang ??
Malam
ini malam minggu, seharusnya aku tidak dijalan dalam keadaan seperti ini.
Berkata sendiri dalam hati, tidak, aku tidak seharusnya seperti ini kalau
tujuanku bekerja untuk bersenang-senang. Sebab definisi sebuah kesenangan dalam
hidupku itu amatlah sederhana,
Selepas
maghrib, berpakaian rapi santai, mengendarai motor menuju sebuah pusat jajanan
makanan diperempatan jalan yang sudah lama berdiri itu, yang bahkan sejak aku
tahu dunia perempatan dan pusat jajanan itu sudah ada. Sebuah pemandangan yang
tidak begitu indah dalam makna kata indah secara harfiah bagi seseorang
penikmat ketenangan seperti aku tapi sebuah pemandangan yang menyurgakan untuk
seorang pencinta makanan jalanan sederhana sepertiku.
Terlintas
dikhayalanku bagaimana rapinya para penjaja makanan yang sejak dari sore tadi
sudah berkemas dan bersiap-siap atau bahkan sudah ada yang berjualan ditempat
itu. mulai dari gorengan murah sampai kepada satu porsi sate kacang yang
harganya terbilang cukup mahal untuk sebuah kota kecil yang upah minimumnya
hanya separuh dari upah minimum ibukota.
Terkhayal
dibenakku, sebuah gerobak mie ayam yang tak bermerek dan juga tak berwarna
khas, yang dibuat hanya dengan sederhana dengan seng-seng plat yang dikemas
dengan rapi dan enak dipandang. Mie ayam yang sudah menjadi langgananku sejak
dua tahun yang lalu sejak mie ayam langgananku hilang entah kemana dari tempat
jajanan itu. Terbayang olehku bagaimana gurihnya potongan daun bawang yang
ditaburi diatasnya yang selalu kumakan lebih dahulu sebelum mengadung mie ayam
itu agar rata dengan bumbunya, terbayang olehku bagaimana kebiasaanku memakan
potongan daun bawang ittu dengan menambah sedikit kecap dan saos didalam
sendokku. Terbayang pula bagaimana gurihnya bawang goreng yang selalu kumakan
setelah kulihat daun bawang itu sudah habis dimangkokku. Terbayang juga olehku
bagaimana pelan-pelannya aku mengaduk mie ayam itu agar bumbunya rata dengan
kuah dan campuran saos serta kecap, terbayang juga olehku bagaimana dan mau
bagaimanapun juga aku berhati-hati untuk mengaduk mie ayam tersebut tapi tetap
saja ada kuahnya yang meluap dari mangkoknya, karena memang porsi mie ayam
disana sangat banyak dan cukup menjadi penyangga lapar. Terbayang juga olehku
bagaimana langkah-langkah aku menghabisi mie ayam tersebut, dimulai dengan
menghabisi suwir-suwiran ayamnya kemudian dilanjutkan dengan menghabisi sayur
sawi hijaunya dan baru setelahnya menghabisi mie yang dibuat sendiri oleh abang
penjualnya. Sedangkan kuahnya, ah akan terlihat malu sekali kalau aku
meminumnya seperti seorang yang kehausan tapi untuk menyisakannya aku tidak rela,
sebab rasa merica dan garamnya yang gurih itu terlalu menggoda untuk
ditinggalkan dan nantinya akan ditumpahkan diselokan dekat gerobak mie ayam
itu.
Kuajarkan
sebuah trik yang mungkin bisa kalian lakukan jika berada dalam keadaan seperti
yang aku alami saat itu. belilah beberapa buah gorengan yang cukup untuk
mengisi spot kosong didalam lambung kalian tidak usah terlalu banyak. Kemudian
makanlah dengan mencelupkannya kedalam kuah gurih yang masih tersisa itu sambil
sesekali menyendok kuah tersebut hingga akhirnya habis tidak tersisa. Begitulah
yang selalu kulakukan jika terpikir untuk menyenangkan diri. Aku seakan
merasakan telah melakukan ‘win win solution’ saat itu.
Satu
sisi aku merasa menang karena hajat diriki sudah terpenuhi, disisi lain aku
berlaku adil. Adil dengan sudah berbagi rizki Tuhan kepada penjual mie ayam dan
penjual gorengan yang sudah aku kenal satu sama lainnya karena sudah amat
teramat sering bertemu.
Terbayang
juga olehku bagaimana setiap aku bertanya harga kepada sang penjual mie ayam
tersebut karena takut dengan sejumlah perkembangan dunia dan negeri ini serta
naiknya harga minyak dunia, akan berdampak juga pada naiknya harga mie ayam
tanpa pernah aku tahu. Sebab banyak dari penjual yang sering kudengar saat
menaikkan harga jualannya selalu beralaskan dengan mengkambing hitamkan harga
BBM. Sebuah pencarian alasan yang lumayan akward menurutku. Masih terbayang
olehku saat menanyakan perihal berapa yang harus kubayar dengan apa yang telah
kunikmati malam itu, sang penjual yang ternyata istrinya itu selalu memberiku
harga lama yang menurutku sudah tidak layak lagi untuk ditawarkan.
Masih
delapan ribu rupiah ternyata bik, kataku.
Untuk
seorang pelanggan lama bibik kasih harga lama, begitulah alasannya.
Sebuah
alasan yang tidak masuk akal menurutku yang kudengar dari seorang perempuan
bertubuh gemuk ini yang setiap kali aku makan disana dia tak henti-hentinya
mengoceh kesana-kemari seakan-akan apa yang dia ceritakan itu tidak ada
habis-habisnya, selalu saja ada topik-topik baru yang muncul selama aku makan
disana. Terkadang sesekali aku menyahuti apa yang dia bicarakan, tapi itu hanya
ketika aku menuangkan air minum kedalam gelas. Setelah itu aku hanya diam
mendengarkan saja, karena aku terlalu sibuk terlena oleh mie yang dia
hidangkan.
Ah,
malam-malam seperti ini membayangkan mie ayam diperapatan jalan itu membuat
perutku terasa lapar. Sang pengendara itu berbisik dalam hati.
Memang
tidak ada yang bisa mengalahkan mie ayam perapatan, katanya lagi. Meski sudah
berkali-kali dia mendengar bagaimana indah dan menakjudkannya disepanjang jalan
Malioboro dikota Yogya yang sering dia dengar dari orang yang baru pulang dari
sana atau bagaimana glamournya makan disebuah restouran mewah yang penuh adab
aneh membuat pegal leher dan kaki serta harusnya memakai pakaian formal seperti
jas rapi dengan celana dasar serasi dan sepatu kulit hitam legam yang menjadi
syarat untuk makan disana, atau bagaimana merasa gaulnya teman-temannya
disosial media yang dengan bangga memamerkan beberapa potong tulang ayam dan
sisa-sisa tepung goreng serta saos dipiring bekas makan mereka yang menandakan
kalau mereka baru saja menyelesaikan makan malam disebuah restoran yang menjadi
indikasi kata ‘gaul’ dari anak jaman sekarang. Tetap saja baginya kesederhanaan
makanan jalanan dikota sendiri lebih mendapat tempat dihati
Mie
rebus campur telor, tampaknya boleh juga kalo sudah sampai nanti. Katanya dalam
hati sambil tersenyum dengan mata masih menatap lurus waspada dan hati-hati
disepanjang jalan.
Ingin
rasanya dia pulang lebih cepat, karena udara malam sudah cukup banyak dia
hirup. Diraba-rabanya jalan mana yang dirasanya bisa mengantarnya agar bisa
lebih cepat untuk sampai dirumah, tapi.
Ah,
ini bukan hal seperti biasanya. Aku sedang tidak berada dirumahku sekarang, aku
tidak sedang akan pulang kekediamanku, tapi aku akan pulang ketempat lain,
sebab aku sedang ditanah orang. Begitulah yang terpikir oleh sang pengendara
itu setelah dia sadar kalau dia sekarang bukan sedang akan pulang kerumahnya,
sebab dia sedang berkelana ditanah orang yang tidak familiar olehnya.
Walaupun
begitu tanah itu sudah dia kenal walaupun hanya sedikit, tanah dimana ayahnya
terlahir dan dibesarkan tapi bukan tempat ayahnya tumbuh dewasa dan berkembang
menjadi manusia yang tangguh dan hebat. Itulah sebabnya tidak sempat bagi dia
menyimpan ingatannya tentang tempat itu karena memang dia jarang sekali
berkunjung disana bahkan bisa dihitung dengan hitungan jari dia berkunjung
disana. Sebuah lingkungan yang telah membuang ayahnya pergi jauh dari tanah
kelahirannya karena jika tetap bertahan disana beliau merasakan tidak adanya
pengharapan akan hidup disana.
Memang
sebuah keputusan yang berat untuk anak seusia ayahnya dulu, yang tidak lebih
dari usia anak-anak yang bersekolah masih hanya dengan menggunakan celana
pendek berwarna biru. Sebuah keputusan yang pada akhirnya nanti akan
mempertemukan sang ayah dengan sang ibu yang pada akhirnya melahirkan sang
pengendara itu.
Tidak
ada jalan lain yang bisa dipilih untuk sampai ditempat tujuannya, karena memang
jalan disana hanya satu, sebuah ciri khas jalan pedesaan yang melambangkan
pemikiran penduduk pedesaan yang simple dan fokus pada tujuan. Tidak seperti
jalanan perkotaan yang rumit yang untuk pergi ketujuan bisa menggunakan
beberapa jalan, baik itu jalanan yang tertera dipeta ataupun yang dibuat
sendiri oleh ide-ide cerdik masyarakat kota. Layaknya pemikiran masyarakat kota
yang kebanyakan menggunakan segala jalan untuk sampai kepada tujuan, tidak
peduli kalau itu harus melewati jalan yang tidak disarankan.
Ah..
Desah
pengendara itu bagaimana sudah terbayang dipelupuk matanya begitu gelapnya
jalan yang akan dia tempuh nanti, hutan belantara yang tidak diketahui apa saja
isinya, dan beberapa pemakaman umum yang berdiri disebelah jalan atau bahkan
ada yang sengaja dibelah oleh jalan karena dahulunya memang jalan tersebut
didirikan diatas sebuah pemakaman umum. Tidak tahu sudah berapa makam yang
digusur atau dipindahkan untuk membuat jalan itu.
Tapi
meskipun begitu tidak sedikitpun hatinya gentar karena itu, meski sudah banyak
dia mendengar cerita-cerita dan mitos-mitos tentang pengalaman orang yang entah
benar atau tidaknya pernah melihat sesosok makhluk mistis penunggu-penunggu
makam tua itu. Yang entah apa tujuan mereka menceritakannya, entah untuk
menakut-nakuti atau hanya sekedar untuk memberi kesenangan pencerita semata
saat melihat banyak orang-orang yang percaya dengan ceritanya.
‘Semua
orang sama bodohnya’, mungkin begitu yang dikatakan oleh sang pencerita dalam
hati saat melihat orang yang mendengar ceritanya meringding ketakutan.
Tapi
pengendara itu tetap saja santai melaju menerobos jalan yang dalam keadaan sore
saja sudah sepi dan sekarang sudah tengah malam menjadi semakin sepi. Tidak ada
satu rasa takutpun terselip dihatinya, tidak takut terhadap hantu dan tidak
pula dia takut pada manusia yang berniat jahat. Yang dia takutkan hanya
kalau-kalau motornya mogok ditengah jalan yang sepi dan gelap, sebab akan
sangat melelahkan jika dia harus mendorong motornya dijalan yang kontur nya
menurun dan menanjak, akan sangat malang dia jika harus melakukan hal itu
dengan jarak menuju tujuan yang masih sangat jauh sekali.
Ini
pengalaman hidup, katanya dalam hati dengan bangga.
Aku
rasa tidak ada orang yang mempunyai pengalaman seperti ini, katanya lupa diri
seakan dirinyalah yang sudah hebat dengan apa yang dia dapat yang jika diukur
hanya sepersekian ujung kuku dari pengalaman para orang-orang besar dalam
sejarah.
Lagu
dari grub musik jaman dulu ‘the beatles’ masih setia menemaninya dan terdengar
ditelinga melalui speaker kecil yang terkait ditelinganya dan dihubungkan
dengan dua helai kabel halus menuju sebuah ponsel miliknya yang tersimpan
didalam saku jaketnya. Kumpulan lagu yang memang sudah dia setting rapi agar
pas menemaninya dijalan dari dia mulai berangkat sampai dia sampai ditujuannya.
Karena
mengira-ngira dan menghitung waktu dengan tepat adalah salah satu keahliannya diantara
keahlian-keahliannya yang aneh lainnya.
Pernah
suatu beberapa waktu yang lampau, kemampuan itu dia gunakan untuk menunggu
seseorang yang dia tunggu diujung gang rumahnya. Yang dia tunggu hanya sekedar
untuk dia lihat wajahnya, yang dia tunggu hanya untuk sekedar dia bisa
melampiaskan hasratnya yang tidak pernah tersampaikan darinya pada sang wanita
itu, yang dia tunggu hanya sekedar untuk menjadi motivasinya agar harinya saat
itu dirundung keberuntungan sepanjang hari.
Sungguh
sebuah pemikiran yang aneh bukan ??
Dijaman
yang sudah modern ini masih saja ada orang yang berpikir seperti itu, yang
menggantungkan keberuntungannya kepada sebuah kepercayaan aneh itu. Tapi sebuah
kepercayaan tidak akan menjadi sebuah kepercayaan tanpa adanya sebuah
kenyataan. Sebab sebuah kepercayaan itu timbul dengan dimulai dengan sebuah hal
yang secara tidak sengaja menjadi nyata dan kemudian diolah oleh otak yang mencari-cari
penyebab kenapa sebuah kebetulan yang nyata ini terjadi secara berulang-ulang.
Hingga pada akhirnya kenyataan yang berulang-ulang ini bertemu dalam satu titik
nadir yang kemudian disimpulkan menjadi sebuah penyebabnya.
Dia
percaya kalau wanita itu sang wanita pembawa keberuntungan dan rela dia tunggu
dipagi harinya dan jika malam tiba selalu dia harapkan agar pagi cepat datang,
bukanlah karena dia adalah pencinta mitos. Dia sama sekali tidak pernah percaya
mitos yang dihembuskan oleh orang-orang, seperti layaknya dia yang sekarang
yang dengan gagah berani berjalan sendiri membelah belantara seram dan
pemakaman yang menaikkan bulu roma. Dia percaya kalau wanita itu sang pembawa
keberuntungan adalah karena dia selalu bertemu kenyataan aneh yang berulang-ulang,
yang selalu dia temukan setiap kali dia melihat pipi dan bibir merah merona
dari wajah ayu yang kerap kali tersenyum indah jika setiap kali dilihatnya
melintas dihadapannya.
Setiap
kali dia melihat wanita itu, setiap kali pula harinya berakhir dengan happy
ending. Sebuah kecemasan yang timbul diawal pagi, yang tak termakan dikhayal
bagaimana jika itu terjadi dan sangat mustahil untuk tidak terjadi layaknya
sebuah persentase yang bahkan hampir menyentuh angka 0% itu pun dapat seketika
terwujud berbalik jika dia melihat wajah wanita itu. Seakan wanita itu memiliki
daya magis yang bisa membagikan kebahagiaan kepada setiap orang dipagi hari.
Sejak
dari itu dia mantap menyatakan, kalau wanita itu adalah wanita pembawa
keberuntungannya. Hingga sedapat mungkin dia berusaha agar paginya selalu
diawali dengan melihat senyum sang pembawa keberuntungan itu adanya.
Sebuah
kisah yang aneh menurutku, yang membuatku selalu tertawa kecil jika
mengingatnya. Betapa lucunya orang itu, seseorang yang hanya percaya pada
Tuhannya, dan tidak percaya akan hantu tapi menyukai film horror tapi lebih
mempercayai kalau ada wanita yang bisa membawa keberuntungan kepadanya.
Perlahan
sepeda motor itu sedikit-demi sedikit membawanya ketempat tujuan, sebuah rumah
panggung tua yang menurut cerita dari beberapa orang ada sedikit keringat sang
ayah berbekas dibeberapa kayu penyanggah rumah itu. Karena dahulu ayahnyalah
yang bertugas memanggul kayu-kayu itu berpindah dari tempat pemotongan menuju
rumah itu. Tidak terbayangkan diayal memang, seorang anak kecil yang menamatkan
sekolahnya disekolah dasarnya saja belum tapi sudah bekerja segiat itu.
Entah
cerita itu benar atau mitos belaka, atau perumpamaan para orang-orang tua yang
menceritakan cerita itu kepadanya untuk menggambarkan betapa beratnya
penanggungan ayahnya diwaktu kecil dulu, betapa kerasnya dia bekerja, atau
hanya sebuah penyindiran baginya yang dilihat oleh orang luar kalau dirinya
selalu dimanja. Padahal tidak sekalipun dia merasakan kalau dia dimanja, sebab
dia tahu walaupun kedua orang tuanya ingin memanjahinya tapi mereka tidak punya
kemampuan.
Dilihatnya
pintu pagar rumah itu yang terbuat dari bambu yang disusun oleh beberapa batang
bambu yang melintang sudah tertutup. Dan satu persatu dia menggeser pintu pagar
itu agar bisa terbuka, agar bisa dia memasukkan motornya, agar lekas dia bisa
masuk kedalam rumah besar itu. Setelah bisa dia masuk kedalam perkarangan rumah
yang tanahnya masih terasa lembut karena sudah seharian kemarin diguyur hujan,
dia susun kembali pintu pagar itu seperti sediakala agar kembali tertutup
seperti sebelum dia sampai tadi.
Udara
disekitarnya sudah terasa sangat dingin namun menyegarkan, layaknya udara khas
pegunungan atau dataran tinggi. Sedikit kabut mulai turun dipekarangan rumah
tua itu.
Lubang
hidung sudah terasa ngilu karena menghirup dinginnya udara malam itu.
Berakhir
sudah perjalanan panjang ini, katanya dalam hati.
Perlahan
dia menaiki tangga kayu yang kata ayahnya sudah ada sejak rumah itu dibangun
dan belum pernah diganti. Setelah itu dia buka pintu kayu berdaun dua khas
rumah adat melayu jaman dulu, dan masuklah dia kedalam seuah ruang tamu kecil
rumah tersebut. Itulah adalah akhir dari perjalanannya malam itu, sebuah
perjalanan yang tidak cukup panjang namun bisa membawa pikirannya berlari kian
kemari dari masa lalu kemudian kemasa depan dan juga kepada khayalan tentang
hal yang jauh dari jangkauannya.
Perjalanan
malam ini memang sudah usai, sebab dia sudah sampai pada tujuannya. Tetapi
tidak pada perjalanan hidupnya, masih panjang jalan yang ada didepannya,
sepanjang usia yang telah dia sepakati dengan sang penciptanya, dengan Sang
Maha Kuasa. Malam ini hanya sepersekian kecil dari sekian banyaknya jalan
hidupnya, dan masih banyak rintangan serta sesuatu yang belum lihat didepan
sana. Sebab ini dunia, sebab ini semesta, yang sangat luas sekali, seluas hati
dari seorang pemaaf.
Dan
perjalanan tadi hanya sebuah penganalogian sederhana tentang hidup, dimana kita
harus mampu melawan takut, melawan kegelapan jika ingin menuju tempat berpulang.
Sebab dibalik pekatnya gelap dan dinginnya malam ada tempat yang nyaman untuk
kita bisa berpulang dan melepas kepenatan yang ada dan yang kita rasakan
sebagai hasil dari yang kita kerjakan selama seharian ini.
Sebuah
tempat yang nyaman untuk kita merebahkan punggung kita yang telah kaku, tempat
yang hangat setelah sepanjang jalan kita merasakan hawa dingin malam angin
jalanan. Tempat yang mampu membuat kita aman untuk memejamkan mata tanpa harus
takut akan kegelapan malam dan hal yang menakutkan dibaliknya.
Tempat
yang akan membuat kita berkata dan selalu ingin berkata, ‘aku ingin pulang secepat mungkin’.
Tempat yang dengan bangga kau sebut dengan sebutan 'rumah'.




0 komentar:
Posting Komentar