Kamis, 04 Agustus 2016

Hai, selamat pagi.. Apa kabarmu ??.
Kata seorang laki-laki berpakaian rapi dengan jas, dalaman kemeja putih, lengkap dengan dasi berwarnah merah yang panjang menjuntai. Sedangkan bawahannya, ah, layaknya seorang eksekutif muda dia memadukan celana dasar hitam berbahan licin dan sepatu kulit yang bermerk.
Laki-laki muda itu berbicara menghadap pada cermin kamar tidurnya.

Rambutnya klimis rapi dan tampaknya baru dipotong, entah kemarin sore atau kemarin siang. Tapi yang jelas tidak lama sebelum hari ini.
Oh, ya, hari ini tanggal satu januari kan ?? kau ingat hari apa ini ??
Laki-laki muda itu berdiam sejenak seakan-akan menunggukan jawaban dari apa yang dia tanyakan didepan cerminnya.
Apa ??
Kata laki-laki muda ini lagi, sembari mendekatkan telinganya kearah cerminnya. Seakan-akan mencoba mendengarkan jawaban dari pertanyaan yang dia ajukan kepada sang cermin.
Bukan, maksudku iya hari ini adalah Tahun Baru. Tapi maksudku bukan itu maksudku. Coba kau ingat-ingat lagi hari apa ini, aku akan bersabar menunggu jawabanmu.
Kata laki-laki muda ini mengulangi seperti seorang yang sedang menunggu sebuah jawaban.
Oke, oke jika kamu benar-benar tidak tahu dan menyerah, akan kuberitahu hari apa ini. Ini hari yang spesial, bahkan sangat-sangat spesial bagimu, eh tidak bagi kita berdua maksudku.
Apa kau sudah ingat hari apa ini ?? Coba katakan padaku, kalau begitu, beri tahu aku hari apa ini dan buktikan kalau kau benar-benar sudah mengingatnya.
Kata laki-laki muda ini lagi.
Hahahahaha............. akhirnya kau ingat juga ternyata. Benar.. kau benar.. apa yang kau katakan itu benar semua.
Kalau begitu, aku ucapkan selamat ulang tahun yang ke tujuh belas padamu.
Sambil tersenyum sumringah laki-laki muda ini mengeluarkan sekotak kecil bingkisan yang sudah dibalut rapi dengan kertas kado berwarna biru muda dan dihiasi oleh pita berwarna putih.
Ini hadiah untukmu, maaf tidak ada kue kali ini,maaf juga tidak ada lilin yang bisa kau tiup. Tapi aku berdo’a agar kau sehat selalu, agar kau bahagia setiap saat, agar kau sentosa dan makmur, agar setiap keinginanmu tercapai dan terkabulkan, agar semua do’amu terwujud, agar kau bisa berulang tahun lagi tahun depan.
Kembali laki-laki muda ini tersenyum sambil meletakkan hadiah yang dia pegang dan ingin dia berikan itu kemeja didekat cermin tempat dia sedang bercakap-cakap sendiri.
Tujuh belas tahun sudah kau sekarang, cepat sekali terasa waktu berlalu. Padahal baru kemarin seingatku kau masuk Sekolah Dasar, masih teringat jelas dipelupuk mataku moment itu. Saat dimana kau sendirian melangkahkan kaki kecilmu melewati gerbang sekolah pertamamu dan masuk kedalam perkarangan sekolah itu, kau melihat disekelilingmu bagaimana teman-teman barumu datang dengan bersama orang tua mereka yang mengantarkan mereka dihari pertama mereka masuk sekolah. Hanya kau sendiri yang berjalan tanpa ditemani ayah dan ibumu, kau berjalan perlahan tanpa ada sedikitpun keraguan disana dan tak ada sedikitpun rasa ingin dalam hatimu untuk seperti mereka para teman-temanmu yang ditemani kedua orang tua mereka.
Mungkin kau tidak tahu tentang itu sebab kau masih kecil saat itu, bahkan sangat kecil untuk memahami semua itu, atau mungkin kau memang tak mau tahu akan hal itu, seperti layaknya sifatmu sekarang, sifat yang kau dapat dari warisan ayahmu. Yang tidak pernah mempedulikan apa kata orang tentang hidup yang dia jalani dan tetap pada pendiriannya untuk menjalani hidup yang sudah menjadi hak miliknya sejak dia lahir.
Masih jelas terlihat dipelupuk mataku, bagaimana kenangan tentangmu dahulu. Bagaimana kau berlari dan bermain menghabiskan masa kecilmu, dimana kau merasakan kebahagian ketika saat disekolah dan dikelilingi oleh teman-teman yang kau cintai tapi kemudian kau merasa sepi dan hening seketika kau kembali tiba dirumahmu yang kosong dan tidak ada siapa-siapa.
Tapi kau tetap tak mau ambil pusing.
Kau tetap tertawa disaat kau bisa tertawa, tapi kau berusaha menahan tangis sedih dan deraian air mata sekuat tenaga ketika kau sedang sendiri dan hanya berkawan dengan bayanganmu yang setiap sejak kau lahir.
Masih teringat dalam kenanganku, bagaiamana kau mencemaskan hari. Dari semua waktu yang kau jalani, yang paling kau cemaskan adalah tat kala senja dan malam hari. Sebab disaat itulah kau merasakan neraka yang bernama kesepian, kau benar-benar merasakan bagaimana menyedihkannya hidupmu, bagaimana menyedihkannya hidup seorang diri ditengah remang-remangnya cahaya senja dan gelapnya malam yang kau jalani setiap hari.
Masih teringat jelas dalam ingatanku, kala kau begitu bersemangat menyambut datangnya pagi, menyambut sinar mentari yang kebanyakan orang enggan untuk menyapanya. Tapi kau, kau selalu menyapa sang mentari.
Seolah-olah mentari adalah sahabat yang sangat kau inginkan kedatangannya dan selalu kau tunggu kemunculannya.
Sebab hanya mentari dan pagi hari yang menandakan habisnya penderitaan kesepianmu itu.
Mentari dan pagi hari seperti layaknya isyarat hilangnya rasa kesepian yang kau rasakan sepanjang malam, layaknya sebuah harapan diantara keputus asaan. Kau selalu bersemangat menyambut awal hari selayaknya seorang musafir yang begitu bergembira ketika melihat oase ditengah padang pasir yang luas.
Masih kuingat tentangmu, tentang kau yang sangat membenci akhir pekan.
Tidak seperti mereka yang begitu merindukannya, kau malah sebaliknya sangat membenci akhir pekan. Sebab saat itulah kau merasakan bahwa kau benar-benar sendiri hidup didunia ini tidak ada yang lain. Satu hari dalam akhir pekan itu sama seperti satu milenium yang kau rasakan, begitu lamanya kau rasakan. Kau sangat tidak sabar agar akhir pekan itu berakhir, semata agar kau bisa bertemu dengan teman-temanmu dan bermain kembali dengan mereka.
Tujuh belas tahun kau kini.
Sudah banyak perubahan yang terjadi pada dirimu.
Coba lihat kau bertambah tinggi sekarang.
Kata laki-laki muda ini sambil meletakkan telapak tangannya diatas kepalanya seperti sedang mengukur tinggi badannya.
Padahal baru sebentar aku merasa kau setinggi ini.
Katanya lagi sambil meletakkan tangannya lagi dibawah pinggulnya.
Tinggimu dulu hanya segini perasaanku, tidak lebih tinggi dari pinggang ini. Tapi coba lihat kau sekarang, kau sudah tambah besar rupanya. Sudah tambah dewasa tampaknya. Sudah bisa tampaknya tangan kananmu menyentuh telinga kirimu seperti yang sering kau coba lakukan ketika kau masih kecil. Saat itu kau masih bersusah payah melakukannya dan tak kunjung bisa, tapi sekarang kau sudah mampu tanpa harus bersusah payah.
Katanya sambil menyentuh telinga kirinya dengan tangan kanannya dari belakang kepalannya.
Sudah besar ternyata kau sekarang.
Sudah bisa tampaknya tanganmu meraih kayu ventilasi pintu kamar tidurmu. Kuingat jelas saat itu, kau bersusah payah meloncat untuk menggapai ventilasi pada kusein pintu kamarmu tapi tak kunjung jua berhasil.
Ah lihatlah itu, garis-garis yang kau buat dari kapur berwarna-warni yang kau ambi dari sisa-sisa gurumu menuliskan pelajaran dikelas ketika kau masih disekolah dasar dahulu. Garis-garis yang kau buat dikusein pintu untuk mengukur perkembangan tinggi badanmu, setiap saat selalu bertambah kulihat. Seakan menunjukkan kalau kau juga berkembang dan tumbuh besar serta dewasa.
Sudah besar kau rupanya, sudah ingin lulus kau dari sekolah menengah atas mu. Tampaknya sudah semakin dekat kau dengan cita-citamu untuk menjadi seorang teknisi seperti ayahmu, cita-cita yang kau dapat inspirasinya ketika kau mengingat sedikit dari sejemput ingatan dimemorimu yang tersisa tentang kedua orang tuamu.
Karena hanya memang cita-cita yang kau inspirasinya kau dapat dari merekala yang tersisa tentang mereka dan tertinggal diingatanmu. Sebab selain itu tidak ada yang tersisa sama sekali.
Kau tidak pernah bisa mengingat bagaimana indahnya senyum mereka, tidak pernah terbayang sama sekali olehmu. Karena memang jangankan untuk membayangkannya, untuk mengingatnya saja kau tidak bisa. Sebab kau melihat senyum mereka ketika otakmu belum mampu mengingat tentang kenangan itu.
Kau tidak pernah bisa mengingat bagaimana hangatnya berada didalam dekapan mereka. Sebab saat itu tubuhmu terlalu kecil untuk merasakan dekapan itu, dekapan yang mungkin terasa menghangatkan jika dapat kau mengingatnya. Dekapan yang mungkin bisa mengalahkan hangatnya selimut terbaik yang ada didunia sekalipun, atau bahkan mampu mengalahkan hangatnya api unggun yang kau buat saat perkemahan pramuka dahulu.
Yang tersisa dari mereka berdua hanya selembar kertas pernghargaan yang mereka dapatkan dahulu, selebihnya tidak ada yang tersisa.
Kau sudah dewasa sekarang, sudah tujuh belas tahun umurmu.
Sudah bisa kau mendapatkan surat izin mengemudi untuk kendaraan yang sering kau kendarakan secara sembunyi-sembunyi karena memang saat itu belum cukup umurmu untuk mengendarainya. Kendaraan yang konon katanya dahulu selalu ayahmu pakai untuk membawa ibumu dibelakangnya.
Tujuh belas tahun.
Sudah bisa rasanya jika tahun depan untuk kau bisa ikut mencelupkan jari kelingkingmu seperti yang orang-orang dewasa lain lakukan ketika lima tahun sekali. Tidak perlu kau mencuri-curi untuk mencelupkan kelingkingmu lagi ketika Pak Hansip lengah saat sedang menjaga tinta itu hanya untuk menunjukkan kepada orang-orang bahwa kau sudah dewasa, padahal semua orang tahu saat itu bahwa kau hanya mencuri-curi saja saat itu.
Selamat ulang tahun untukmu.
Sudah bertambah saja umurmu sekarang.
Kau yang dahulu, selalu merasa kesepian sekarang sudah mempunyai banyak teman ternyata. Mereka yang kau anggap saudara olehmu yang hidup tanpa saudara didunia ini, yang hidup dengan kesepian yang menyakitkan.
Bagaimana kuingat dahulu, kau selalu mencari-cari orang agar ingin berteman denganmu. Bagaimana kuingat dahulu, kau bersusah payah mengumpulkan teman agar hidupmu tidak sendiri lagi. Setelah kau kumpulkan dan kau mendapatkan mereka yang kau anggap teman dan juga menganggapmu teman, kau jaga mereka agar tidak pergi dari sisimu dikemudian hari. Sebab kau merasa merekalah yang kau punya sekarang, sebab kau pikir bahwa itulah keluargamu sekarang menggantikan mereka yang telah hilang darimu sejak lama dan membuatmu merasakan kesepian.
Selamat ulang tahun padamu.
Mudah-mudahan tahun depan aku bisa mengucapkannya lagi untukmu. Dan mudah-mudahan tahun depan akan lebih banyak lagi yang mengucapkan kata ‘selamat ulang tahun padamu’.
Ayah ibumu pasti akan bangga denganmu, mungkin diatas sana mereka sedang mengucapkan kata ‘selamat ulang tahun’ padamu. Tapi sayang jarak mereka dan kau sangatlah jauh, sudah kencang mereka teriak tapi tak mampu juga suara teriakan itu sampai ketelingamu. Sehingga tak pernah bisa kau dengar teriakan dan ucapan ‘selamat ulang tahun’ dari mereka untukmu.
Tapi aku bisa mendengarkannya.
Coba kau pejamkan matamu barang sejenak, bawa dirimu dan perasaanmu kedalam seuah keheningan dan kesunyian sejenak. Samar-samar kau bisa melihat wajah mereka berdua. Lapat-lapat kau dapat mendengar sayup-sayup mereka mengucapkan ‘selamat ulang tahun anakku, ayah dan ibumu sangat mencintaimu’.
Memerah mata laki-laki muda itu, diujung matanya sudah tampak air mata yang terus-menerus mendesak ingin keluar tapi sedapat mungkin ingin dia tahan. Bergetar bibirnya menahan perasaan yang entah kenapa tiba-tiba datang itu. Tangan kirinya memegang dadanya, ada perasaan sakit yang menusuk didadanya, seakan-akan jantungnya tertusuk-tusuk oleh tombak yang tajam berulang-ulang.
Apakah kau dengar ayah ibumu berkata kalau dia sayang kamu, dia berdo’a untukmu. Bilanglah juga pada mereka kalau kau juga sayang mereka, bilanglah juga kalau kau sayang mereka, bilanglah juga kalau kau ingin bertemu dengan mereka, ingin bersama mereka, dan ingin berkumpul dengan mereka lagi seperti yang dapat kau ingat dahulu. Tapi bilanglah juga kalau saat ini kau belum bisa berkumpul dengan mereka, sebab kau masih punya banyak hal yang harus kau lakukan didunia ini. Kau masih punya banyak hal yang harus kau lakukan untuk membuat mereka bangga, dan nanti jika sudah saatnya kau bertemu dengan mereka berdua. Kau akan punya banyak cerita yang akan kau ceritakan kepada mereka.
Kau akan punya banyak cerita yang akan kau ceritakan yang nanti akan membuat mereka berkata, ‘kau memang anak kami, memang kebanggaan kami’. Sambil tersenyum mereka mendengarkan kisah keperkasaanmu nanti, kisah keperkasaanmu yang bagaimana hebatnya dirimu bertahan hidup sendiri tanpa mereka berdua disisimu, bagaimana hebatnya dirimu bertahan seorang diri melawan kesepian saat senja dan kesunyian saat malam tiba.
Jika saat itu tiba nanti, bisalah kau minta pada ibu untuk menyanyikan lagu ‘nina bobo’ yang acap kali kau nyanyikan sendiri ketika kau akan tidur karena memang tidak ada yang bisa dan mau menyanyikannya untukmu.
Teringat olehku bagaimana kau terpulas setelah berulang-ulang menyanyikan lagu itu sebelum kau tidur. Entah kau telah lelah menyanyikannya, entah kau lelah karena dunia yang kau jalani sendiri sepanjang hari itu, tidak ada yang tahu penyebabnya.
Kembali berhenti sejenak laki-laki muda ini, dan sekarang air mata yang sejak tadi ingin keluar tak dapat dia tahan lagi. Tak terbendung air mata mengalir keluar dari kedua sudut matanya. Cepat-cepat tangannya ditutupkannya kematanya untuk menyembunyikan kedua matanya dari pandangan cermin itu, seolah-olah sedang menyembunyikan kesedihannya yang sebenarnya tidak bisa dia sembunyikan lagi.
Terdengar jelas suara terisak tangis yang keluar dari bibirnya dan berpadu ketika dia hendak menarik nafas.
Aku berharap, tahun depan akan ada orang lain yang mengucapkan selamat kepadamu, aku sangat berharap, dan sangat menantikannya hari itu tiba.
Kau seharusnya bisa membiarkan orang lain mengucapkan ucapan selamat itu, tak perlu kau tutupi segala kesedihanmu itu. Aku tahu kau tidak ingin menunjukkan kerapuhanmu didepan teman-temanmu, tapi apa guna kau mengumpulkan teman yang kau anggap keluarga itu jika masih ada yang kau sembunyikan dari mereka.
Karena layaknya tawamu, kesedihanmu juga patut kau bagi kepada mereka. Entah mereka ingin menerimanya atau tidak tapi setidaknya kau sudah membagikannya.
Aku berharap ini adalah ucapan terakhir yang ku ucapkan padamu, karena aku berharap kau bisa dikesempatan yang akan datang kau sudi untuk membuka hatimu dan kesedihanmu itu untuk kau bagi kepada mereka.
Selamat ulang tahun untukmu, dari aku kepadamu.
Setelah itu laki-laki mudah itu berbalik dari cermin dengan salah satu tangannya masih menutupi kedua matanya yang sekarang tak henti-hentinya mengeluarkan air mata. Bibir bawahnya dia gigit sekuat-kuatnya, berusaha agar tidak terdengar suara terisak dari mulutnya.
Ya, ucapan yang dia ucapkan itu bukan untuk orang lain. Tapi untuk dia sendiri.

Dia, seorang laki-laki yang sejak kecil senantiasa selalu kesepian, tidak ada teman, tidak ada saudara, tidak berbapak dan tidak beribu. Orang yang kala dikeramaian tertawa terbahak-bahak tapi jika surut kebelakang layar menangis terisak-isak tatkala mengingat kepedihan yang dia rasakan semasa hidupnya.
Sudah tujuh belas tahun umurnya, setidaknya kalau tak salah dia menghitung sudah dua belas tahun dia tidak mendapatkan ucapan selamat ulang tahun dari siapapun. Tidak dari teman-temannya, tidak dari saudaranya, ataupun dari kedua orang tuanya.
Ayah dan ibunya pergi meninggalkan dia jauh sejak dia kecil tanpa bisa menyaksikan tumbuh kembangnya dan tanpa bisa pula melihat kesuksesannya kelak. Sepeninggal ayah dan ibunya tiga tahun dia diasuh oleh neneknya yang sudah renta. Yang bahkan sering lupa dengan apa yang terucap dari mulutnya sendiri. Pernah suatu ketika dia bertanya tentang berapa jumlah raka’at pada sholat subuh, sang nenek menjawab empat raka’at, karena beliau sudah lupa dan tidak begitu jelas mendengar lagi apa yang dia tanyakan. Dan baru dikemudian hari ketika ditanya lagi hal yang sama untuk kedua kalinya sang nenek baru menjawab dengan benar, dan tidak menyadari kalau sebelumnya sudah salah memberikan jawaban.
Hanya tiga tahun dia diasuh oleh sang nenek, selebihnya dia menjalani kehidupannya sendiri.
Dia anak malang tak beribu, tak bersaudara, dan tak berkeluarga. Sudah kerih badannya mengumpulkan teman yang baik kepadanya, tapi dia masih ragu untuk berbagi kesedihan dengan mereka. Itulah sebabnya, selama dua belas tahun dia berulang tahun dia selalu menghadap cermin untuk mengucapkan ucapan selamat ulang tahun kepada dirinya sendiri.
Memberikan do’a kepada dirinya sendiri, dan memberikan harapan yang baik kepada dirinya sendiri. Sebab dia berpendapat hanya diri sendirilah yang bisa dipercaya dimuka bumi ini.
Karena itulah acap kali dia selalu menyembunyikan hari ulang tahunnya dan juga kesedihannya diantara teman-temannya, acap kali tahun baru teman-temannya mengajaknya untuk pergi ditahun baru untuk bersenang-senang maka acap kali pulalah dia menolaknya.
Karena hanya dihari ulang tahunnyalah dia tidak ingin ditengah keramaian, dan rela dirinya dimakan sepi yang sudah sejak lama dia takutkan dikala malam. Sebab dihari ulang tahunnya saja dia bisa meluapkan apa yang dia rasakan selama ini, seakan dia sedang curhat dengan sahabat sejatinya yang tak pernah dia merasa takut kalau sang teman itu akan membocorkan rahasianya kepada orang lain. Walaupun acap kali pulalah dia mengakhirinya denga tangisan, dan hati pilu yang menyayat hati.
Dia anak umang, tak berayah, dan tak pula beribu. Dia kesepian sejak dari kecil.
Walaupun sekarang dia berteman dengan banyak orang, dia sadar kalau teman-temannya hanya menemaninya dibeberapa saat waktu saja tidak untuk selamanya dan setiap saat. Yang menemaninya selamanya dan setiap saat hanyalah kepedihan, kesedihan, dan dirinya sendiri, serta bayang-bayang kedua orang tuanya yang sekuat tenaga samar-samar coba ia visualisasikan berdasarkan info yang dia dapatkan dari cerita neneknya dahulu.
Dia tegar seperti batu karang, dan kokoh seperti tembok besar Cina yang sanggup menghentikan serangan brutal bangsa Mongolia. Dia tidak ingin merasa dikasihani oleh teman-temannya dan tidak pulalah menghiba kasih sayang dari mereka. Yang dia inginkan adalah sedapat mungkin dia lebih lama terhindar dari kesepian saat berada diantara teman-temannya.
Dia tidak ingin untuk dihibur, dan tidak pula minta tertawakan. Tapi banyak yang berhutang sebuah tawa dan senyum kecil darinya.
Ini adalah ulang tahunnya yang ketujuh belas, yang bagi sebagian orang begitu berkesan, tapi tidak untuk dia.
            Baginya hitungan angka dari umur-umur itu sama saja, sebab tidak ada yang berubah dari kehidupannya sejak semua hilang dari dirinya. Sejak dia berjalan dikesunyian malam sendiri.

0 komentar:

Posting Komentar