Hai, selamat pagi.. Apa
kabarmu ??.
Kata
seorang laki-laki berpakaian rapi dengan jas, dalaman kemeja putih, lengkap
dengan dasi berwarnah merah yang panjang menjuntai. Sedangkan bawahannya, ah,
layaknya seorang eksekutif muda dia memadukan celana dasar hitam berbahan licin
dan sepatu kulit yang bermerk.
Laki-laki
muda itu berbicara menghadap pada cermin kamar tidurnya.
Rambutnya
klimis rapi dan tampaknya baru dipotong, entah kemarin sore atau kemarin siang.
Tapi yang jelas tidak lama sebelum hari ini.
Oh, ya, hari ini
tanggal satu januari kan ?? kau ingat hari apa ini ??
Laki-laki
muda itu berdiam sejenak seakan-akan menunggukan jawaban dari apa yang dia
tanyakan didepan cerminnya.
Apa ??
Kata
laki-laki muda ini lagi, sembari mendekatkan telinganya kearah cerminnya.
Seakan-akan mencoba mendengarkan jawaban dari pertanyaan yang dia ajukan kepada
sang cermin.
Bukan, maksudku iya
hari ini adalah Tahun Baru. Tapi maksudku bukan itu maksudku. Coba kau
ingat-ingat lagi hari apa ini, aku akan bersabar menunggu jawabanmu.
Kata
laki-laki muda ini mengulangi seperti seorang yang sedang menunggu sebuah
jawaban.
Oke, oke jika kamu
benar-benar tidak tahu dan menyerah, akan kuberitahu hari apa ini. Ini hari
yang spesial, bahkan sangat-sangat spesial bagimu, eh tidak bagi kita berdua
maksudku.
Apa kau sudah ingat
hari apa ini ?? Coba katakan padaku, kalau begitu, beri tahu aku hari apa ini
dan buktikan kalau kau benar-benar sudah mengingatnya.
Kata
laki-laki muda ini lagi.
Hahahahaha.............
akhirnya kau ingat juga ternyata. Benar.. kau benar.. apa yang kau katakan itu
benar semua.
Kalau begitu, aku
ucapkan selamat ulang tahun yang ke tujuh belas padamu.
Sambil
tersenyum sumringah laki-laki muda ini mengeluarkan sekotak kecil bingkisan
yang sudah dibalut rapi dengan kertas kado berwarna biru muda dan dihiasi oleh
pita berwarna putih.
Ini hadiah untukmu,
maaf tidak ada kue kali ini,maaf juga tidak ada lilin yang bisa kau tiup. Tapi
aku berdo’a agar kau sehat selalu, agar kau bahagia setiap saat, agar kau
sentosa dan makmur, agar setiap keinginanmu tercapai dan terkabulkan, agar
semua do’amu terwujud, agar kau bisa berulang tahun lagi tahun depan.
Kembali
laki-laki muda ini tersenyum sambil meletakkan hadiah yang dia pegang dan ingin
dia berikan itu kemeja didekat cermin tempat dia sedang bercakap-cakap sendiri.
Tujuh belas tahun sudah
kau sekarang, cepat sekali terasa waktu berlalu. Padahal baru kemarin seingatku
kau masuk Sekolah Dasar, masih teringat jelas dipelupuk mataku moment itu. Saat
dimana kau sendirian melangkahkan kaki kecilmu melewati gerbang sekolah
pertamamu dan masuk kedalam perkarangan sekolah itu, kau melihat disekelilingmu
bagaimana teman-teman barumu datang dengan bersama orang tua mereka yang
mengantarkan mereka dihari pertama mereka masuk sekolah. Hanya kau sendiri yang
berjalan tanpa ditemani ayah dan ibumu, kau berjalan perlahan tanpa ada
sedikitpun keraguan disana dan tak ada sedikitpun rasa ingin dalam hatimu untuk
seperti mereka para teman-temanmu yang ditemani kedua orang tua mereka.
Mungkin kau tidak tahu
tentang itu sebab kau masih kecil saat itu, bahkan sangat kecil untuk memahami
semua itu, atau mungkin kau memang tak mau tahu akan hal itu, seperti layaknya
sifatmu sekarang, sifat yang kau dapat dari warisan ayahmu. Yang tidak pernah
mempedulikan apa kata orang tentang hidup yang dia jalani dan tetap pada
pendiriannya untuk menjalani hidup yang sudah menjadi hak miliknya sejak dia
lahir.
Masih jelas terlihat
dipelupuk mataku, bagaimana kenangan tentangmu dahulu. Bagaimana kau berlari
dan bermain menghabiskan masa kecilmu, dimana kau merasakan kebahagian ketika
saat disekolah dan dikelilingi oleh teman-teman yang kau cintai tapi kemudian
kau merasa sepi dan hening seketika kau kembali tiba dirumahmu yang kosong dan
tidak ada siapa-siapa.
Tapi kau tetap tak mau
ambil pusing.
Kau tetap tertawa
disaat kau bisa tertawa, tapi kau berusaha menahan tangis sedih dan deraian air
mata sekuat tenaga ketika kau sedang sendiri dan hanya berkawan dengan
bayanganmu yang setiap sejak kau lahir.
Masih teringat dalam
kenanganku, bagaiamana kau mencemaskan hari. Dari semua waktu yang kau jalani,
yang paling kau cemaskan adalah tat kala senja dan malam hari. Sebab disaat
itulah kau merasakan neraka yang bernama kesepian, kau benar-benar merasakan
bagaimana menyedihkannya hidupmu, bagaimana menyedihkannya hidup seorang diri
ditengah remang-remangnya cahaya senja dan gelapnya malam yang kau jalani
setiap hari.
Masih teringat jelas
dalam ingatanku, kala kau begitu bersemangat menyambut datangnya pagi,
menyambut sinar mentari yang kebanyakan orang enggan untuk menyapanya. Tapi
kau, kau selalu menyapa sang mentari.
Seolah-olah mentari
adalah sahabat yang sangat kau inginkan kedatangannya dan selalu kau tunggu kemunculannya.
Sebab hanya mentari dan
pagi hari yang menandakan habisnya penderitaan kesepianmu itu.
Mentari dan pagi hari
seperti layaknya isyarat hilangnya rasa kesepian yang kau rasakan sepanjang
malam, layaknya sebuah harapan diantara keputus asaan. Kau selalu bersemangat
menyambut awal hari selayaknya seorang musafir yang begitu bergembira ketika
melihat oase ditengah padang pasir yang luas.
Masih kuingat
tentangmu, tentang kau yang sangat membenci akhir pekan.
Tidak seperti mereka
yang begitu merindukannya, kau malah sebaliknya sangat membenci akhir pekan.
Sebab saat itulah kau merasakan bahwa kau benar-benar sendiri hidup didunia ini
tidak ada yang lain. Satu hari dalam akhir pekan itu sama seperti satu milenium
yang kau rasakan, begitu lamanya kau rasakan. Kau sangat tidak sabar agar akhir
pekan itu berakhir, semata agar kau bisa bertemu dengan teman-temanmu dan
bermain kembali dengan mereka.
Tujuh belas tahun kau
kini.
Sudah banyak perubahan
yang terjadi pada dirimu.
Coba lihat kau
bertambah tinggi sekarang.
Kata
laki-laki muda ini sambil meletakkan telapak tangannya diatas kepalanya seperti
sedang mengukur tinggi badannya.
Padahal baru sebentar
aku merasa kau setinggi ini.
Katanya
lagi sambil meletakkan tangannya lagi dibawah pinggulnya.
Tinggimu dulu hanya
segini perasaanku, tidak lebih tinggi dari pinggang ini. Tapi coba lihat kau
sekarang, kau sudah tambah besar rupanya. Sudah tambah dewasa tampaknya. Sudah
bisa tampaknya tangan kananmu menyentuh telinga kirimu seperti yang sering kau
coba lakukan ketika kau masih kecil. Saat itu kau masih bersusah payah
melakukannya dan tak kunjung bisa, tapi sekarang kau sudah mampu tanpa harus
bersusah payah.
Katanya
sambil menyentuh telinga kirinya dengan tangan kanannya dari belakang
kepalannya.
Sudah besar ternyata
kau sekarang.
Sudah bisa tampaknya
tanganmu meraih kayu ventilasi pintu kamar tidurmu. Kuingat jelas saat itu, kau
bersusah payah meloncat untuk menggapai ventilasi pada kusein pintu kamarmu
tapi tak kunjung jua berhasil.
Ah lihatlah itu,
garis-garis yang kau buat dari kapur berwarna-warni yang kau ambi dari
sisa-sisa gurumu menuliskan pelajaran dikelas ketika kau masih disekolah dasar
dahulu. Garis-garis yang kau buat dikusein pintu untuk mengukur perkembangan
tinggi badanmu, setiap saat selalu bertambah kulihat. Seakan menunjukkan kalau
kau juga berkembang dan tumbuh besar serta dewasa.
Sudah besar kau
rupanya, sudah ingin lulus kau dari sekolah menengah atas mu. Tampaknya sudah
semakin dekat kau dengan cita-citamu untuk menjadi seorang teknisi seperti
ayahmu, cita-cita yang kau dapat inspirasinya ketika kau mengingat sedikit dari
sejemput ingatan dimemorimu yang tersisa tentang kedua orang tuamu.
Karena hanya memang
cita-cita yang kau inspirasinya kau dapat dari merekala yang tersisa tentang
mereka dan tertinggal diingatanmu. Sebab selain itu tidak ada yang tersisa sama
sekali.
Kau tidak pernah bisa
mengingat bagaimana indahnya senyum mereka, tidak pernah terbayang sama sekali
olehmu. Karena memang jangankan untuk membayangkannya, untuk mengingatnya saja
kau tidak bisa. Sebab kau melihat senyum mereka ketika otakmu belum mampu
mengingat tentang kenangan itu.
Kau tidak pernah bisa
mengingat bagaimana hangatnya berada didalam dekapan mereka. Sebab saat itu
tubuhmu terlalu kecil untuk merasakan dekapan itu, dekapan yang mungkin terasa
menghangatkan jika dapat kau mengingatnya. Dekapan yang mungkin bisa
mengalahkan hangatnya selimut terbaik yang ada didunia sekalipun, atau bahkan
mampu mengalahkan hangatnya api unggun yang kau buat saat perkemahan pramuka dahulu.
Yang tersisa dari
mereka berdua hanya selembar kertas pernghargaan yang mereka dapatkan dahulu,
selebihnya tidak ada yang tersisa.
Kau sudah dewasa
sekarang, sudah tujuh belas tahun umurmu.
Sudah bisa kau
mendapatkan surat izin mengemudi untuk kendaraan yang sering kau kendarakan
secara sembunyi-sembunyi karena memang saat itu belum cukup umurmu untuk
mengendarainya. Kendaraan yang konon katanya dahulu selalu ayahmu pakai untuk
membawa ibumu dibelakangnya.
Tujuh belas tahun.
Sudah bisa rasanya jika
tahun depan untuk kau bisa ikut mencelupkan jari kelingkingmu seperti yang
orang-orang dewasa lain lakukan ketika lima tahun sekali. Tidak perlu kau
mencuri-curi untuk mencelupkan kelingkingmu lagi ketika Pak Hansip lengah saat
sedang menjaga tinta itu hanya untuk menunjukkan kepada orang-orang bahwa kau
sudah dewasa, padahal semua orang tahu saat itu bahwa kau hanya mencuri-curi
saja saat itu.
Selamat ulang tahun
untukmu.
Sudah bertambah saja
umurmu sekarang.
Kau yang dahulu, selalu
merasa kesepian sekarang sudah mempunyai banyak teman ternyata. Mereka yang kau
anggap saudara olehmu yang hidup tanpa saudara didunia ini, yang hidup dengan
kesepian yang menyakitkan.
Bagaimana kuingat
dahulu, kau selalu mencari-cari orang agar ingin berteman denganmu. Bagaimana
kuingat dahulu, kau bersusah payah mengumpulkan teman agar hidupmu tidak
sendiri lagi. Setelah kau kumpulkan dan kau mendapatkan mereka yang kau anggap
teman dan juga menganggapmu teman, kau jaga mereka agar tidak pergi dari sisimu
dikemudian hari. Sebab kau merasa merekalah yang kau punya sekarang, sebab kau
pikir bahwa itulah keluargamu sekarang menggantikan mereka yang telah hilang
darimu sejak lama dan membuatmu merasakan kesepian.
Selamat ulang tahun
padamu.
Mudah-mudahan tahun
depan aku bisa mengucapkannya lagi untukmu. Dan mudah-mudahan tahun depan akan
lebih banyak lagi yang mengucapkan kata ‘selamat ulang tahun padamu’.
Ayah ibumu pasti akan
bangga denganmu, mungkin diatas sana mereka sedang mengucapkan kata ‘selamat
ulang tahun’ padamu. Tapi sayang jarak mereka dan kau sangatlah jauh, sudah
kencang mereka teriak tapi tak mampu juga suara teriakan itu sampai
ketelingamu. Sehingga tak pernah bisa kau dengar teriakan dan ucapan ‘selamat
ulang tahun’ dari mereka untukmu.
Tapi aku bisa
mendengarkannya.
Coba kau pejamkan
matamu barang sejenak, bawa dirimu dan perasaanmu kedalam seuah keheningan dan
kesunyian sejenak. Samar-samar kau bisa melihat wajah mereka berdua.
Lapat-lapat kau dapat mendengar sayup-sayup mereka mengucapkan ‘selamat ulang
tahun anakku, ayah dan ibumu sangat mencintaimu’.
Memerah
mata laki-laki muda itu, diujung matanya sudah tampak air mata yang
terus-menerus mendesak ingin keluar tapi sedapat mungkin ingin dia tahan.
Bergetar bibirnya menahan perasaan yang entah kenapa tiba-tiba datang itu.
Tangan kirinya memegang dadanya, ada perasaan sakit yang menusuk didadanya,
seakan-akan jantungnya tertusuk-tusuk oleh tombak yang tajam berulang-ulang.
Apakah kau dengar ayah
ibumu berkata kalau dia sayang kamu, dia berdo’a untukmu. Bilanglah juga pada
mereka kalau kau juga sayang mereka, bilanglah juga kalau kau sayang mereka,
bilanglah juga kalau kau ingin bertemu dengan mereka, ingin bersama mereka, dan
ingin berkumpul dengan mereka lagi seperti yang dapat kau ingat dahulu. Tapi
bilanglah juga kalau saat ini kau belum bisa berkumpul dengan mereka, sebab kau
masih punya banyak hal yang harus kau lakukan didunia ini. Kau masih punya
banyak hal yang harus kau lakukan untuk membuat mereka bangga, dan nanti jika
sudah saatnya kau bertemu dengan mereka berdua. Kau akan punya banyak cerita
yang akan kau ceritakan kepada mereka.
Kau akan punya banyak
cerita yang akan kau ceritakan yang nanti akan membuat mereka berkata, ‘kau
memang anak kami, memang kebanggaan kami’. Sambil tersenyum mereka mendengarkan
kisah keperkasaanmu nanti, kisah keperkasaanmu yang bagaimana hebatnya dirimu
bertahan hidup sendiri tanpa mereka berdua disisimu, bagaimana hebatnya dirimu
bertahan seorang diri melawan kesepian saat senja dan kesunyian saat malam
tiba.
Jika saat itu tiba
nanti, bisalah kau minta pada ibu untuk menyanyikan lagu ‘nina bobo’ yang acap
kali kau nyanyikan sendiri ketika kau akan tidur karena memang tidak ada yang
bisa dan mau menyanyikannya untukmu.
Teringat olehku
bagaimana kau terpulas setelah berulang-ulang menyanyikan lagu itu sebelum kau
tidur. Entah kau telah lelah menyanyikannya, entah kau lelah karena dunia yang
kau jalani sendiri sepanjang hari itu, tidak ada yang tahu penyebabnya.
Kembali
berhenti sejenak laki-laki muda ini, dan sekarang air mata yang sejak tadi
ingin keluar tak dapat dia tahan lagi. Tak terbendung air mata mengalir keluar
dari kedua sudut matanya. Cepat-cepat tangannya ditutupkannya kematanya untuk
menyembunyikan kedua matanya dari pandangan cermin itu, seolah-olah sedang
menyembunyikan kesedihannya yang sebenarnya tidak bisa dia sembunyikan lagi.
Terdengar
jelas suara terisak tangis yang keluar dari bibirnya dan berpadu ketika dia
hendak menarik nafas.
Aku berharap, tahun
depan akan ada orang lain yang mengucapkan selamat kepadamu, aku sangat
berharap, dan sangat menantikannya hari itu tiba.
Kau seharusnya bisa
membiarkan orang lain mengucapkan ucapan selamat itu, tak perlu kau tutupi
segala kesedihanmu itu. Aku tahu kau tidak ingin menunjukkan kerapuhanmu
didepan teman-temanmu, tapi apa guna kau mengumpulkan teman yang kau anggap
keluarga itu jika masih ada yang kau sembunyikan dari mereka.
Karena layaknya tawamu,
kesedihanmu juga patut kau bagi kepada mereka. Entah mereka ingin menerimanya
atau tidak tapi setidaknya kau sudah membagikannya.
Aku berharap ini adalah
ucapan terakhir yang ku ucapkan padamu, karena aku berharap kau bisa
dikesempatan yang akan datang kau sudi untuk membuka hatimu dan kesedihanmu itu
untuk kau bagi kepada mereka.
Selamat ulang tahun
untukmu, dari aku kepadamu.
Setelah
itu laki-laki mudah itu berbalik dari cermin dengan salah satu tangannya masih
menutupi kedua matanya yang sekarang tak henti-hentinya mengeluarkan air mata.
Bibir bawahnya dia gigit sekuat-kuatnya, berusaha agar tidak terdengar suara
terisak dari mulutnya.
Ya,
ucapan yang dia ucapkan itu bukan untuk orang lain. Tapi untuk dia sendiri.
Dia,
seorang laki-laki yang sejak kecil senantiasa selalu kesepian, tidak ada teman,
tidak ada saudara, tidak berbapak dan tidak beribu. Orang yang kala dikeramaian
tertawa terbahak-bahak tapi jika surut kebelakang layar menangis terisak-isak
tatkala mengingat kepedihan yang dia rasakan semasa hidupnya.
Sudah
tujuh belas tahun umurnya, setidaknya kalau tak salah dia menghitung sudah dua
belas tahun dia tidak mendapatkan ucapan selamat ulang tahun dari siapapun.
Tidak dari teman-temannya, tidak dari saudaranya, ataupun dari kedua orang
tuanya.
Ayah
dan ibunya pergi meninggalkan dia jauh sejak dia kecil tanpa bisa menyaksikan
tumbuh kembangnya dan tanpa bisa pula melihat kesuksesannya kelak. Sepeninggal
ayah dan ibunya tiga tahun dia diasuh oleh neneknya yang sudah renta. Yang
bahkan sering lupa dengan apa yang terucap dari mulutnya sendiri. Pernah suatu
ketika dia bertanya tentang berapa jumlah raka’at pada sholat subuh, sang nenek
menjawab empat raka’at, karena beliau sudah lupa dan tidak begitu jelas
mendengar lagi apa yang dia tanyakan. Dan baru dikemudian hari ketika ditanya
lagi hal yang sama untuk kedua kalinya sang nenek baru menjawab dengan benar,
dan tidak menyadari kalau sebelumnya sudah salah memberikan jawaban.
Hanya
tiga tahun dia diasuh oleh sang nenek, selebihnya dia menjalani kehidupannya
sendiri.
Dia
anak malang tak beribu, tak bersaudara, dan tak berkeluarga. Sudah kerih
badannya mengumpulkan teman yang baik kepadanya, tapi dia masih ragu untuk
berbagi kesedihan dengan mereka. Itulah sebabnya, selama dua belas tahun dia
berulang tahun dia selalu menghadap cermin untuk mengucapkan ucapan selamat
ulang tahun kepada dirinya sendiri.
Memberikan
do’a kepada dirinya sendiri, dan memberikan harapan yang baik kepada dirinya
sendiri. Sebab dia berpendapat hanya diri sendirilah yang bisa dipercaya dimuka
bumi ini.
Karena
itulah acap kali dia selalu menyembunyikan hari ulang tahunnya dan juga
kesedihannya diantara teman-temannya, acap kali tahun baru teman-temannya
mengajaknya untuk pergi ditahun baru untuk bersenang-senang maka acap kali
pulalah dia menolaknya.
Karena
hanya dihari ulang tahunnyalah dia tidak ingin ditengah keramaian, dan rela
dirinya dimakan sepi yang sudah sejak lama dia takutkan dikala malam. Sebab
dihari ulang tahunnya saja dia bisa meluapkan apa yang dia rasakan selama ini,
seakan dia sedang curhat dengan sahabat sejatinya yang tak pernah dia merasa
takut kalau sang teman itu akan membocorkan rahasianya kepada orang lain.
Walaupun acap kali pulalah dia mengakhirinya denga tangisan, dan hati pilu yang
menyayat hati.
Dia
anak umang, tak berayah, dan tak pula beribu. Dia kesepian sejak dari kecil.
Walaupun
sekarang dia berteman dengan banyak orang, dia sadar kalau teman-temannya hanya
menemaninya dibeberapa saat waktu saja tidak untuk selamanya dan setiap saat.
Yang menemaninya selamanya dan setiap saat hanyalah kepedihan, kesedihan, dan
dirinya sendiri, serta bayang-bayang kedua orang tuanya yang sekuat tenaga
samar-samar coba ia visualisasikan berdasarkan info yang dia dapatkan dari
cerita neneknya dahulu.
Dia
tegar seperti batu karang, dan kokoh seperti tembok besar Cina yang sanggup
menghentikan serangan brutal bangsa Mongolia. Dia tidak ingin merasa dikasihani
oleh teman-temannya dan tidak pulalah menghiba kasih sayang dari mereka. Yang
dia inginkan adalah sedapat mungkin dia lebih lama terhindar dari kesepian saat
berada diantara teman-temannya.
Dia
tidak ingin untuk dihibur, dan tidak pula minta tertawakan. Tapi banyak yang
berhutang sebuah tawa dan senyum kecil darinya.
Ini
adalah ulang tahunnya yang ketujuh belas, yang bagi sebagian orang begitu
berkesan, tapi tidak untuk dia.
Baginya hitungan angka dari umur-umur itu sama saja,
sebab tidak ada yang berubah dari kehidupannya sejak semua hilang dari dirinya.
Sejak dia berjalan dikesunyian malam sendiri.


0 komentar:
Posting Komentar