Senin, 01 Agustus 2016

Ketika Semesta Mendengarkan

Berkatalah tentang sesuatu yang baik-baik, karena mungkin saja saat itu semesta sedang mendengarkan apa yang kamu katakan itu.


Jika kau merasa kalau semesta ini diam, maka kau salah besar. Setidaknya begitulah menurutku.
Semesta ini hidup, dia mendengar, dia melihat, dia bernafas, dan dia memperhatikan kita yang hidup didalamnya. Sebuah kesalahan besar jika kita merasa kalau kita sudah berada ditempat yang sepi seperti apapun, kita merasa tidak akan ad yang bisa mendengarkan apa yang kita bicarakan meskipun itu didalam hati sekalipun, dan tidak ada yang melihat apa yang kita lakukan serta perbuat.
Sebab sejauh apapun kita bersembunyi bahkan didalam perut bumi sekalipun, semesta pasti bisa menemukan kita. Karena kita hidup didalamnya.
Sesuatu yang awalnya kita ucapkan hanya sebagai sebuah candaan, akan menjadi sebuah kenyataan jika semesta sedang fokus dan memperhatikan kita saat itu.
Semua berawal pada sebuah obrolan kecil disore hari dari tiga orang yang hidup didalam semesta yang luas ini, disebuah teras rumah yang terasa sejuk meskipun saat itu sedang musim panas dan debu jalan berterbangan kemana-mana disapu oleh kendaraan yang lalu lalang dijalan.
Sore itu aku menemani seorang temanku, yang mengantarkan revisian terakhir dari skripsinya sebelum dia seminar kepada seorang dosen kami yang menjadi pembimbing skripsinya. Memang pada pertemuan sebelumnya sang dosen telah berkata kalau skripsi bab 1, 2, dan 3 nya sudah hampir mendekati rampung, dan minggu depan (yang artinya hari ini) sudah benar-benar rampung rasanya setelah itu sang teman sudah bisa melakukan seminar.
Dalam peraturan program studi kami, setiap para penulis skripsi awalnya mengerjakan tiga bab awal terlebih dahulu, dan kemudian baru akan dilakukan seminar yang merupakan progress report untuk mengevaluasi skripsi tersebut sebelum mereka melakukan penelitian untuk dua bab terakhir. Bisa dikatakan kalau seminar adalah ujian tengah semester dari mata kuliah skripsi ini.
Cukup lama kami menunggu beliau diteras rumahnya, dan mungkin inilah alasan temanku mengajakku menemani dia, agar dia tidak begitu kesepian menunggu diteras rumah itu.
Setelah setengah jam lebih kami menunggu diteras rumah itu akhirnya, yang ditunggupun keluar juga. Sesosok perempuan setengah baya yang wajahnya tidak memperlihatkan kalau umurnya sudah setua itu, kalau saja aku tidak melihat pada nomor induk pegawai negerinya yang selalu ditampilkan dibawah namanya ketika akan mencetak lembaran pengesahan skripsi kakak tingkat yang tersusun rapi diruang baca aku merasa beliau masih seumur adik perempuan paling bungsu ibuku, tidak terlihat kalau beliau seusia dengan kedua orang tuaku.
Dan tidak pula mencerminkan tentang wataknya yang buas seperti yang sering kali terdengar oleh beberapa orang kakak tingkat dan adik-adik tingkat kami. Bahkan kelas kamipun sepakat kalau selama beliau masuk dikelas kami, tidak ada satupun yang merasakan bulu kuduk merinding ketika beliau masuk kelas.
Bahkan sering kali kulihat wajah santai tak berdosa temanku, yang terlambat masuk dan menyelonong masuk tanpa permisi melintas dihadapan beliau yang saat itu terlihat kesal karena hanya beberapa orang yang berada dikelas.
Banyak yang menduga kalau saat itu kami akan ‘dihajar’  habis-habisan oleh beliau, bahkan beberapa kakak tingkat yang mengulang mata kuliahnya dikelas kamipun langsung parno dan tidak berani masuk pada hari itu. Tapi semua itu hanya mitos yang entah dari mana asalnya, bahkan sampai jam berakhirpun tidak ada sesuatu yang terjadi pada kami saat itu.
Pernah aku bertanya, hal seperti apa yang membuat mereka sampai begitu takut pada perempuan ini ??
Karena kulihat berulang kali kelasku juga sering melakukan kesalan pada beliau sehingga membuat beliau kesal, tapi itu hanya sebentar dan tidak membuat kami takut atau jera berbuat kesalahan, karena beberapa waktu kemudian kami lakukan lagi kesalahan lainnya. Semua itu bukan kami berani atau menantang beliau, tapi lebih karena kami khilaf layaknya seorang anak yang membuat kesal orang tuanya. Tapi tidak ada yang terjadi, hanya sekedar ungkapan kekesalan yang terlihat jelas diwajahnya saat itu, tidak lebih. Dan kamipun merasa tidak ada yang menakutkan dari ungkapan itu, tidak ada pula hal yang membuat kami membuat kami takut sehingga kami menjadi fobia seperti mereka yang fobia terhadap beliau. Yang ada hanya penyesalan jika kami melakukan kesalahan pada mata kuliahnya.
Itupun juga kami rasakan pada ketika kami melakukan kesalahan pada dosen lain, tidak hanya pada beliau saja.
Jadi apa yang membuat mereka begitu takut pada beliau ??
Sebuah pertanyaan yang mungkin masih belum terjawab dipikiran aku dan teman-temanku sampai saat ini.
Bahkan pernah tergelitik diotak nakalku, untuk sekali saja melihat semenakutkan apa beliau sampai membuat orang-orang begitu takut yang bahkan jika tahu akan berjalan dan berlaluan dengan beliau mereka akan lebih memilih jalan memutar yang jauh sekalipun. Tapi sampai kami luluspun hal itu tak pernah terjadi.
Aku teringat sekali bagaimana takutnya kakak-kakak tingkatku jika pada seminar atau sidang skripsi mereka ada nama beliau dideretan nama beliau sebagai penguji dan bukan sebagai pembimbing. Dan bahkan sampai-sampai ada sebuah teori yang mengatakan ‘Berdo’alah agar kau dibimbing oleh beliau, atau paling tidak  jangan sampai kau diuji dengan beliau’.
Beberapa orang yang pernah masuk dan keluar diprodi Bahasa Inggris percaya kalau jika mereka dibimbing oleh beliau maka kita akan beliau bela habis-habisan ketika seminar dan sidang sampai tidak ada satu orang dosen pembimbingpun yang berani menjatuhkan kita, tapi jika kita diuji oleh beliau dan bukan sebagai dosen pembimbing maka bersiaplah kalau kita akan di ‘bantai’ dan di kritik habis-habisan yang bahkan sampai dosen pembimbingmu sendiri tidak berani untuk membelamu.
Sebuah teori dan pendapat yang tidak masuk akal menurutku.
Bagiku yang menyukai tantangan ini adalah satu hal yang menarik untuk dicoba dan dibuktikan, apalagi aku sudah lama ingin merasakan atmosfer ‘bulu kuduk yang merinding’ seperti yang didesas-desuskan oleh kakak-kakak dan adik-adik tingkatku.
Sehingga sejak pertama kali mendengar dan merasakan diajar oleh beliau, aku berharap kalau dia yang akan menjadi pengujiku, tapi bukan sebagai pembimbingku. Aku ingin merasakan semenakutkan apa beliau saat menguji yang bahkan katanya pernah membuat beberapa seniorku ‘pucat’ sebelum berhadapan.
Sore itu setelah selesai memeriksa skripsi sang teman dan memberi ‘ACC’ untuk dia agar segera seminar, seperti biasa kami bertiga terlibat sebuah obrolan kecil yang ringan untuk suasana sore hari. Dimulai membicarakan tentang studi, Indonesia, dan keadaan politik yang terlihat lucu. Sebuah obrolan alur-ngidul yang cukup menyegarkan otak dari penatnya skripsi yang tiga bulan ini menyandera perhatian kami semua.
Jadi skripsi kamu sudah sampai dimana sekarang ??
Beliau menanyakan kepadaku tentang perkembangan skrisiku juga.
Masih revisi, revisi mom. Pembimbing dua bilang fokus dulu kepada pembimbing satu soalnya beliau tugasnya hanya untuk mengkoreksi grammar saja tidak pada kontennya. Karena konten itu urusannya pembiming satu.
Jawabku dengan menyebut beliau dengan kata ‘mom’, sebuah sebutan yang familiar bagi kami diprodi untuk memanggil dosen wanita kami. Sebuah sebutan yang sebenarnya sampai sekarang ini membuatku juga sedikit tidak paham, karena jika kami menyebut dosen wanita dengan sebutan ‘mom’ maka seharusnya memanggil dosen pria dengan sebutan ‘sir’ atau ‘dad’, sebab setahuku ‘mom’ itu adalah panggilan orang dari westerns country kepada mereka yang anggap ibu dan pasangan dari ‘mom’ adalah ‘dad’ atau ‘sir’. Tapi kami malam memanggil dosen pria dengan sebutan ‘pak’.
Sebuah asimilasi bahasa yang tanggung menurutku dalam sebuah teori lingusitik.
Baguslah, jangan malas-malasan mengerjakan skripsi. Nanti kamu bisa ketinggalan.
Beliau memberiku motivasi sekaligus nasihat yang menurutku baik.
Iya mom, insya Allah sebentar lagi seminar. Mom tunggu aja undangannyya.
Jawabku sedikit bercanda didalamnya.
Undangan ???
Tanya beliau heran dengan apa yang aku sebut sebagai ‘undangan’.
Iya mom, undangan untuk menguji saya dalam sidang seminar progress report.
Kataku bercanda dan diiringi dengan senyum.
Sebuah candaan kah itu ?? Benar, itu memang ada sedikit unsur bercanda didalamnya. Sebab aku tahu kalau penguji seminar dan sidang skripsi itu pihak prodi yang menentukan, mahasiswa atau bahkan dosen pembimbingpun tidak bisa menebak akan berhadapan dengan siapa. Layaknya drawing delapan besar liga chapion Eropa.
Tapi meskipun itu sebuah candaan, tapi terselip juga harapan kalau beliau bisa membimbingku. Aku ingin merasakan bagaimana rasanya berhadapan dengan beliau sebagai seorang penguji, dan kenapa orang-orang kebanyakan takut jika diuji dengan beliau. Aku bertekad agar bisa mematahkan kepercayaan urban dikalangan kami tentang bagaimana menakutkannya beliau jika menjadi penguji.
****
Hari itu sabtu, dua hari setelah aku mendaftar untuk ikut seminar, alhamdulillah pada hari rabu kemarin aku sudah mendapat restu dari kedua dosen pembimbingku untuk mengargumentasikan ‘calon’ skripsiku apakah layak atau tidak untuk lanjut ketahap penelitian.
Malam itu malam minggu, aku sedang asyik berkencan ria via media online dengan seorang teman yang jauh sekali, yang saat itu sedang menuntut ilmu di ‘tanah Sultan’. Ponselku berdering, sebuah pesan singkat masuk dari temanku yang kemarin pagi bertemu saat aku mendaftar seminar.
Kau sudah tahu siapa pengujimu ?
Dia bertanya singkat dalam pesan singkat tersebut. Memang kemarin rencananya pengumuman pembagian penguji dan waktu diadakannya seminar bagi yang telah mendaftar pada hari kamisnya. Harusnya aku datang kesana jum’at itu, tapi aku lebih memilih untuk beristirahat dirumah sejenak, karena memang sudh tiga bulan ini jam tidurku hancur berantakan tidak menentu, tidak terstruktur lagi kapan harus tidur dan kapan harus bangun karena sibuk dengan skripsi.
Belum , senin nanti aku akan melihatnya.
Begitulah jawabku dengan sedikit menjelaskann sedikit rencanaku pada hari depan.
Pengujimu, Mam Hilda dan Pak Rudi. Aku lihat kemarin waktu aku menunggu pembimbingku diprodi.
Ah, entah apa yang harus aku lakukan dan seperti apa cara aku menanggapi berita ini. Tapi yang jelas sebagian besar yang terpikir olehku adalah sebuah hal yang tidak masuk akal bagiku.
Mengapa tidak.
Dua minggu yang lalu aku bercanda dan bilang kepada beliau agar bersiap-siap menerima undangan untuk mengujiku, dan hari ini aku mendapati kalau beliau benar-benar akan mengujiku. Sungguh hal yang benar-benar membuatku sedikit speechless saat itu.
Terbayang olehku ketika aku mengantarkan undangan beserta surat permohonan agar beliau bersedia mengujiku aku akan tersenyum dan berkata kepada beliau, ‘dunia mengaminkan candaanku perihal perkataanku tempo hari mom’.
OMG.
Aku hanya menjawab seperti itu, karena aku memang merasa tidak percaya. Sebuah candaan yang menjadi nyata bagiku. Itu sebenarnya yang kumaksud dengan kata ‘OMGyang kukirim sebagaikan balasan kepada temanku itu tentang informasi yang dia berikan padaku.
Bersiaplah, jum’at depan kau bakalan habis.
Begitulah pesan yang kutangkap sebagai balasan yang temanku kirim sebagai balasan pesanku tadi. Dia menafsirkan kata ‘OMG’ yang kukirim sebagai artian kalau aku sekarang sedang ketakutan dengan kabar yang dia bawa bersama pesan singkat yang dia kirim.
Dia salah menyangka, mungkin dia merasa kalau aku terpengaruh dengan legenda urban yang tersebar melegenda diprodi kami, yang kalau setiap orang akan takut jika diuji oleh Mom Hilda. Padahal sebenarnya tidak aku benar-benar menuggu hal ini bahkan dari sejak lama, bukan untuk menantang atau ‘sok jagoan’  kalau aku tidak takut pada beliau, tapi sekedar ingin membuktikan.
Benar, aku ingin mengatakan kepada semua orang kalau apa yang mereka pikirkan selama ini tidak semuanya benar. Aku ingin menjadi orang pertama yang begitu selesai seminar nanti menjadi orang yang masih bisa tersenyum lebar meskipun sudah diuji oleh beliau bukan sebagai pembimbing tapi sebagai pembimbing, dan bukan menjadi orang yang ikut-ikutan merasakan dengkul serasa mau copot begitu sudah berhadapan dengan beliau seperti barisan para seniorku sebelumnya.
Terbersit sedikit sikap congkak dalam hatiku, aku berniat akan keluar dari ruangan itu dan berkata, ‘saatnya memasukkann tangan kedalam saku celana dan bersiul’.
Tidak terasa lama bagiku untuk menunggu hari jum’at selanjutnya dengan perasaan menunggu-nunggu, karena akan terasa sekejap mata saja.
Jum’at pagi itu, banyak dari teman-teman dan adik-adik tingkat yang ingin melihat seminar progress reportku. Bahkan waktu itu teringat olehku beberapa orang terpaksa disuruh pindah keruangan sebelah yang juga ada salah satu temanku yang sedang melakukan progress report juga sama sepertiku, bahkan dalam waktu yang bersamaan.
Mereka yang datang kurasa bukan karena aku populer atau menyemangatiku sebagai layaknya para fans, sebab aku tidak populer dan terkenal diprodiku dan dikalangan teman-temanku, adik tingkat, ataupun kakak tingkat. Kurasa mereka hanya ingin melihat pertunjukan bagaimana sebuah drama ‘pembantaian’ terjadi diruangan itu, bagaimana darahku mengucur menyiram lantai ubin dan juga ada yang mengalir disela-sela ubin putih ruangan itu. Atau setidaknya bagi para adik-adik tingkatku, mereka bisa melihat sekalian berlatih bagaimana nanti jika berada diposisiku suatu saat nanti, karena dengan mengetahui sedikit banyaknya dari peristiwa yang mereka bayangkan akan terjadi nanti diruangan ini, mereka akan memiliki gambaran situasi tentang bagaimana mereka menangkal dan meminimalisis dampaknya.
Dari sekian banyak yang berada disana, hampir bulat dipikiran mereka kalau aku tidak akan keluar dari ruangan itu dengan selamat. Seperti layaknya melihat pertarungan sepak bola antara Brasil dan Indonesia yang sudah tahu jawabannya.
****
Diluar dari yang telah terjadi diruangan seminar itu, yang bisa kuambil dari peristiwa itu adalah, semesta itu bisa ‘meng-amin-kan’. Meng-amin-kan perkataan bahkan do’a yang kita ucapkan, entah itu maksud kita bercanda atau benar-benar serius dalam mengatakannya. Tapi yang jelas jika semesta sudah mendengar maka itu akan terjadi.
Karena itu, terkadang aku merasakan tentang mereka yang sering berkata sembarangan dengan arti yang buruk seakan tidak takut kalau semesta akan mengaminkan perkataannya.
Ada seorang bapak yang kesal dengan kelakuan anaknya yang masih kecil kemudian sang bapak emosi dan memarahinya. Memang sang bapak tidak memukulnya, karena takut dengan undang-undang perlindungan anak, tapi dia mengganti pukulannya dengan perkataan yang tak dimakan ayal bagi kita yang mendengarkannya. Menyebutkan anaknya sebagai ‘binatang’, ‘durhaka’, atau kata-kata lain yang bermakna konotasi negatif lainnya.
Bagaimana jika semesta mendengarkan dan kemudian meng-amin-kannya, begitu pikirku.
Terbayang olehku nanti, jika suatu hari saat telah dewasa sang anak menjadi anak yang durhaka karena saat kecil sang bapak mengatakannya durhaka dan kemudian semesta mendengar perkataan sang bapak dan akhirnya meng-amin-kan perkataannya.
Tak terbayang juga, saat dewasa sang anak yang dikatai dengan sebutan ‘binatang’ oleh sang bapak benar-benar menjelma menjadi seorang binatang seperti apa yang sang bapak katakan karena semesta juga mendengarkannya dan meng-amin-kannya. Memang bukan diri sang anak yang tiba-tiba berubah menjadi seekor ayam misalnya, tapi berubah menjadi seekor ayam dalam artian kiasan. Kelakuan sang anak, yang pada saat dewasanya menjelma berkelakuan layaknya seekor binatang.
Tidak aneh menurutku, jika sekarang ini banyak berita dimedia-media tentang seorang bapak yang tega memperkosa anaknya atau orang yang suka merasa kalau dia adalah penguasa karena perihal dia bisa berkokok paling nyaring dan kuat. Sebab dulu, mungkin saat masih kecil dia sering disebut binatang oleh orang tuanya. Hingga pada akhirnya ketika dia beranjak remaja dan dewasa tingkah lakunya meniru tingkah laku seekor binatang.
Pernah juga tak terpikirkan olehku dengan seorang yang beraninya bersumpah atau bahkan menggunakan nama Tuhan sebagai tameng untuk menutupi kesalahannya.
Pernah sekali dua aku mendengar seorang pejabat yang terlibat suatu kasus bersumpah menyebut nama Tuhan dan berkata kalau dia tidak bersalah dan bahkan mengharamkan dirinya jika dia melakukan hal yang dituduhkan kepadanya.
Kenapa harus membawa nama Tuhan untuk masalah yang kita lakukan kepasa sesama manusia, dan kenapa juga membawa nama Tuhan yang jelas-jelas ghaib untuk hal yang kita lakukan didunia nyata ini. Kenapa pula harus mengharamkan diri untuk meyakinkan kita tidak bersalah. Sebab jika kita bersalah atau tidak maka itu akan terbukti juga meskipun ditutup-tutupi, tidak perlu bersumpah membawa nama Tuhan dan mengharamkan diri.
Jika kita memang tidak bersalah semua yang kita ucapkan itu tidak akan terbukti tapi jika ternyata kita berkata seperti itu hanya untuk menutup-nutupi kesalahan kita dan bersamaan itu semesta mendengarnya, apa lagi yang akan kita lakukan. Kita benar-benar menjadi haram nanti, karena kekonyolan kita. Kenapa tidak kita memilih diam saja dari pada berkomentar, bukankah diam itu emas.
Ucapan lebih berbahaya dibandingkan senjata apapun disemesta ini, karena jika sudah dikeluarkan tidak bisa dimasukkan kembali layaknya peluru yang dilontarkan dari pelatuknya, tapi berbeda dengan peluru yang jika tepat akan membunuh seketika tapi jika tidak tepat tidak akan membunuh ataupun melukai. Sedangkan lisan, jika tepat memang tidak akan membunuh seketika, tapi membunuh perlahan baik itu kita atau orang yang kita tuju dalam ucapan. Lisan bisa menciptakan perasaan buruk lainnya seperti dendam dan benci. Dan juga jika tidak tepat memuat beberapa orang yang akan terkena. Layaknya sebuah peluru nyasar.
Seperti pernahkah kita menemukan kenyataan, kalau yang kita katakan adalah seseorang yang didekat kita tapi yang terkena dan merasa dikatakan oleh kita adalah orang yang jauh dari kita. Hal itu sering kali terjadi, dan hal itu pula yang mengerikan dari lisan.
Tapi diluar itu yang jelas aku percaya kalau semesta itu hidup, bisa mendengar dan juga bisa melihat. Sehingga dia bisa saja mengutuk apa yang dia lihat atau mengaminkan yang dia dengar tanpa harus berkata lebih dahulu kepada kita.
Memang tidak ada penjelasan ilmiah yang masuk kedalam logika untuk ini, tapi apa salahnya jika kita mencoba untuk mempercayainya tentang semesta yang bisa mendengar dan meng-amin-kan ini. Karena aku pikir untuk kita yang masih percaya kalau ‘hantu’ itu ada dan ada tempat yang angker, mencoba percaya kalau semesta bisa mendengar dan meng-amin-kan bisa kita coba. Sebab semesta lebih masuk akal dibandingkan dengan cerita mistis atau tempat angker menurutku.

Sebab itu, yang kutakutkan dari dunia ini adalah ketika aku sedang berkata buruk tentang sesuatu dan saat itu pulalah semesta mendengar dan meng-amin-kan perkataanku.

0 komentar:

Posting Komentar