Berkatalah
tentang sesuatu yang baik-baik, karena mungkin saja saat itu semesta sedang
mendengarkan apa yang kamu katakan itu.
Jika
kau merasa kalau semesta ini diam, maka kau salah besar. Setidaknya begitulah
menurutku.
Semesta
ini hidup, dia mendengar, dia melihat, dia bernafas, dan dia memperhatikan kita
yang hidup didalamnya. Sebuah kesalahan besar jika kita merasa kalau kita sudah
berada ditempat yang sepi seperti apapun, kita merasa tidak akan ad yang bisa
mendengarkan apa yang kita bicarakan meskipun itu didalam hati sekalipun, dan
tidak ada yang melihat apa yang kita lakukan serta perbuat.
Sebab
sejauh apapun kita bersembunyi bahkan didalam perut bumi sekalipun, semesta
pasti bisa menemukan kita. Karena kita hidup didalamnya.
Sesuatu
yang awalnya kita ucapkan hanya sebagai sebuah candaan, akan menjadi sebuah
kenyataan jika semesta sedang fokus dan memperhatikan kita saat itu.
Semua
berawal pada sebuah obrolan kecil disore hari dari tiga orang yang hidup
didalam semesta yang luas ini, disebuah teras rumah yang terasa sejuk meskipun
saat itu sedang musim panas dan debu jalan berterbangan kemana-mana disapu oleh
kendaraan yang lalu lalang dijalan.
Sore
itu aku menemani seorang temanku, yang mengantarkan revisian terakhir dari
skripsinya sebelum dia seminar kepada seorang dosen kami yang menjadi
pembimbing skripsinya. Memang pada pertemuan sebelumnya sang dosen telah
berkata kalau skripsi bab 1, 2, dan 3 nya sudah hampir mendekati rampung, dan
minggu depan (yang artinya hari ini) sudah benar-benar rampung rasanya setelah
itu sang teman sudah bisa melakukan seminar.
Dalam
peraturan program studi kami, setiap para penulis skripsi awalnya mengerjakan
tiga bab awal terlebih dahulu, dan kemudian baru akan dilakukan seminar yang
merupakan progress report untuk mengevaluasi skripsi tersebut sebelum mereka
melakukan penelitian untuk dua bab terakhir. Bisa dikatakan kalau seminar
adalah ujian tengah semester dari mata kuliah skripsi ini.
Cukup
lama kami menunggu beliau diteras rumahnya, dan mungkin inilah alasan temanku
mengajakku menemani dia, agar dia tidak begitu kesepian menunggu diteras rumah
itu.
Setelah
setengah jam lebih kami menunggu diteras rumah itu akhirnya, yang ditunggupun
keluar juga. Sesosok perempuan setengah baya yang wajahnya tidak memperlihatkan
kalau umurnya sudah setua itu, kalau saja aku tidak melihat pada nomor induk
pegawai negerinya yang selalu ditampilkan dibawah namanya ketika akan mencetak
lembaran pengesahan skripsi kakak tingkat yang tersusun rapi diruang baca aku
merasa beliau masih seumur adik perempuan paling bungsu ibuku, tidak terlihat
kalau beliau seusia dengan kedua orang tuaku.
Dan
tidak pula mencerminkan tentang wataknya yang buas seperti yang sering kali
terdengar oleh beberapa orang kakak tingkat dan adik-adik tingkat kami. Bahkan
kelas kamipun sepakat kalau selama beliau masuk dikelas kami, tidak ada satupun
yang merasakan bulu kuduk merinding ketika beliau masuk kelas.
Bahkan
sering kali kulihat wajah santai tak berdosa temanku, yang terlambat masuk dan
menyelonong masuk tanpa permisi melintas dihadapan beliau yang saat itu
terlihat kesal karena hanya beberapa orang yang berada dikelas.
Banyak
yang menduga kalau saat itu kami akan ‘dihajar’
habis-habisan oleh beliau, bahkan
beberapa kakak tingkat yang mengulang mata kuliahnya dikelas kamipun langsung
parno dan tidak berani masuk pada hari itu. Tapi semua itu hanya mitos yang
entah dari mana asalnya, bahkan sampai jam berakhirpun tidak ada sesuatu yang
terjadi pada kami saat itu.
Pernah
aku bertanya, hal seperti apa yang membuat mereka sampai begitu takut pada
perempuan ini ??
Karena
kulihat berulang kali kelasku juga sering melakukan kesalan pada beliau
sehingga membuat beliau kesal, tapi itu hanya sebentar dan tidak membuat kami
takut atau jera berbuat kesalahan, karena beberapa waktu kemudian kami lakukan
lagi kesalahan lainnya. Semua itu bukan kami berani atau menantang beliau, tapi
lebih karena kami khilaf layaknya seorang anak yang membuat kesal orang tuanya.
Tapi tidak ada yang terjadi, hanya sekedar ungkapan kekesalan yang terlihat
jelas diwajahnya saat itu, tidak lebih. Dan kamipun merasa tidak ada yang
menakutkan dari ungkapan itu, tidak ada pula hal yang membuat kami membuat kami
takut sehingga kami menjadi fobia seperti mereka yang fobia terhadap beliau.
Yang ada hanya penyesalan jika kami melakukan kesalahan pada mata kuliahnya.
Itupun
juga kami rasakan pada ketika kami melakukan kesalahan pada dosen lain, tidak
hanya pada beliau saja.
Jadi
apa yang membuat mereka begitu takut pada beliau ??
Sebuah
pertanyaan yang mungkin masih belum terjawab dipikiran aku dan teman-temanku
sampai saat ini.
Bahkan
pernah tergelitik diotak nakalku, untuk sekali saja melihat semenakutkan apa
beliau sampai membuat orang-orang begitu takut yang bahkan jika tahu akan
berjalan dan berlaluan dengan beliau mereka akan lebih memilih jalan memutar
yang jauh sekalipun. Tapi sampai kami luluspun hal itu tak pernah terjadi.
Aku
teringat sekali bagaimana takutnya kakak-kakak tingkatku jika pada seminar atau
sidang skripsi mereka ada nama beliau dideretan nama beliau sebagai penguji dan
bukan sebagai pembimbing. Dan bahkan sampai-sampai ada sebuah teori yang
mengatakan ‘Berdo’alah agar kau dibimbing
oleh beliau, atau paling tidak jangan
sampai kau diuji dengan beliau’.
Beberapa
orang yang pernah masuk dan keluar diprodi Bahasa Inggris percaya kalau jika
mereka dibimbing oleh beliau maka kita akan beliau bela habis-habisan ketika
seminar dan sidang sampai tidak ada satu orang dosen pembimbingpun yang berani
menjatuhkan kita, tapi jika kita diuji oleh beliau dan bukan sebagai dosen
pembimbing maka bersiaplah kalau kita akan di ‘bantai’ dan di kritik habis-habisan yang bahkan sampai dosen
pembimbingmu sendiri tidak berani untuk membelamu.
Sebuah
teori dan pendapat yang tidak masuk akal menurutku.
Bagiku
yang menyukai tantangan ini adalah satu hal yang menarik untuk dicoba dan
dibuktikan, apalagi aku sudah lama ingin merasakan atmosfer ‘bulu kuduk yang merinding’ seperti yang
didesas-desuskan oleh kakak-kakak dan adik-adik tingkatku.
Sehingga
sejak pertama kali mendengar dan merasakan diajar oleh beliau, aku berharap
kalau dia yang akan menjadi pengujiku, tapi bukan sebagai pembimbingku. Aku
ingin merasakan semenakutkan apa beliau saat menguji yang bahkan katanya pernah
membuat beberapa seniorku ‘pucat’ sebelum
berhadapan.
Sore
itu setelah selesai memeriksa skripsi sang teman dan memberi ‘ACC’ untuk dia agar segera seminar,
seperti biasa kami bertiga terlibat sebuah obrolan kecil yang ringan untuk
suasana sore hari. Dimulai membicarakan tentang studi, Indonesia, dan keadaan
politik yang terlihat lucu. Sebuah obrolan alur-ngidul yang cukup menyegarkan
otak dari penatnya skripsi yang tiga bulan ini menyandera perhatian kami semua.
Jadi skripsi kamu sudah
sampai dimana sekarang ??
Beliau
menanyakan kepadaku tentang perkembangan skrisiku juga.
Masih revisi, revisi
mom. Pembimbing dua bilang fokus dulu kepada pembimbing satu soalnya beliau
tugasnya hanya untuk mengkoreksi grammar saja tidak pada kontennya. Karena
konten itu urusannya pembiming satu.
Jawabku
dengan menyebut beliau dengan kata ‘mom’,
sebuah sebutan yang familiar bagi kami diprodi untuk memanggil dosen wanita
kami. Sebuah sebutan yang sebenarnya sampai sekarang ini membuatku juga sedikit
tidak paham, karena jika kami menyebut dosen wanita dengan sebutan ‘mom’ maka seharusnya memanggil dosen
pria dengan sebutan ‘sir’ atau ‘dad’, sebab setahuku ‘mom’ itu adalah panggilan orang dari
westerns country kepada mereka yang anggap ibu dan pasangan dari ‘mom’ adalah ‘dad’ atau ‘sir’. Tapi
kami malam memanggil dosen pria dengan sebutan ‘pak’.
Sebuah
asimilasi bahasa yang tanggung menurutku dalam sebuah teori lingusitik.
Baguslah, jangan
malas-malasan mengerjakan skripsi. Nanti kamu bisa ketinggalan.
Beliau
memberiku motivasi sekaligus nasihat yang menurutku baik.
Iya mom, insya Allah
sebentar lagi seminar. Mom tunggu aja undangannyya.
Jawabku
sedikit bercanda didalamnya.
Undangan ???
Tanya
beliau heran dengan apa yang aku sebut sebagai ‘undangan’.
Iya mom, undangan untuk
menguji saya dalam sidang seminar progress report.
Kataku
bercanda dan diiringi dengan senyum.
Sebuah
candaan kah itu ?? Benar, itu memang ada sedikit unsur bercanda didalamnya.
Sebab aku tahu kalau penguji seminar dan sidang skripsi itu pihak prodi yang
menentukan, mahasiswa atau bahkan dosen pembimbingpun tidak bisa menebak akan
berhadapan dengan siapa. Layaknya drawing delapan besar liga chapion Eropa.
Tapi
meskipun itu sebuah candaan, tapi terselip juga harapan kalau beliau bisa
membimbingku. Aku ingin merasakan bagaimana rasanya berhadapan dengan beliau
sebagai seorang penguji, dan kenapa orang-orang kebanyakan takut jika diuji
dengan beliau. Aku bertekad agar bisa mematahkan kepercayaan urban dikalangan kami tentang bagaimana menakutkannya
beliau jika menjadi penguji.
****
Hari
itu sabtu, dua hari setelah aku mendaftar untuk ikut seminar, alhamdulillah
pada hari rabu kemarin aku sudah mendapat restu dari kedua dosen pembimbingku
untuk mengargumentasikan ‘calon’ skripsiku
apakah layak atau tidak untuk lanjut ketahap penelitian.
Malam
itu malam minggu, aku sedang asyik berkencan ria via media online dengan
seorang teman yang jauh sekali, yang saat itu sedang menuntut ilmu di ‘tanah Sultan’. Ponselku berdering,
sebuah pesan singkat masuk dari temanku yang kemarin pagi bertemu saat aku
mendaftar seminar.
Kau sudah tahu siapa
pengujimu ?
Dia
bertanya singkat dalam pesan singkat tersebut. Memang kemarin rencananya
pengumuman pembagian penguji dan waktu diadakannya seminar bagi yang telah
mendaftar pada hari kamisnya. Harusnya aku datang kesana jum’at itu, tapi aku
lebih memilih untuk beristirahat dirumah sejenak, karena memang sudh tiga bulan
ini jam tidurku hancur berantakan tidak menentu, tidak terstruktur lagi kapan
harus tidur dan kapan harus bangun karena sibuk dengan skripsi.
Belum , senin nanti aku
akan melihatnya.
Begitulah
jawabku dengan sedikit menjelaskann sedikit rencanaku pada hari depan.
Pengujimu, Mam Hilda
dan Pak Rudi. Aku lihat kemarin waktu aku menunggu pembimbingku diprodi.
Ah,
entah apa yang harus aku lakukan dan seperti apa cara aku menanggapi berita
ini. Tapi yang jelas sebagian besar yang terpikir olehku adalah sebuah hal yang
tidak masuk akal bagiku.
Mengapa
tidak.
Dua
minggu yang lalu aku bercanda dan bilang kepada beliau agar bersiap-siap
menerima undangan untuk mengujiku, dan hari ini aku mendapati kalau beliau
benar-benar akan mengujiku. Sungguh hal yang benar-benar membuatku sedikit
speechless saat itu.
Terbayang
olehku ketika aku mengantarkan undangan beserta surat permohonan agar beliau
bersedia mengujiku aku akan tersenyum dan berkata kepada beliau, ‘dunia mengaminkan candaanku perihal
perkataanku tempo hari mom’.
Aku
hanya menjawab seperti itu, karena aku memang merasa tidak percaya. Sebuah
candaan yang menjadi nyata bagiku. Itu sebenarnya yang kumaksud dengan kata ‘OMG ’ yang kukirim sebagaikan balasan kepada
temanku itu tentang informasi yang dia berikan padaku.
Bersiaplah, jum’at
depan kau bakalan habis.
Begitulah
pesan yang kutangkap sebagai balasan yang temanku kirim sebagai balasan pesanku
tadi. Dia menafsirkan kata ‘OMG ’ yang kukirim sebagai artian kalau aku
sekarang sedang ketakutan dengan kabar yang dia bawa bersama pesan singkat yang
dia kirim.
Dia
salah menyangka, mungkin dia merasa kalau aku terpengaruh dengan legenda urban
yang tersebar melegenda diprodi kami, yang kalau setiap orang akan takut jika
diuji oleh Mom Hilda. Padahal sebenarnya tidak aku benar-benar menuggu hal ini
bahkan dari sejak lama, bukan untuk menantang atau ‘sok jagoan’ kalau aku tidak
takut pada beliau, tapi sekedar ingin membuktikan.
Benar,
aku ingin mengatakan kepada semua orang kalau apa yang mereka pikirkan selama
ini tidak semuanya benar. Aku ingin menjadi orang pertama yang begitu selesai
seminar nanti menjadi orang yang masih bisa tersenyum lebar meskipun sudah
diuji oleh beliau bukan sebagai pembimbing tapi sebagai pembimbing, dan bukan
menjadi orang yang ikut-ikutan merasakan dengkul serasa mau copot begitu sudah
berhadapan dengan beliau seperti barisan para seniorku sebelumnya.
Terbersit
sedikit sikap congkak dalam hatiku, aku berniat akan keluar dari ruangan itu
dan berkata, ‘saatnya memasukkann tangan
kedalam saku celana dan bersiul’.
Tidak
terasa lama bagiku untuk menunggu hari jum’at selanjutnya dengan perasaan
menunggu-nunggu, karena akan terasa sekejap mata saja.
Jum’at
pagi itu, banyak dari teman-teman dan adik-adik tingkat yang ingin melihat
seminar progress reportku. Bahkan waktu itu teringat olehku beberapa orang
terpaksa disuruh pindah keruangan sebelah yang juga ada salah satu temanku yang
sedang melakukan progress report juga sama sepertiku, bahkan dalam waktu yang
bersamaan.
Mereka
yang datang kurasa bukan karena aku populer atau menyemangatiku sebagai
layaknya para fans, sebab aku tidak populer dan terkenal diprodiku dan
dikalangan teman-temanku, adik tingkat, ataupun kakak tingkat. Kurasa mereka
hanya ingin melihat pertunjukan bagaimana sebuah drama ‘pembantaian’ terjadi diruangan itu, bagaimana darahku mengucur
menyiram lantai ubin dan juga ada yang mengalir disela-sela ubin putih ruangan
itu. Atau setidaknya bagi para adik-adik tingkatku, mereka bisa melihat
sekalian berlatih bagaimana nanti jika berada diposisiku suatu saat nanti,
karena dengan mengetahui sedikit banyaknya dari peristiwa yang mereka bayangkan
akan terjadi nanti diruangan ini, mereka akan memiliki gambaran situasi tentang
bagaimana mereka menangkal dan meminimalisis dampaknya.
Dari
sekian banyak yang berada disana, hampir bulat dipikiran mereka kalau aku tidak
akan keluar dari ruangan itu dengan selamat. Seperti layaknya melihat
pertarungan sepak bola antara Brasil dan Indonesia yang sudah tahu jawabannya.
****
Diluar
dari yang telah terjadi diruangan seminar itu, yang bisa kuambil dari peristiwa
itu adalah, semesta itu bisa ‘meng-amin-kan’.
Meng-amin-kan perkataan bahkan do’a yang kita ucapkan, entah itu maksud
kita bercanda atau benar-benar serius dalam mengatakannya. Tapi yang jelas jika
semesta sudah mendengar maka itu akan terjadi.
Karena
itu, terkadang aku merasakan tentang mereka yang sering berkata sembarangan
dengan arti yang buruk seakan tidak takut kalau semesta akan mengaminkan
perkataannya.
Ada
seorang bapak yang kesal dengan kelakuan anaknya yang masih kecil kemudian sang
bapak emosi dan memarahinya. Memang sang bapak tidak memukulnya, karena takut
dengan undang-undang perlindungan anak, tapi dia mengganti pukulannya dengan
perkataan yang tak dimakan ayal bagi kita yang mendengarkannya. Menyebutkan
anaknya sebagai ‘binatang’, ‘durhaka’, atau
kata-kata lain yang bermakna konotasi negatif lainnya.
Bagaimana
jika semesta mendengarkan dan kemudian meng-amin-kannya, begitu pikirku.
Terbayang
olehku nanti, jika suatu hari saat telah dewasa sang anak menjadi anak yang
durhaka karena saat kecil sang bapak mengatakannya durhaka dan kemudian semesta
mendengar perkataan sang bapak dan akhirnya meng-amin-kan perkataannya.
Tak
terbayang juga, saat dewasa sang anak yang dikatai dengan sebutan ‘binatang’ oleh sang bapak benar-benar
menjelma menjadi seorang binatang seperti apa yang sang bapak katakan karena
semesta juga mendengarkannya dan meng-amin-kannya. Memang bukan diri sang anak
yang tiba-tiba berubah menjadi seekor ayam misalnya, tapi berubah menjadi
seekor ayam dalam artian kiasan. Kelakuan sang anak, yang pada saat dewasanya
menjelma berkelakuan layaknya seekor binatang.
Tidak
aneh menurutku, jika sekarang ini banyak berita dimedia-media tentang seorang
bapak yang tega memperkosa anaknya atau orang yang suka merasa kalau dia adalah
penguasa karena perihal dia bisa berkokok paling nyaring dan kuat. Sebab dulu,
mungkin saat masih kecil dia sering disebut binatang oleh orang tuanya. Hingga
pada akhirnya ketika dia beranjak remaja dan dewasa tingkah lakunya meniru
tingkah laku seekor binatang.
Pernah
juga tak terpikirkan olehku dengan seorang yang beraninya bersumpah atau bahkan
menggunakan nama Tuhan sebagai tameng untuk menutupi kesalahannya.
Pernah
sekali dua aku mendengar seorang pejabat yang terlibat suatu kasus bersumpah
menyebut nama Tuhan dan berkata kalau dia tidak bersalah dan bahkan
mengharamkan dirinya jika dia melakukan hal yang dituduhkan kepadanya.
Kenapa
harus membawa nama Tuhan untuk masalah yang kita lakukan kepasa sesama manusia,
dan kenapa juga membawa nama Tuhan yang jelas-jelas ghaib untuk hal yang kita
lakukan didunia nyata ini. Kenapa pula harus mengharamkan diri untuk meyakinkan
kita tidak bersalah. Sebab jika kita bersalah atau tidak maka itu akan terbukti
juga meskipun ditutup-tutupi, tidak perlu bersumpah membawa nama Tuhan dan
mengharamkan diri.
Jika
kita memang tidak bersalah semua yang kita ucapkan itu tidak akan terbukti tapi
jika ternyata kita berkata seperti itu hanya untuk menutup-nutupi kesalahan
kita dan bersamaan itu semesta mendengarnya, apa lagi yang akan kita lakukan.
Kita benar-benar menjadi haram nanti, karena kekonyolan kita. Kenapa tidak kita
memilih diam saja dari pada berkomentar, bukankah diam itu emas.
Ucapan
lebih berbahaya dibandingkan senjata apapun disemesta ini, karena jika sudah
dikeluarkan tidak bisa dimasukkan kembali layaknya peluru yang dilontarkan dari
pelatuknya, tapi berbeda dengan peluru yang jika tepat akan membunuh seketika
tapi jika tidak tepat tidak akan membunuh ataupun melukai. Sedangkan lisan,
jika tepat memang tidak akan membunuh seketika, tapi membunuh perlahan baik itu
kita atau orang yang kita tuju dalam ucapan. Lisan bisa menciptakan perasaan
buruk lainnya seperti dendam dan benci. Dan juga jika tidak tepat memuat
beberapa orang yang akan terkena. Layaknya sebuah peluru nyasar.
Seperti
pernahkah kita menemukan kenyataan, kalau yang kita katakan adalah seseorang
yang didekat kita tapi yang terkena dan merasa dikatakan oleh kita adalah orang
yang jauh dari kita. Hal itu sering kali terjadi, dan hal itu pula yang mengerikan
dari lisan.
Tapi
diluar itu yang jelas aku percaya kalau semesta itu hidup, bisa mendengar dan
juga bisa melihat. Sehingga dia bisa saja mengutuk apa yang dia lihat atau
mengaminkan yang dia dengar tanpa harus berkata lebih dahulu kepada kita.
Memang
tidak ada penjelasan ilmiah yang masuk kedalam logika untuk ini, tapi apa
salahnya jika kita mencoba untuk mempercayainya tentang semesta yang bisa
mendengar dan meng-amin-kan ini. Karena aku pikir untuk kita yang masih percaya
kalau ‘hantu’ itu ada dan ada tempat
yang angker, mencoba percaya kalau semesta bisa mendengar dan meng-amin-kan
bisa kita coba. Sebab semesta lebih masuk akal dibandingkan dengan cerita
mistis atau tempat angker menurutku.
Sebab
itu, yang kutakutkan dari dunia ini adalah ketika aku sedang berkata buruk
tentang sesuatu dan saat itu pulalah semesta mendengar dan meng-amin-kan perkataanku.

0 komentar:
Posting Komentar