Adakalanya kita bosan
dan penat dengan kehidupan yang kita jalani, dengan dunia ini, dan dengan
segala hiruk-pikuk didalamnya, sampai terasa ingin hati ini sejenak pergi
kedimensi lain yang lebih tenang dan bisa menenangkan diri ini.
Terkadang kita mencoba
untuk mencari tempat lain yang baru agar rasa bosan itu hilang.
Meskipun dunia ini
luas, dan semesta ini tak terhingga sampai kemana ujungnya, tapi kita tak
secepat itu menemukan tempat yang menurut hati kita cocok untuk melepas kepenatan
yang ada padanya dan pikiran kita. Karena terkadang selalu ada saja hal yang
terasa kurang didalam hati.
Ini bukan masalah
tempat, ini bukan tentang pantai, gunung, hutan, perkebunan hijau, atau padang
rumput yang hijau nan indah, dan bukan pula masalah taman bunga yang penuh
dengan warna-warni menggoda hati. Tapi ini tentang rasa dan selera.
Terkadang pula kita
telah mencoba untuk mencari tempat untuk berbagi keresahan hati agar bisa lepas
semua beban yang ada dipikiran dan perasaan ini dan hilang dengan serta merta.
Tapi tetap saja kita selalu merasa ada yang kurang pada tempat itu.
Meskipun manusia
didunia ini banyak, ribuan, jutaan, milyaran, atau mungkin bahkan triliunan
jumlahnya. Tapi untuk menemukan orang yang cocok agar semua rasa resah ini hilang
sangatlah tidak mudah. Sebab kita berhadapan dengan manusia yang sama seperti
kita, kepala saja yang sama-sama ditumbuhi oleh rambut tapi isi didalamnya
siapa yang tahu apa yang sedang terpikirkan olehnya.
Mencari orang untuk
mendengarkan keresahan kita itu mudah, sebab pada dasarnya hampir semua orang
ingin mendengar keluhan kita. Bukan karena mereka peduli dan bersedia untuk
mendengar, tapi lebih karena dia ingin tahu rahasia kita, ingin tahu perasaan
kita yang orang lain bagi mereka. Bukankah, kebanyakan orang lebih menyukai hal
yang belum diketahui olehnya dan orang lain.
Begitu dia sudah tahu
akan hal yang membuat dia tertarik perhatiannya, maka setelah itu dia akan
meninggalkan kita dan tidak mempedulikan apa yang sudah kita kabarkan kepadanya
tentang keluhan kita. Dia pergi tanpa memberikan solusi, sedangkan kita sudah
memberi semua rahasia kita kepadanya. Tidakkah ini curang.
Setidaknya begitulah
sebagian besar tabiat orang.
Mereka peduli bukan
karena mereka peduli, tapi mereka peduli hanya untuk menertawakan. Hanya
sedikit orang-orang yang benar-benar peduli, mungkin setelah kau menemukan
sepuluh orang yang tidak peduli kepadamu barulah kamu menemukan orang yang
benar-benar peduli itu.
Aku bukanlah orang yang
suka berbagi rahasia kepada orang lain,walaupun itu ayah dan ibuku. Sebab
rahasiaku adalah harga diriku menurutku, jika semua orang tahu rahasiaku maka
akan semakin kecil harga diri yang aku punya.
Lagipula, aku merasa
orang-orang disekitarku hanya ingin tahu rahasiaku saja, hanya ingin masalahku
dan setelah itu, setelah dia tahu semua rahasiaku maka dia akan pergi
meninggalkanku sebab aku tidak ada lagi cerita yang bisa kubagi bersama mereka,
tidak ada lagi rahasia yang bisa kuberitahukan lagi kepada mereka.
Mereka pergi, tanpa
meninggalkan pesan atau solusi untuk masalah yang kuceritakan kepada mereka.
Bahkan terkadang untuk
mereka yang kejam, mereka tega untuk membagikan ceritaku yang kuceritakan
kepada mereka tanpa meminta izin kepadaku lebih dahulu. Tanpa bertanya apakah
aku memperbolehkan mereka untuk menceritakannya lagi cerita itu kepada orang
lain. Dengan ditambah bumbu-bumbu sedikit yang bahkan kenyaaannya berbeda
sekali dengan yang kuceritakan kepada mereka, mereka menceritakannya kepada
orang lain.
Agar terlihat seperti
drama, mungkin itu maksud mereka. Atau mungkin karena tujuan-tujuan lainnya
yang tidak pernah terpikirkan olehku ingin seperti yang dia ceritakan itu.
Maka dari itu aku lebih
memilih diam daripada kehilangan teman.
Ya, meski jika aku
bercerita kepada mereka dan skenario itu terjadi dia tetaplah temanku. Tapi
jika itu terjadi, teman yang selama ini berasa dekat akan terasa menjauh karena
problema demikian.
Sebab aku tidak minta
didukung ataupun dihujat karena ceritaku, tapi aku hanya ingin didengar dan
jika tidak bisa memberi solusi maka jangan dibagikan dengan tambahan berita
yang tidak pada kenyataannya.
Sebab kau temanku,
bukan musuhku.
****
‘Drossen......’
Hanya pada buku
bersampul hitam ini aku percayakan semua keluhanku, keresahanku, dan
kebosananku. Keluhan, keresahan, dan kebosananku pada semesta, dunia,
orang-orang didalamnya, dan juga pada dia yang telah berulang kali membuatku
jatuh dan cinta lagi.
Drossen...
Tak sekalipun dia
mengeluh karena mendengar keluhanku, tak sekalipun dia bosan mendengar
kebosananku, dan tak sekalipun dia membantah ketika aku ingin menceritakan
keresahan hatiku. Dia selalu setia mendengarkan apa yang aku keluhkan, apa yang
aku resahkan, dan apa yang menyebabkan aku bosan pada hari ini. Dia diam tanpa
membantah, menyela, ataupun balik mengeluh kepadaku. Dia tetap setia
mendengarku, kapanpun aku mau, meski terkadang aku lupa waktu. Sebab keluhan,
keresahan, dan kebosanan yang aku rasakan datang setiap waktu tanpa mengenal
jadwal. Meskipun tengah malam aku ingin mengeluh, dia tetap menemani aku. Meski
tengah malam aku resah, dia masih terbangun untukku. Meski tengah malam bosan
datang menemuiku, dia bersedia mendengar ceritaku.
Dia sahabat terbaikku,
ketika para orang-orang yang kuanggap sahabat pada masa sebelumnya tidak
menunjukkan lagi kalau mereka ingin menjadi sahabatku.
Entah karena aku yang
telah berubah, atau karena mereka yang kurasa telah perlahan berubah. Aku tidak
tahu, dan aku tidak mau tahu. Karena aku tidak ingin mempermasalahkannya,
karena aku tidak ingin menghakimi mereka dengan pemikiran dan sudut pandang
yang salah. Sebab terkadang sudut pandang itu menyudutkan.
Drossen..
Tak sekalipun dia
menyela ceritaku, dan menghakimiku walaupun terkadang aku memang bersalah. Dia
memilih dia dan memahami dan itu sudah cukup menurutku. Karena memahami
seseorang tidak perlulah dengan kita dengan memperlihatkan bahwa kita
seolah-olah peduli kepada mereka dan kepada masalah mereka, jika itu hanya
pura-pura saja dan hanya untuk menyenangkan hatinya.
Sebab diam juga bisa
berarti kita memahami keadaan yang terjadi. Sebab diam itu emas.
Ya, walaupun terkadang
banyak yang beranggapan kalau jika ‘diam itu emas, tapi jika lebih baik berbicara maka beribicaralah karena
berbicara itu berlian’.
Aku merasa, tidak
se-spontan itu kita bisa memberikan berlian dalam setiap pembicaraan kita. Apa
lagi untuk sebuah masalah yang baru kita dengar. Sebab dari yang banyak
kulihat, kebanyakan mereka berbicara hanya untuk menunjukkan kalau mereka
seolah-olah peduli dan ingin membantu.
Jika ingin membantu,
kenapa harus dengan pura-pura ??
Tidak ada yang bisaa
diselesaikan dengan pura-pura, sebab sebuah kepura-puraan hanya akan bertahan
sejenak dan suatu hari nanti akan menimbulkan masalah yang merupakan rentetan
dari kepura-puraan kita.
Drossen..
Dia tidak pernah
berpura-pura, oleh karena itu dia hanya setia dalam diamnya untuk mendengarkan
apa yang aku keluhkan, apa yang aku rasakan, dan apa yang menjadi pusat
kebosananku.
Sebab itulah yang aku
cari.
Aku bercerita tidak
untuk ditanggapi ceritaku, dan tidak pula untuk dibagikan kepada orang-orang
yang tidak tahu siapa aku yang merupakan sumber dari cerita itu. Sebab aku ini
bukanlah seorang pekerja marketing yang butuh pemasaran yang luas agar apa yang
kuceritakan diketahui oleh banyak orang, dan aku bercerita tidak pula untuk
dibalas. Aku hanya sekedar untuk menumpahkan rasa sesak yang membuat sempit
hulu hati ku ini dan seakan menutup paru-paru didada ini.
Aku merasa jika aku
menceritakan ini kapada yang lain maka akan tumpahlah semua rasa itu,
seakan-akan seperti orang yang selama ini dibekap dan baru menghirup gas
oksigen yang melayang tersebar diudara sekitarnya. Tapi aku bukan karena aku
telah bercerita maka kau sekendak hati menceritakan ulang cerita ini kepada
orang lain dengan seenak hati, dan aku juga tidak ingin kau tertarik pada
keresahanku hanya karena kau ingin tahu rahasiaku.
Aku ingin kau
mendengarkanku saja tanpa ada tujuan apapun. Sebab yang punya tujuan untuk
bercerita itu adalah aku, dan kuharap kau mendengarkannya saja.
Kukira akan susah untuk
menemukan mereka yang seperti itu, yang ingin mendengarkan keluhan ini, yang
ingin mendengarkan keresahan ini, dan yang mengerti kemudian mendengar
kebosananku ini, tanpa harus takut kalau akan didengar orang lain yang tak
ingin aku mereka dengar, tanpa harus takut dan berpikiran jelek kalau mereka
hanya ingin tahu rahasiaku saja.
Drossen..
Dialah yang kuharapkan
selama ini.
Dialah yang aku cari
selama ini, kala aku merasa resah, dan bosan. Dialah tempat aku membagi
semuanya. Dia adalah sahabat bisuku yang setia.
Dia datang kalau aku
merasa kebingungan sementara resah dan bosan sesak memenuhi hati dan pikiran
ini. Dia jalan keluar dari masalahku ini.
Dia sangat kupercaya,
sebab hanya kepada dialah aku menyerahkan semua daftar rahasia dalam diriku.
Mulai dari yang paling absurd sampai keapada hal yang sangat serius. Dia saksi
bisu tentang bagaiamana perasaan hati ini yang berung kali jatuh dan kemudian
cinta pada wanita yang sama berkali-kali, dan dia jugalah saksi bisu bagaimana
perasaan hati ini ketika mendapati bahwa diri ini berpisah pada orang itu.
Drossen..
Dialah saksi bisu,
bagaimana perasaan hati ini dihari-hari yang dirasa hati ini terasa bahagia.
Sebab aku tidak ingin
membagikan hal yang buruk saja kepadanya, sebab aku tidak ingin membagikan
keresahanku saja kepadanya, sebab aku tidak ingin datang mengeluh saja
kepadanya, dan sebab aku juga tidak ingin datang kepadanya hanya ketika aku
bosan kepada dunia saja. Dan ketika aku bahagia, ketika aku tidak sedang resah,
ketika aku tidak ingin mengeluh, dan ketika aku tidak merasakan bosan kepada
dunia, aku melupakannya. Meninggalkannya didalam laci meja belajarku.
Aku tidak seperti itu.
Aku tidak sejahat itu
kepada dia yang sudah kuanggap sebagai sahabat terbaikku.
Dia adalah tempat semua
rahasia dan perasaanku, aku ungkapkan. Bahkan dalam keadaan aku berbahagiapun
aku selalu membagikan dengannya, aku tidak akan melupakannya, semua kubagikan
padanya. Aku tidak akan menjauhinya hanya karena kebahagiaan yang kudapat pada
hari ini, seperti orang-orang yang ketika sedang kesusahan dalam dirinya
memanggil teman tapi begitu sudah merasa tidak membutuhkan bantuan lagi dia
melupakan teman.
Aku ingin menjadi
seorang seperti itu.
Sebab aku tahu benar
bagaimana rasanya diperlakukan seperti itu.
Dear drossen.
Hari ini aku tidak
ingin bercerita apapun kepadamu, baik itu tentang keresahan, kebosanan, ataupun
kebahagiaan yang kudapat hari ini. Aku hanya ingin bercengkrama denganmu saja,
agar kau tahu bagaimana perasaanku terhadapmu, bagaimana aku telah
mempercayaimu dan menganggapmu melebihi mereka yang kuanggap teman diluar sana.
Dan terakhir kataku
padamu.
Jangan pernah bosan
untuk mendengar ceritaku, meski kau telah letih dengan itu.
Disudahinyalah
tulisannya malam itu dibeberapa lembar buku catatan bersampul hitam miliknya,
sepenggal kalimat terakhir yang menjadi kalimat penutup itupun mengakhiri
ceritanya kepada sang ‘Drossen’, tempat dia selama ini melarikan diri dari apa
yang sedang dia rasakan disetiap waktu diakhir hari dalam perenungannya.
Ini
adalah ‘Drossen’, tempat pelarian dirinya dari semua kepenatan dan apa yang
sedang dia rasakan. Dia merasa seakan-akan menemukan kebebasan untuk bernafas
dan berbicara tentang apa yang sedang dia rasakan tanpa harus takut akan
hujatan, cemo’ohan, kemarahan orang, ataupun hal-hal lain yang kiranya akan
membuat dirinya berkonflik pada diri orang lain.
Disini
dia merasa menjadi diri sendiri, tanpa perlu berpura-pura menjadi orang lain
dan tanpa perlu pula takut ada yang mengganggunya.
Ini
adalah dunianya, setidaknya seperti itulah yang ada dalam pikirannya dan
setidaknya seperti itulah dia merasa. Semua yang dia rasakan dia keluarkan
disana, dia teriak, dia marah, dia mencaci, bahkan dia menangis, dan tertawa
bahagiapun dia lakukan disana.
Ini
adalah fantasinya, sebuah alam fatamorgana yang dia ciptakan dari sebuah buku
bersampul hitam yang dia dapatkan ketika ulang tahunnya beberapa tahun yang
lalu. Sampul kelam yang gelap, cocok untuk sebuah tempat bagi orang yang ingi
melarikan diri dari hal yang mengejarnya.
Layaknya
tempat yang gelap, seperti kegelapan kota Paris dimana para pelarian menemukan
kenyamanan dan keamanan dari yang mengejar mereka disana. Walaupun tak banyak
dari para pelarian itu yang merindukan rumah mereka sendiri dan dunia mereka
sebelumnya.
Drossen,
keindahan yang menyelubungi kegelapan. Atau lebih tepatnya kabut hitam yang
dilingkupi dan dilapisi dengan keindahan. Menggambarkan dua sisi kepribadian
sang pemiliknya. Yang tertawa keras layaknya komedian didepan layar tapi
menangis sendu sedih ketika layar perlahan diturunkan dan penonton tak lagi
bisa melihat wajahnya.
Sebuah
hal yang ironis jika kita bisa membacanya.
Layaknya
kita sedang dihadapkan pada sang Dokter Hidden Jeckyll, yang suatu saat menjadi
orang yang bersahaja dan baik hati, tapi dilain waktu menjadi orang yang liar
dan seakan didunia ini tidak ada yang bisa membendungnya, tak ada yang bisa
memagari dirinya.
Potret
dari kenyataan bahwa dunia ini tidak seperti apa yang kita lihat, bahwa dunia
ini tidak bisa dinilai dengan satu sudut pandang saja. Perlu banyak sudut pandang
untuk menilai dunia, atau mungkin jika ingin menilai dunia kita tidak bisa
memakai sudut pandang. Sebab dunia ini bulat tak bersudut, maka dari itu sudut
pandang tak bekerja untuk menilai dunia. Layaknya semesta yang tak berujung,
yang tidak bisa terka apa yang ada ada didalamnya.
Seperti
itulah ketika menilai seseorang.
Tidak
hanya sekedar butuh referensi untuk menilai seseorang, bahkan apalagi referensi
dengan menggunakan sumbar dari ‘kata orang’. Sebab jika kita sudah berani
menilai seseorang, maka itu artinya kita sudah berani berkomentar pada sang
penciptanya dan sudah berani berhadapan dengan apa yang akan kita terima dari
sang penciptanya.
Seperti
layaknya kita menilai dengan sesuka hati tanpa pertimbangan yang jelas dan
masuk diakal sebuah karya seni seseorang didepan sang penciptanya. Mungkin apa
yang kita nilai itu akan diterima oleh sang pencitptanya jika itu bersifat
membangun, tapi jika hujatan yang kita sampaikan ?? Apakah kita sudah siap
dengan reaksi dari sang pencipta mahakarya itu.
Disisipkannya
kalam alat penulis tadi pada sebuah kaitan kecil disampul ‘Drossen’, dan
setelah itu ditutupnya ‘Drossen’.
Hari
sudah malam, dia sudah lelah. Apa yang dia rasakan sudah dia ceritakan pada
‘Drossen’, tidak ada hal lain lagi yang dia ingin lakukan pada malam itu. Sudah
saatnya bagi dia untuk memejamkan mata dan sejenak mengistirahatkan diri yang
sejak dari pagi tadi sudah setia membawanya berjalan, berkelana, melanglang
buana menembus hiruknya kehidupan dunia.
Dunia
mimpi sudah menunggunya untuk tidak sabar memintanya untuk dijelajahi.

0 komentar:
Posting Komentar