Kamis, 04 Agustus 2016

Drossen


Adakalanya kita bosan dan penat dengan kehidupan yang kita jalani, dengan dunia ini, dan dengan segala hiruk-pikuk didalamnya, sampai terasa ingin hati ini sejenak pergi kedimensi lain yang lebih tenang dan bisa menenangkan diri ini.
Terkadang kita mencoba untuk mencari tempat lain yang baru agar rasa bosan itu hilang.
Meskipun dunia ini luas, dan semesta ini tak terhingga sampai kemana ujungnya, tapi kita tak secepat itu menemukan tempat yang menurut hati kita cocok untuk melepas kepenatan yang ada padanya dan pikiran kita. Karena terkadang selalu ada saja hal yang terasa kurang didalam hati.
Ini bukan masalah tempat, ini bukan tentang pantai, gunung, hutan, perkebunan hijau, atau padang rumput yang hijau nan indah, dan bukan pula masalah taman bunga yang penuh dengan warna-warni menggoda hati. Tapi ini tentang rasa dan selera.
Terkadang pula kita telah mencoba untuk mencari tempat untuk berbagi keresahan hati agar bisa lepas semua beban yang ada dipikiran dan perasaan ini dan hilang dengan serta merta. Tapi tetap saja kita selalu merasa ada yang kurang pada tempat itu.
Meskipun manusia didunia ini banyak, ribuan, jutaan, milyaran, atau mungkin bahkan triliunan jumlahnya. Tapi untuk menemukan orang yang cocok agar semua rasa resah ini hilang sangatlah tidak mudah. Sebab kita berhadapan dengan manusia yang sama seperti kita, kepala saja yang sama-sama ditumbuhi oleh rambut tapi isi didalamnya siapa yang tahu apa yang sedang terpikirkan olehnya.
Mencari orang untuk mendengarkan keresahan kita itu mudah, sebab pada dasarnya hampir semua orang ingin mendengar keluhan kita. Bukan karena mereka peduli dan bersedia untuk mendengar, tapi lebih karena dia ingin tahu rahasia kita, ingin tahu perasaan kita yang orang lain bagi mereka. Bukankah, kebanyakan orang lebih menyukai hal yang belum diketahui olehnya dan orang lain.
Begitu dia sudah tahu akan hal yang membuat dia tertarik perhatiannya, maka setelah itu dia akan meninggalkan kita dan tidak mempedulikan apa yang sudah kita kabarkan kepadanya tentang keluhan kita. Dia pergi tanpa memberikan solusi, sedangkan kita sudah memberi semua rahasia kita kepadanya. Tidakkah ini curang.
Setidaknya begitulah sebagian besar tabiat orang.
Mereka peduli bukan karena mereka peduli, tapi mereka peduli hanya untuk menertawakan. Hanya sedikit orang-orang yang benar-benar peduli, mungkin setelah kau menemukan sepuluh orang yang tidak peduli kepadamu barulah kamu menemukan orang yang benar-benar peduli itu.
Aku bukanlah orang yang suka berbagi rahasia kepada orang lain,walaupun itu ayah dan ibuku. Sebab rahasiaku adalah harga diriku menurutku, jika semua orang tahu rahasiaku maka akan semakin kecil harga diri yang aku punya.
Lagipula, aku merasa orang-orang disekitarku hanya ingin tahu rahasiaku saja, hanya ingin masalahku dan setelah itu, setelah dia tahu semua rahasiaku maka dia akan pergi meninggalkanku sebab aku tidak ada lagi cerita yang bisa kubagi bersama mereka, tidak ada lagi rahasia yang bisa kuberitahukan lagi kepada mereka.
Mereka pergi, tanpa meninggalkan pesan atau solusi untuk masalah yang kuceritakan kepada mereka.
Bahkan terkadang untuk mereka yang kejam, mereka tega untuk membagikan ceritaku yang kuceritakan kepada mereka tanpa meminta izin kepadaku lebih dahulu. Tanpa bertanya apakah aku memperbolehkan mereka untuk menceritakannya lagi cerita itu kepada orang lain. Dengan ditambah bumbu-bumbu sedikit yang bahkan kenyaaannya berbeda sekali dengan yang kuceritakan kepada mereka, mereka menceritakannya kepada orang lain.
Agar terlihat seperti drama, mungkin itu maksud mereka. Atau mungkin karena tujuan-tujuan lainnya yang tidak pernah terpikirkan olehku ingin seperti yang dia ceritakan itu.
Maka dari itu aku lebih memilih diam daripada kehilangan teman.
Ya, meski jika aku bercerita kepada mereka dan skenario itu terjadi dia tetaplah temanku. Tapi jika itu terjadi, teman yang selama ini berasa dekat akan terasa menjauh karena problema demikian.
Sebab aku tidak minta didukung ataupun dihujat karena ceritaku, tapi aku hanya ingin didengar dan jika tidak bisa memberi solusi maka jangan dibagikan dengan tambahan berita yang tidak pada kenyataannya.
Sebab kau temanku, bukan musuhku.
****
‘Drossen......’
Hanya pada buku bersampul hitam ini aku percayakan semua keluhanku, keresahanku, dan kebosananku. Keluhan, keresahan, dan kebosananku pada semesta, dunia, orang-orang didalamnya, dan juga pada dia yang telah berulang kali membuatku jatuh dan cinta lagi.
Drossen...
Tak sekalipun dia mengeluh karena mendengar keluhanku, tak sekalipun dia bosan mendengar kebosananku, dan tak sekalipun dia membantah ketika aku ingin menceritakan keresahan hatiku. Dia selalu setia mendengarkan apa yang aku keluhkan, apa yang aku resahkan, dan apa yang menyebabkan aku bosan pada hari ini. Dia diam tanpa membantah, menyela, ataupun balik mengeluh kepadaku. Dia tetap setia mendengarku, kapanpun aku mau, meski terkadang aku lupa waktu. Sebab keluhan, keresahan, dan kebosanan yang aku rasakan datang setiap waktu tanpa mengenal jadwal. Meskipun tengah malam aku ingin mengeluh, dia tetap menemani aku. Meski tengah malam aku resah, dia masih terbangun untukku. Meski tengah malam bosan datang menemuiku, dia bersedia mendengar ceritaku.
Dia sahabat terbaikku, ketika para orang-orang yang kuanggap sahabat pada masa sebelumnya tidak menunjukkan lagi kalau mereka ingin menjadi sahabatku.
Entah karena aku yang telah berubah, atau karena mereka yang kurasa telah perlahan berubah. Aku tidak tahu, dan aku tidak mau tahu. Karena aku tidak ingin mempermasalahkannya, karena aku tidak ingin menghakimi mereka dengan pemikiran dan sudut pandang yang salah. Sebab terkadang sudut pandang itu menyudutkan.
Drossen..
Tak sekalipun dia menyela ceritaku, dan menghakimiku walaupun terkadang aku memang bersalah. Dia memilih dia dan memahami dan itu sudah cukup menurutku. Karena memahami seseorang tidak perlulah dengan kita dengan memperlihatkan bahwa kita seolah-olah peduli kepada mereka dan kepada masalah mereka, jika itu hanya pura-pura saja dan hanya untuk menyenangkan hatinya.
Sebab diam juga bisa berarti kita memahami keadaan yang terjadi. Sebab diam itu emas.
Ya, walaupun terkadang banyak yang beranggapan kalau jika diam itu emas, tapi jika lebih baik berbicara maka beribicaralah karena berbicara itu berlian’.
Aku merasa, tidak se-spontan itu kita bisa memberikan berlian dalam setiap pembicaraan kita. Apa lagi untuk sebuah masalah yang baru kita dengar. Sebab dari yang banyak kulihat, kebanyakan mereka berbicara hanya untuk menunjukkan kalau mereka seolah-olah peduli dan ingin membantu.
Jika ingin membantu, kenapa harus dengan pura-pura ??
Tidak ada yang bisaa diselesaikan dengan pura-pura, sebab sebuah kepura-puraan hanya akan bertahan sejenak dan suatu hari nanti akan menimbulkan masalah yang merupakan rentetan dari kepura-puraan kita.
Drossen..
Dia tidak pernah berpura-pura, oleh karena itu dia hanya setia dalam diamnya untuk mendengarkan apa yang aku keluhkan, apa yang aku rasakan, dan apa yang menjadi pusat kebosananku.
Sebab itulah yang aku cari.
Aku bercerita tidak untuk ditanggapi ceritaku, dan tidak pula untuk dibagikan kepada orang-orang yang tidak tahu siapa aku yang merupakan sumber dari cerita itu. Sebab aku ini bukanlah seorang pekerja marketing yang butuh pemasaran yang luas agar apa yang kuceritakan diketahui oleh banyak orang, dan aku bercerita tidak pula untuk dibalas. Aku hanya sekedar untuk menumpahkan rasa sesak yang membuat sempit hulu hati ku ini dan seakan menutup paru-paru didada ini.
Aku merasa jika aku menceritakan ini kapada yang lain maka akan tumpahlah semua rasa itu, seakan-akan seperti orang yang selama ini dibekap dan baru menghirup gas oksigen yang melayang tersebar diudara sekitarnya. Tapi aku bukan karena aku telah bercerita maka kau sekendak hati menceritakan ulang cerita ini kepada orang lain dengan seenak hati, dan aku juga tidak ingin kau tertarik pada keresahanku hanya karena kau ingin tahu rahasiaku.
Aku ingin kau mendengarkanku saja tanpa ada tujuan apapun. Sebab yang punya tujuan untuk bercerita itu adalah aku, dan kuharap kau mendengarkannya saja.
Kukira akan susah untuk menemukan mereka yang seperti itu, yang ingin mendengarkan keluhan ini, yang ingin mendengarkan keresahan ini, dan yang mengerti kemudian mendengar kebosananku ini, tanpa harus takut kalau akan didengar orang lain yang tak ingin aku mereka dengar, tanpa harus takut dan berpikiran jelek kalau mereka hanya ingin tahu rahasiaku saja.
Drossen..
Dialah yang kuharapkan selama ini.
Dialah yang aku cari selama ini, kala aku merasa resah, dan bosan. Dialah tempat aku membagi semuanya. Dia adalah sahabat bisuku yang setia.
Dia datang kalau aku merasa kebingungan sementara resah dan bosan sesak memenuhi hati dan pikiran ini. Dia jalan keluar dari masalahku ini.
Dia sangat kupercaya, sebab hanya kepada dialah aku menyerahkan semua daftar rahasia dalam diriku. Mulai dari yang paling absurd sampai keapada hal yang sangat serius. Dia saksi bisu tentang bagaiamana perasaan hati ini yang berung kali jatuh dan kemudian cinta pada wanita yang sama berkali-kali, dan dia jugalah saksi bisu bagaimana perasaan hati ini ketika mendapati bahwa diri ini berpisah pada orang itu.
Drossen..
Dialah saksi bisu, bagaimana perasaan hati ini dihari-hari yang dirasa hati ini terasa bahagia.
Sebab aku tidak ingin membagikan hal yang buruk saja kepadanya, sebab aku tidak ingin membagikan keresahanku saja kepadanya, sebab aku tidak ingin datang mengeluh saja kepadanya, dan sebab aku juga tidak ingin datang kepadanya hanya ketika aku bosan kepada dunia saja. Dan ketika aku bahagia, ketika aku tidak sedang resah, ketika aku tidak ingin mengeluh, dan ketika aku tidak merasakan bosan kepada dunia, aku melupakannya. Meninggalkannya didalam laci meja belajarku.
Aku tidak seperti itu.
Aku tidak sejahat itu kepada dia yang sudah kuanggap sebagai sahabat terbaikku.
Dia adalah tempat semua rahasia dan perasaanku, aku ungkapkan. Bahkan dalam keadaan aku berbahagiapun aku selalu membagikan dengannya, aku tidak akan melupakannya, semua kubagikan padanya. Aku tidak akan menjauhinya hanya karena kebahagiaan yang kudapat pada hari ini, seperti orang-orang yang ketika sedang kesusahan dalam dirinya memanggil teman tapi begitu sudah merasa tidak membutuhkan bantuan lagi dia melupakan teman.
Aku ingin menjadi seorang seperti itu.
Sebab aku tahu benar bagaimana rasanya diperlakukan seperti itu.
Dear drossen.
Hari ini aku tidak ingin bercerita apapun kepadamu, baik itu tentang keresahan, kebosanan, ataupun kebahagiaan yang kudapat hari ini. Aku hanya ingin bercengkrama denganmu saja, agar kau tahu bagaimana perasaanku terhadapmu, bagaimana aku telah mempercayaimu dan menganggapmu melebihi mereka yang kuanggap teman diluar sana.
Dan terakhir kataku padamu.
Jangan pernah bosan untuk mendengar ceritaku, meski kau telah letih dengan itu.
Disudahinyalah tulisannya malam itu dibeberapa lembar buku catatan bersampul hitam miliknya, sepenggal kalimat terakhir yang menjadi kalimat penutup itupun mengakhiri ceritanya kepada sang ‘Drossen’, tempat dia selama ini melarikan diri dari apa yang sedang dia rasakan disetiap waktu diakhir hari dalam perenungannya.
Ini adalah ‘Drossen’, tempat pelarian dirinya dari semua kepenatan dan apa yang sedang dia rasakan. Dia merasa seakan-akan menemukan kebebasan untuk bernafas dan berbicara tentang apa yang sedang dia rasakan tanpa harus takut akan hujatan, cemo’ohan, kemarahan orang, ataupun hal-hal lain yang kiranya akan membuat dirinya berkonflik pada diri orang lain.
Disini dia merasa menjadi diri sendiri, tanpa perlu berpura-pura menjadi orang lain dan tanpa perlu pula takut ada yang mengganggunya.
Ini adalah dunianya, setidaknya seperti itulah yang ada dalam pikirannya dan setidaknya seperti itulah dia merasa. Semua yang dia rasakan dia keluarkan disana, dia teriak, dia marah, dia mencaci, bahkan dia menangis, dan tertawa bahagiapun dia lakukan disana.
Ini adalah fantasinya, sebuah alam fatamorgana yang dia ciptakan dari sebuah buku bersampul hitam yang dia dapatkan ketika ulang tahunnya beberapa tahun yang lalu. Sampul kelam yang gelap, cocok untuk sebuah tempat bagi orang yang ingi melarikan diri dari hal yang mengejarnya.
Layaknya tempat yang gelap, seperti kegelapan kota Paris dimana para pelarian menemukan kenyamanan dan keamanan dari yang mengejar mereka disana. Walaupun tak banyak dari para pelarian itu yang merindukan rumah mereka sendiri dan dunia mereka sebelumnya.
Drossen, keindahan yang menyelubungi kegelapan. Atau lebih tepatnya kabut hitam yang dilingkupi dan dilapisi dengan keindahan. Menggambarkan dua sisi kepribadian sang pemiliknya. Yang tertawa keras layaknya komedian didepan layar tapi menangis sendu sedih ketika layar perlahan diturunkan dan penonton tak lagi bisa melihat wajahnya.
Sebuah hal yang ironis jika kita bisa membacanya.
Layaknya kita sedang dihadapkan pada sang Dokter Hidden Jeckyll, yang suatu saat menjadi orang yang bersahaja dan baik hati, tapi dilain waktu menjadi orang yang liar dan seakan didunia ini tidak ada yang bisa membendungnya, tak ada yang bisa memagari dirinya.
Potret dari kenyataan bahwa dunia ini tidak seperti apa yang kita lihat, bahwa dunia ini tidak bisa dinilai dengan satu sudut pandang saja. Perlu banyak sudut pandang untuk menilai dunia, atau mungkin jika ingin menilai dunia kita tidak bisa memakai sudut pandang. Sebab dunia ini bulat tak bersudut, maka dari itu sudut pandang tak bekerja untuk menilai dunia. Layaknya semesta yang tak berujung, yang tidak bisa terka apa yang ada ada didalamnya.
Seperti itulah ketika menilai seseorang.
Tidak hanya sekedar butuh referensi untuk menilai seseorang, bahkan apalagi referensi dengan menggunakan sumbar dari ‘kata orang’. Sebab jika kita sudah berani menilai seseorang, maka itu artinya kita sudah berani berkomentar pada sang penciptanya dan sudah berani berhadapan dengan apa yang akan kita terima dari sang penciptanya.
Seperti layaknya kita menilai dengan sesuka hati tanpa pertimbangan yang jelas dan masuk diakal sebuah karya seni seseorang didepan sang penciptanya. Mungkin apa yang kita nilai itu akan diterima oleh sang pencitptanya jika itu bersifat membangun, tapi jika hujatan yang kita sampaikan ?? Apakah kita sudah siap dengan reaksi dari sang pencipta mahakarya itu.
Disisipkannya kalam alat penulis tadi pada sebuah kaitan kecil disampul ‘Drossen’, dan setelah itu ditutupnya ‘Drossen’.
Hari sudah malam, dia sudah lelah. Apa yang dia rasakan sudah dia ceritakan pada ‘Drossen’, tidak ada hal lain lagi yang dia ingin lakukan pada malam itu. Sudah saatnya bagi dia untuk memejamkan mata dan sejenak mengistirahatkan diri yang sejak dari pagi tadi sudah setia membawanya berjalan, berkelana, melanglang buana menembus hiruknya kehidupan dunia.

Dunia mimpi sudah menunggunya untuk tidak sabar memintanya untuk dijelajahi.

0 komentar:

Posting Komentar