Senin, 01 Agustus 2016

Aku Adalah Orang Yang Tak Mereka Harapkan


Kau dendam kepadanya ??
Tanya dia kepada seorang teman baiknya.
Teman terbaik yang pernah dia punya sepanjang hidupnya, meskipun terkadang setiap hari, hari-hari mereka diwarnai oleh pertengkaran hebat. Entah itu diakibatkan oleh hal kecil seperti perbedaan pendapat, ataupun hal besar seperti sering melakukan kesalahan fatal yang menimbulkan perselisihan.
Tapi meskipun begitu mereka terlihat begitu serasi saat sedang dalam keadaan tenang. Layaknya pasangan Sherlock Holmes dan Watson.
Tidak, aku tidak dendam pada mereka. Aku diajarkan oleh kakekku untuk tidak boleh membenci atau mendendam pada seseorang.
Begitulah jawab sang sahabat.
Tapi kenapa kau enggan membantu mereka ??
Tanya dia lagi, seakan-akan itulah pertanyaan yang sebenar-benarnya ingin dia tanyakan kepada sang sahabatnya itu, seakan-akan pertanyaannya diawalnya tadi hanyalah sekedar pertanyaan jebakan saja atau mungkin hanya pertanyaan pembuka.
Aku hanya belum lupa terhadap apa yang mereka lakukan kepadaku.
Jawab sang sahabat santai mengatakan sebab sebenarnya dari yang dia alami sekarang.
Kalau begitu apa bedanya dengan kau dendam kepadanya ??
Dia bertanya heran kepada sang sahabat perihal dari apa yang dia dengar tentang jawaban yang dilontarkan oleh sang sahabatnya itu.
Oh, tentu saja itu sangat berbeda sahabatku. Kalau aku dendam, didalam hatiku sudah terpatri bahwa suatu saat nanti aku akan membalas perlakuannya kepadaku meski itu ada atau tanpa adanya kesempatan yang kumiliki. Kalau ada aku akan langsung membalaskan dendam tapi kalau tidak maka aku akan menciptakan kesempatan itu, itu jika aku merasa dendam. Tapi aku tidak dendam, aku hanya tidak bisa melupakan perlakuannya kepadaku. Dan aku merasa kalau lebih baik aku tidak berurusan dengannya mereka lagi dan menjauh, sebab itu mungkin yang mereka inginkan dulu dariku.
Terhenyak sejenak dadanya mendengar jawaban sang sahabat. Memang belum bahkan tidak ada dendam didalam hatinya, hanya sekedar amarah yang besar sekali yang terlihat. Tapi masih bisa dia kontrol sehingga api amarah itu tidak berubah menjadi bara dendam didalam hatinya.
Tapi dia butuh kau sekarang, bisakah kau melupakan sejenak perlakuan mereka dahulu dan mencoba untuk merendahkan hatimu untuk membantu mereka ??
Dia mencoba membujuk sang sahabat dan berusaha meredakan amarahnya.
Tidak, aku sudah tidak mau lagi terlibat dengan mereka, dengan apapun perihal tentang mereka, mau itu hajat baik ataupun buruk aku tidak mau lagi terlibat. Jika mereka mempunyai hajat baik tidak perlulah mereka mengundangku, karena aku sudah tidak dianggap ada oleh mereka, pun begitu dengan hajat buruk aku tidak akan datang meskipun aku mendengarnya. Begitu juga aku, jika kupunya hajat baik, tak kuharapkan kehadiran mereka dan jika aku punya hajat buruk maka aku akan menyelesaikannya tanpa ada mereka bercampur tangan dalam urusanku.
Aku tak berharap mereka menghiba-hiba meminta dan datang padaku jika hajat buruk menimpa mereka dan akupun tidak akan pernah mengharapkan bantuan mereka. Aku bisa berdiri sendiri dengan kakiku, dengan tanganku, dan juga dengan tenagaku.
Kau tidak tahu bagaimana perasaanku dahulu sahabatku dan kurasa hanya Tuhanlah yang tahu itu, ketika aku meminta sedikit bantuan mereka saat aku ingin menikah dengan istriku. Mereka hilang bak ditelan bumi tidak ada yang datang, sampai-sampai saat itu istriku nyaris tidak percaya karena dikeluarga dia, dia tidak pernah menerima perlakuan yang aneh seperti itu.
Kau tidak tahu bagaimana perasaanku dahulu sahabatku dan kurasa hanya Tuhanlah yang tahu, ketika aku sudah bersusah payah mengarak mereka mendirikan rumah yang mereka tempati sekarang. Bagaimana istriku bangun begitu paginya hanya untuk mempersiapkan makan untuk mereka saat itu, apa yang tidak ada dirumahku dipaksakan ada oleh istriku hanya untuk menjamu mereka, hanya agar mereka merasa nyaman dirumah kami meskipun sampai saat itu istriku belum pernah merasakan segelas kopi yang dia hidangkan ketika aku dan istriku bertamu kerumahnya. Tapi apa yang kudapat setelah itu ?? Hanya sumpah serapah dan mengatakan kalau hidupku tak akan tenang jika aku mencuranginya, aku dituduhnya mencuranginya, dia lebih terpengaruh mendengarkan perkataan temannya yang orang lain itu dan lebih memilih menyumpahi aku sedemikian rupa dan tak masuk diayal kepadaku yang kurasa lebih berjasa dari orang yang dia dengarkan perkataannya itu.
Aku disumpah sahabatku, aku disumpah oleh orang yang umurnya jauh dibawahku. Yang bahkan ketika kecil senantiasa dia kuasuh dan kuurus tat kala kedua orang tuanya pergi mencari sesuap nasi olehnya.
Hanya Tuhan yang tahu.
Tapi aku telah berdosa mengungkit-ungkit kebaikanku kepadanya, pahala yang kudapat darinya mungkin sudah dihapus Tuhan karena aku sudah riya saat ini.
Tapi kau harus tahu sebab aku tidak bisa melupakan perlakuan mereka.
Kau tidak tahu bagaimana rasanya aku, yang rumahnya tak begitu jauh dari rumahnya saat itu. Tak pernah bisa dia lewati jika dia punya hajat baik untuk dibagi olehku, bahkan kiriman kedua orang tuaku yang dititipkan kepadanya dia relakan berjamur karena telah lama disimpannya dan tidak dia sampaikan padaku. Dengan alasan dia sibuk katanya. Padahal jika dia bermaksud baik dan hatinya tidak busuk seperti itu dia bisa saja datang kerumahku seperti layaknya dia menyambangi orang-orang yang tak kenal juntrungannya, yang hanya dia kenal dengan sekali libas saja sehingga hanya samar-samar hubungan dia dan orang itu dan tinggalnya jauh berkali-kali lipat jauhnya dari jarak rumahnya dengan rumahku.
Kau tidak tahu bagaimana perlakuan mereka terhadapku sahabatku mungkin hanya Tuhanlah yang tau. Bagaimana cara mereka memperlakukanku membagi pemberian orang tuaku, aku tidak diberi mereka satu peserpun, dengan alasan aku tidak pernah datang menyambangi kedua orang tuaku.
Bukan aku tidak mau, tapi aku sudah letih untuk datang kesana. Karena setiap aku datang mereka selalu menyudutkanku dan memandang kalau kedatanganku hanya bermaksud buruk, padahal yang ingin kudatangi itu kedua orang tuaku. Mereka tak berhak untuk berbuat seperti itu padaku.
Aku yang sejak kecil sudah turut andil membantu kedua orang tuaku mengumpulkan harta per harta yang kedua orang tuaku punya sampai aku rasa keringatku masih melekat erat pada kayu bubungan rumah yang mereka diami sekarang yang mereka bilang hak mereka padahal jangankan untuk berhak, untuk mendiaminyapun mereka tidak ada hak. Karena rumah itu aku yang telah membantu mendirikannya sedangkan mereka yang katanya berhak itu masih terlalu kecil, bahkan untuk mengingat kapan rumah itu didirikanpun mereka kurasa tak ingat. Hanya aku dan yang tertua yang sudah besar saat itu, tapi dia yang tertua saat itu tak berdaya karena penyakit kuning yang menjakitinya, setiap hari aku dan ibuku pergi menyeberang air untuk mencari obat dihutan supaya penyakit kuning itu sembuh.
Tapi apa yang kudapat ??
Tidak ada, bahkan untuk segenggam gabahpun aku tak mereka beri. Ironi memang.
Kalau aku brutal tak beradap, mereka pun bisa kuusir dari rumah itu. Karena aku merasa aku yang paling berhak memilikinya, karena tenagaku sudah terserap disetiap batang kayu-kayu tua yang tersusun rapi sekarang.
Tapi aku tidak ingin melakukan itu, aku percaya kalau Tuhan punya nikmat lain yang bisa kunikmati. Aku tidak ingin perbuatanku memperebutkan peninggalan orang tua menghalangi langkah anakku, langkah keturunanku disuatu hari nanti.
Kalau seperti kata mereka, aku tak berhak untuk menikmati apa yang ditinggalkan kedua orang tauku dahulu maka aku terima. Sebab tanpa peninggalan itu aku, istri, dan anak-anakku masih bisa hidup. Meskipun tidak semewah kehidupan mereka. Tapi aku bangga sebab apa yang aku dapat hasil jerih payahku dan istriku, tanpa ada campur tangan dari orang lain.
Aku bisa berbangga hati sahabatku, sebab tidak ada yang menuntunku tapi aku bisa hidup. Tak perlu aku tergantung dan menghabiskan kepunyaan kedua orang tuaku, tapi aku bisa tetap hidup. Menghidupi istriku dan anakku, menyekolahkan dia yang bahkan melebihi dari sekolah anak-anak mereka yang telah menyakiti hatiku.
Kalau tidak ada hakku disana dipembagian yang mereka terima seperti layaknya yang mereka katakan, maka aku terima dengan senang hati. Tapi kalau ada sedikit hakku yang termakan oleh mereka, ada sesuap hakku yang sengaja atau tidak termakan oleh mereka dan masuk kedalam lambung mereka. Maka aku tak akan pernah rela, setiap suap dari hakku yang termakan oleh mereka tidak aku relakan untuk masuk dan menjadi daging kedalam tubuh mereka. Dan jika Tuhan ada maka aku meminta karma atas hakku yang termakan oleh mereka itu. Aku tak meminta hakku itu kembali, tapi aku hanya ingin melihat janji Tuhan terhadap mereka yang memakan hak orang lain seperti yang Dia tulis dalam KitabNya.
Kau tidak tahu apa yang kurasakan dan kurasa hanya Tuhan yang tahu itu semua.
Bagaimana ketika salah satu dari mereka dahulu pernah kuurus dirumahku dalam waktu lama, bagaimana dengan kasih mertua perempuanku saat itu juga menaruh cinta kepadanya layaknya anak sendiri ketika dia sedang berada dalam masalah. Aku datang saat dia dalam lemahnya, bagaimana tengah malam hari aku memacu sepeda motorku ditengah jalanan kelam dan licin karena bekas hujan kemarin, sempat berapa kali motorku lepas kendali dan membuatku terjatuh sehingga kaca spion motorku pecah dan tanganku berjalan karena tergores kerasnya batu jalanan setapak, hanya untuk memberi pertolongan kepadanya.
Tapi apa yang aku dapat dari dia sebagai balasannya.
Tidak ada, tidak ada sahabatku.
Dia sudah lupa bagaimana kerihnya aku dimalam itu menjemputnya, sudah lupa dia bagaimana cara mertuaku terhadap dia dulu, yang kurasa mertuanya pun kuragukan akan melakukan hal yang sama seperti yang mertuaku lakukan kepadanya.
Sekarang suaranya sudah lantang, sudah cukup kuat untuk menghardik istriku. Mungkin dia sudah kuat sekarang sebab sudah makan banyak. Padahal dia dulu tidak selantang itu.
Aku tidak tahu apa yang pernah dilakukan istriku sehingga dia seberani itu sekarang untuk menghardiknya.
Banyak sudah alasan yang membuatku cukup untuk tidak mencampuri mereka lagi.
Aku ini adalah orang terbuang diantara mereka. Orang yang tak mereka inginkan untuk kembali dalam lingkaran mereka.
Sekali lagi kukatakan aku tidak ingin terlibat lagi dengan mereka, aku tidak ingin terseret-seret lagi dengan masalah yang mereka hadapi. Aku tidak ingin menjadi obat luka mereka yang jika sudah sembuh mereka campakkan. Aku masih punya anak istri yang butuh perhatianku, sebab perhatianku bukan untuk mereka saja tapi untuk anak istriku juga.
Aku tidak ingin ikut dalam masalah mereka lagi, karena mereka setiap kali kudengar perkataannya sudah cukup pintar untuk menghadapi dunia, jadi tak perlulah aku mencampuri urusan mereka lagi.
Dia mengakhiri cerita panjangnya tentang keluhan yang dia rasakan dan tentang perihal sebab kenapa dia tidak ingin lagi membantu mereka. Sebuah cerita yang ironis yang dia dengar dari seorang sahabatnya, dan bahkan dia sendiri tidak menyangka kalau dibalik pembawaan kalem dan tenang itu menyimpan rasa kecewa yang teramat dalam didalam hatinya.
Dia memang tidak dendam seperti apa yang dia katakan, sebab tak pernah satu kalipun terdengar dan desahan nafas yang bercampur rasa dendam dalam ceritanya. Yang ada disana dan terasa adalah rasa kecewa yang teramat dalam karena sebuah penghianatan yang bertubi-tubi dia terima. Sebuah kekecewaan yang telah lama tertumpuk, tertimbun dan tersimpan didalam hatinya.
Dia memang bukan orang yang taat tapi bukan pula seorang yang munafik. Dia paling enggan untuk berpura-pura dalam hidup, setidaknya dia merasa kalau jujur dengan kata hati adalah yang terbaik dalam menjalani hidup. Aku tahu dia, benar-benar tahu seperti apa dia.
Dia orang yang keras, sekali bilang tidak maka badai seperti apapun tidak mampu menggoyangkan keputusannya.
Cobalah kau pikirkan sekali lagi, mungkin kau akan berubah pikiranmu.
Dia mencoba untuk membujuk sang sahabat untuk terakhir kalinya.
Tidak, sudah kuyakini kalau aku tidak akan mencampuri urusan mereka lagi. Mereka berempat, sudah cukup untuk menyelesaikan masalah salah satu diantara mereka. Jika mereka yang tiga sisanya yang merupakan persengkokolannya saja tidak ingin membantu bahkan mendengarkan masalah yang orang itu alami sekarang saja tidak mau, kenapa aku yang bukan siapa-siapa mereka dan selalu mereka musuhi ingin membantunya. Itu sudah cukup bagiku untuk meniadakan alasan untuk membantunya. Kuharap aku juga tidak akan membutuhkan bantuan mereka juga suatu hari nanti. Bahkan dalam sakitku aku tidak akan menyebut nama mereka, dan dalam sakit mereka aku tidak ingin disebutkan namaku untuk dipanggil oleh mereka.
Biarlah Tuhanlah yang tahu ini salah atau tidak, sebab sudah cukuplah aku mencoba untuk berdamai dengan mereka selama ini.
Begitu mendengar perkataan terakhir dari sang sahabat. Dia hirup dalam-dalam nafasnya dalam satu tarikan nafas yang panjang. Dia paham bahwa ini tidak bisa dirubah lagi, keputusan ini sudah final diambil oleh sang sahabatnya ini. Dia tidak berhak pula untuk memaksanya, sebab pun dia berpikir kalau dia berada dalam posisi sang sahabatnya sekarang pun juga dia akan memutuskan hal yang sama. Bahkan mungkin bara dendam sedikit tidaknya sudah tersulut didalm hatinya, sebab dia berbeda dengan sang sahabat, dia tidak bisa mengontrol emosi sedewasa sang sahabatnya.
Yang hanya bisa meluluhkan hatinya dari rasa kecewa itu mungkin adalah rasa simpatinya ketika melihat mereka datang memohon bantuan itu. Seperti sudah hilang rasa angkuh yang dulu mereka punya dan sering mereka perlihatkan, ketika sekarang datang dengan raut muka kebingungan itu. Tapi begitu teringat oleh mereka bagaimana berkali-kali mereka meminta bantuan dan kemudian berkhianat lagi, kemudian meminta bantuan lagi dan suatu saat berkhianat lagi, dia berpikir bahwa mungkin saja kali ini setelah diberi bantuan mereka akan menyakiti lagi.
Sebab mereka adalah sekumpulan orang-orang yang tidak pernah menganggap ada pemberian orang lain, sekumpulan orang yang mudah melupakan kebaikan orang lain.
Entah apakah ini benar atau salah, siapa yang benar siapa yang salah. Dia tidak tahu harus seperti apa, dia hanya berkata hanya Tuhanlah yang tahu semua ini. Biarkan Tuhan yang memutuskan sendiri kalau Dia masih punya empati pada mereka dan beranggapan perbuatan sang sahabat ini salah. Karena Tuhan maha tahu apa yang sebaiknya akan, telah, dan sedang terjadi. 

0 komentar:

Posting Komentar