Kau dendam
kepadanya ??
Tanya
dia kepada seorang teman baiknya.
Teman
terbaik yang pernah dia punya sepanjang hidupnya, meskipun terkadang setiap
hari, hari-hari mereka diwarnai oleh pertengkaran hebat. Entah itu diakibatkan
oleh hal kecil seperti perbedaan pendapat, ataupun hal besar seperti sering
melakukan kesalahan fatal yang menimbulkan perselisihan.
Tapi
meskipun begitu mereka terlihat begitu serasi saat sedang dalam keadaan tenang.
Layaknya pasangan Sherlock Holmes dan Watson.
Tidak, aku tidak dendam
pada mereka. Aku diajarkan oleh kakekku untuk tidak boleh membenci atau
mendendam pada seseorang.
Begitulah
jawab sang sahabat.
Tapi kenapa kau enggan
membantu mereka ??
Tanya
dia lagi, seakan-akan itulah pertanyaan yang sebenar-benarnya ingin dia
tanyakan kepada sang sahabatnya itu, seakan-akan pertanyaannya diawalnya tadi
hanyalah sekedar pertanyaan jebakan saja atau mungkin hanya pertanyaan pembuka.
Aku hanya belum lupa
terhadap apa yang mereka lakukan kepadaku.
Jawab
sang sahabat santai mengatakan sebab sebenarnya dari yang dia alami sekarang.
Kalau begitu apa
bedanya dengan kau dendam kepadanya ??
Dia
bertanya heran kepada sang sahabat perihal dari apa yang dia dengar tentang
jawaban yang dilontarkan oleh sang sahabatnya itu.
Oh, tentu saja itu
sangat berbeda sahabatku. Kalau aku dendam, didalam hatiku sudah terpatri bahwa
suatu saat nanti aku akan membalas perlakuannya kepadaku meski itu ada atau
tanpa adanya kesempatan yang kumiliki. Kalau ada aku akan langsung membalaskan
dendam tapi kalau tidak maka aku akan menciptakan kesempatan itu, itu jika aku
merasa dendam. Tapi aku tidak dendam, aku hanya tidak bisa melupakan
perlakuannya kepadaku. Dan aku merasa kalau lebih baik aku tidak berurusan dengannya
mereka lagi dan menjauh, sebab itu mungkin yang mereka inginkan dulu dariku.
Terhenyak
sejenak dadanya mendengar jawaban sang sahabat. Memang belum bahkan tidak ada
dendam didalam hatinya, hanya sekedar amarah yang besar sekali yang terlihat.
Tapi masih bisa dia kontrol sehingga api amarah itu tidak berubah menjadi bara
dendam didalam hatinya.
Tapi dia butuh kau
sekarang, bisakah kau melupakan sejenak perlakuan mereka dahulu dan mencoba
untuk merendahkan hatimu untuk membantu mereka ??
Dia
mencoba membujuk sang sahabat dan berusaha meredakan amarahnya.
Tidak, aku sudah tidak
mau lagi terlibat dengan mereka, dengan apapun perihal tentang mereka, mau itu
hajat baik ataupun buruk aku tidak mau lagi terlibat. Jika mereka mempunyai
hajat baik tidak perlulah mereka mengundangku, karena aku sudah tidak dianggap
ada oleh mereka, pun begitu dengan hajat buruk aku tidak akan datang meskipun
aku mendengarnya. Begitu juga aku, jika kupunya hajat baik, tak kuharapkan
kehadiran mereka dan jika aku punya hajat buruk maka aku akan menyelesaikannya
tanpa ada mereka bercampur tangan dalam urusanku.
Aku tak berharap mereka
menghiba-hiba meminta dan datang padaku jika hajat buruk menimpa mereka dan
akupun tidak akan pernah mengharapkan bantuan mereka. Aku bisa berdiri sendiri
dengan kakiku, dengan tanganku, dan juga dengan tenagaku.
Kau tidak tahu
bagaimana perasaanku dahulu sahabatku dan kurasa hanya Tuhanlah yang tahu itu,
ketika aku meminta sedikit bantuan mereka saat aku ingin menikah dengan
istriku. Mereka hilang bak ditelan bumi tidak ada yang datang, sampai-sampai
saat itu istriku nyaris tidak percaya karena dikeluarga dia, dia tidak pernah
menerima perlakuan yang aneh seperti itu.
Kau tidak tahu
bagaimana perasaanku dahulu sahabatku dan kurasa hanya Tuhanlah yang tahu, ketika
aku sudah bersusah payah mengarak mereka mendirikan rumah yang mereka tempati
sekarang. Bagaimana istriku bangun begitu paginya hanya untuk mempersiapkan
makan untuk mereka saat itu, apa yang tidak ada dirumahku dipaksakan ada oleh
istriku hanya untuk menjamu mereka, hanya agar mereka merasa nyaman dirumah
kami meskipun sampai saat itu istriku belum pernah merasakan segelas kopi yang
dia hidangkan ketika aku dan istriku bertamu kerumahnya. Tapi apa yang kudapat
setelah itu ?? Hanya sumpah serapah dan mengatakan kalau hidupku tak akan
tenang jika aku mencuranginya, aku dituduhnya mencuranginya, dia lebih
terpengaruh mendengarkan perkataan temannya yang orang lain itu dan lebih
memilih menyumpahi aku sedemikian rupa dan tak masuk diayal kepadaku yang kurasa
lebih berjasa dari orang yang dia dengarkan perkataannya itu.
Aku disumpah sahabatku,
aku disumpah oleh orang yang umurnya jauh dibawahku. Yang bahkan ketika kecil
senantiasa dia kuasuh dan kuurus tat kala kedua orang tuanya pergi mencari
sesuap nasi olehnya.
Hanya Tuhan yang tahu.
Tapi aku telah berdosa
mengungkit-ungkit kebaikanku kepadanya, pahala yang kudapat darinya mungkin
sudah dihapus Tuhan karena aku sudah riya saat ini.
Tapi kau harus tahu
sebab aku tidak bisa melupakan perlakuan mereka.
Kau tidak tahu
bagaimana rasanya aku, yang rumahnya tak begitu jauh dari rumahnya saat itu.
Tak pernah bisa dia lewati jika dia punya hajat baik untuk dibagi olehku,
bahkan kiriman kedua orang tuaku yang dititipkan kepadanya dia relakan berjamur
karena telah lama disimpannya dan tidak dia sampaikan padaku. Dengan alasan dia
sibuk katanya. Padahal jika dia bermaksud baik dan hatinya tidak busuk seperti
itu dia bisa saja datang kerumahku seperti layaknya dia menyambangi orang-orang
yang tak kenal juntrungannya, yang hanya dia kenal dengan sekali libas saja
sehingga hanya samar-samar hubungan dia dan orang itu dan tinggalnya jauh
berkali-kali lipat jauhnya dari jarak rumahnya dengan rumahku.
Kau tidak tahu
bagaimana perlakuan mereka terhadapku sahabatku mungkin hanya Tuhanlah yang tau.
Bagaimana cara mereka memperlakukanku membagi pemberian orang tuaku, aku tidak
diberi mereka satu peserpun, dengan alasan aku tidak pernah datang menyambangi
kedua orang tuaku.
Bukan aku tidak mau,
tapi aku sudah letih untuk datang kesana. Karena setiap aku datang mereka
selalu menyudutkanku dan memandang kalau kedatanganku hanya bermaksud buruk,
padahal yang ingin kudatangi itu kedua orang tuaku. Mereka tak berhak untuk
berbuat seperti itu padaku.
Aku yang sejak kecil
sudah turut andil membantu kedua orang tuaku mengumpulkan harta per harta yang
kedua orang tuaku punya sampai aku rasa keringatku masih melekat erat pada kayu
bubungan rumah yang mereka diami sekarang yang mereka bilang hak mereka padahal
jangankan untuk berhak, untuk mendiaminyapun mereka tidak ada hak. Karena rumah
itu aku yang telah membantu mendirikannya sedangkan mereka yang katanya berhak
itu masih terlalu kecil, bahkan untuk mengingat kapan rumah itu didirikanpun
mereka kurasa tak ingat. Hanya aku dan yang tertua yang sudah besar saat itu,
tapi dia yang tertua saat itu tak berdaya karena penyakit kuning yang
menjakitinya, setiap hari aku dan ibuku pergi menyeberang air untuk mencari
obat dihutan supaya penyakit kuning itu sembuh.
Tapi apa yang kudapat
??
Tidak ada, bahkan untuk
segenggam gabahpun aku tak mereka beri. Ironi memang.
Kalau aku brutal tak
beradap, mereka pun bisa kuusir dari rumah itu. Karena aku merasa aku yang
paling berhak memilikinya, karena tenagaku sudah terserap disetiap batang
kayu-kayu tua yang tersusun rapi sekarang.
Tapi aku tidak ingin
melakukan itu, aku percaya kalau Tuhan punya nikmat lain yang bisa kunikmati.
Aku tidak ingin perbuatanku memperebutkan peninggalan orang tua menghalangi
langkah anakku, langkah keturunanku disuatu hari nanti.
Kalau seperti kata
mereka, aku tak berhak untuk menikmati apa yang ditinggalkan kedua orang tauku
dahulu maka aku terima. Sebab tanpa peninggalan itu aku, istri, dan anak-anakku
masih bisa hidup. Meskipun tidak semewah kehidupan mereka. Tapi aku bangga sebab
apa yang aku dapat hasil jerih payahku dan istriku, tanpa ada campur tangan
dari orang lain.
Aku bisa berbangga hati
sahabatku, sebab tidak ada yang menuntunku tapi aku bisa hidup. Tak perlu aku
tergantung dan menghabiskan kepunyaan kedua orang tuaku, tapi aku bisa tetap
hidup. Menghidupi istriku dan anakku, menyekolahkan dia yang bahkan melebihi
dari sekolah anak-anak mereka yang telah menyakiti hatiku.
Kalau tidak ada hakku
disana dipembagian yang mereka terima seperti layaknya yang mereka katakan,
maka aku terima dengan senang hati. Tapi kalau ada sedikit hakku yang termakan
oleh mereka, ada sesuap hakku yang sengaja atau tidak termakan oleh mereka dan
masuk kedalam lambung mereka. Maka aku tak akan pernah rela, setiap suap dari
hakku yang termakan oleh mereka tidak aku relakan untuk masuk dan menjadi
daging kedalam tubuh mereka. Dan jika Tuhan ada maka aku meminta karma atas
hakku yang termakan oleh mereka itu. Aku tak meminta hakku itu kembali, tapi
aku hanya ingin melihat janji Tuhan terhadap mereka yang memakan hak orang lain
seperti yang Dia tulis dalam KitabNya.
Kau tidak tahu apa yang
kurasakan dan kurasa hanya Tuhan yang tahu itu semua.
Bagaimana ketika salah
satu dari mereka dahulu pernah kuurus dirumahku dalam waktu lama, bagaimana
dengan kasih mertua perempuanku saat itu juga menaruh cinta kepadanya layaknya
anak sendiri ketika dia sedang berada dalam masalah. Aku datang saat dia dalam
lemahnya, bagaimana tengah malam hari aku memacu sepeda motorku ditengah
jalanan kelam dan licin karena bekas hujan kemarin, sempat berapa kali motorku
lepas kendali dan membuatku terjatuh sehingga kaca spion motorku pecah dan
tanganku berjalan karena tergores kerasnya batu jalanan setapak, hanya untuk
memberi pertolongan kepadanya.
Tapi apa yang aku dapat
dari dia sebagai balasannya.
Tidak ada, tidak ada
sahabatku.
Dia sudah lupa
bagaimana kerihnya aku dimalam itu menjemputnya, sudah lupa dia bagaimana cara
mertuaku terhadap dia dulu, yang kurasa mertuanya pun kuragukan akan melakukan
hal yang sama seperti yang mertuaku lakukan kepadanya.
Sekarang suaranya sudah
lantang, sudah cukup kuat untuk menghardik istriku. Mungkin dia sudah kuat
sekarang sebab sudah makan banyak. Padahal dia dulu tidak selantang itu.
Aku tidak tahu apa yang
pernah dilakukan istriku sehingga dia seberani itu sekarang untuk
menghardiknya.
Banyak sudah alasan
yang membuatku cukup untuk tidak mencampuri mereka lagi.
Aku ini adalah orang
terbuang diantara mereka. Orang yang tak mereka inginkan untuk kembali dalam
lingkaran mereka.
Sekali lagi kukatakan
aku tidak ingin terlibat lagi dengan mereka, aku tidak ingin terseret-seret
lagi dengan masalah yang mereka hadapi. Aku tidak ingin menjadi obat luka
mereka yang jika sudah sembuh mereka campakkan. Aku masih punya anak istri yang
butuh perhatianku, sebab perhatianku bukan untuk mereka saja tapi untuk anak
istriku juga.
Aku tidak ingin ikut
dalam masalah mereka lagi, karena mereka setiap kali kudengar perkataannya
sudah cukup pintar untuk menghadapi dunia, jadi tak perlulah aku mencampuri
urusan mereka lagi.
Dia
mengakhiri cerita panjangnya tentang keluhan yang dia rasakan dan tentang
perihal sebab kenapa dia tidak ingin lagi membantu mereka. Sebuah cerita yang
ironis yang dia dengar dari seorang sahabatnya, dan bahkan dia sendiri tidak
menyangka kalau dibalik pembawaan kalem dan tenang itu menyimpan rasa kecewa
yang teramat dalam didalam hatinya.
Dia
memang tidak dendam seperti apa yang dia katakan, sebab tak pernah satu kalipun
terdengar dan desahan nafas yang bercampur rasa dendam dalam ceritanya. Yang
ada disana dan terasa adalah rasa kecewa yang teramat dalam karena sebuah
penghianatan yang bertubi-tubi dia terima. Sebuah kekecewaan yang telah lama
tertumpuk, tertimbun dan tersimpan didalam hatinya.
Dia
memang bukan orang yang taat tapi bukan pula seorang yang munafik. Dia paling
enggan untuk berpura-pura dalam hidup, setidaknya dia merasa kalau jujur dengan
kata hati adalah yang terbaik dalam menjalani hidup. Aku tahu dia, benar-benar
tahu seperti apa dia.
Dia
orang yang keras, sekali bilang tidak maka badai seperti apapun tidak mampu
menggoyangkan keputusannya.
Cobalah kau pikirkan
sekali lagi, mungkin kau akan berubah pikiranmu.
Dia
mencoba untuk membujuk sang sahabat untuk terakhir kalinya.
Tidak, sudah kuyakini
kalau aku tidak akan mencampuri urusan mereka lagi. Mereka berempat, sudah
cukup untuk menyelesaikan masalah salah satu diantara mereka. Jika mereka yang
tiga sisanya yang merupakan persengkokolannya saja tidak ingin membantu bahkan
mendengarkan masalah yang orang itu alami sekarang saja tidak mau, kenapa aku
yang bukan siapa-siapa mereka dan selalu mereka musuhi ingin membantunya. Itu
sudah cukup bagiku untuk meniadakan alasan untuk membantunya. Kuharap aku juga
tidak akan membutuhkan bantuan mereka juga suatu hari nanti. Bahkan dalam sakitku
aku tidak akan menyebut nama mereka, dan dalam sakit mereka aku tidak ingin
disebutkan namaku untuk dipanggil oleh mereka.
Biarlah Tuhanlah yang
tahu ini salah atau tidak, sebab sudah cukuplah aku mencoba untuk berdamai
dengan mereka selama ini.
Begitu
mendengar perkataan terakhir dari sang sahabat. Dia hirup dalam-dalam nafasnya
dalam satu tarikan nafas yang panjang. Dia paham bahwa ini tidak bisa dirubah
lagi, keputusan ini sudah final diambil oleh sang sahabatnya ini. Dia tidak
berhak pula untuk memaksanya, sebab pun dia berpikir kalau dia berada dalam
posisi sang sahabatnya sekarang pun juga dia akan memutuskan hal yang sama.
Bahkan mungkin bara dendam sedikit tidaknya sudah tersulut didalm hatinya,
sebab dia berbeda dengan sang sahabat, dia tidak bisa mengontrol emosi sedewasa
sang sahabatnya.
Yang
hanya bisa meluluhkan hatinya dari rasa kecewa itu mungkin adalah rasa
simpatinya ketika melihat mereka datang memohon bantuan itu. Seperti sudah
hilang rasa angkuh yang dulu mereka punya dan sering mereka perlihatkan, ketika
sekarang datang dengan raut muka kebingungan itu. Tapi begitu teringat oleh
mereka bagaimana berkali-kali mereka meminta bantuan dan kemudian berkhianat
lagi, kemudian meminta bantuan lagi dan suatu saat berkhianat lagi, dia
berpikir bahwa mungkin saja kali ini setelah diberi bantuan mereka akan
menyakiti lagi.
Sebab
mereka adalah sekumpulan orang-orang yang tidak pernah menganggap ada pemberian
orang lain, sekumpulan orang yang mudah melupakan kebaikan orang lain.
Entah apakah ini benar atau salah, siapa yang benar
siapa yang salah. Dia tidak tahu harus seperti apa, dia hanya berkata hanya
Tuhanlah yang tahu semua ini. Biarkan Tuhan yang memutuskan sendiri kalau Dia
masih punya empati pada mereka dan beranggapan perbuatan sang sahabat ini salah.
Karena Tuhan maha tahu apa yang sebaiknya akan, telah, dan sedang terjadi.

0 komentar:
Posting Komentar