Senin, 01 Agustus 2016

Mimpi Bernama Humaniora, Mahasiswa Salah Jurusan, Dan Dunia Yang Tidak Diharapkan



We have to live a life of no regrets. –Portgas.D.Ace, One Piece.



S
etiap orang pasti pernah merasakan sebuah penyesalan dalam setiap hidupnya, dan yang membedakannya adalah intensitasnya saja. Apakah itu penyesalan yang berat dan ringan.
            Begitulah yang dia pikirkan.
Setiap kali dia menatap kembali kebelakang mengenang setiap langkah dalam hidupnya, pernyataan itu selalu hadir.
Namun yang terhebat dari sebuah penyesalan adalah bukanlah intesitasnya, tapi bagaimana seseorang tersebut mampu mengalahkan dan menghapus penyesalan tersebut, bagaimana kecerdikan seseorang mampu mengubah sebuah hal yang disesali tersebut menjadi sebuah hal yang mampu memotivasi diri sendiri sehingga kita bisa bangkit dari penyesalan.
Nasi sudah menjadi bubur.
Begitulah yang sering dikatakan orang-orang untuk menutupi penyesalannya. Sesuatu yang telah terjadi memang tidak mungkin bisa kita ulang untuk merubahnya, walaupun hidup ini layaknya permainan, tapi hidup adalah permainan yang kita tidak bisa dan tidak boleh untuk menyerah serta putus asa ditengahnya sebab hidup tidak bisa diulang jika kita sudah bosan pada kekalahan.
Mendapati gelar sarjana, mungkin bagi orang-orang adalah sebuah kebanggaan. Tapi tidak bagi seseorang yang merasa kalau gelar yang didapatnya adalah gelar yang semestinya tidak dia dapat, karena dia merasa ini adalah gelar yang tidak cocok untuknya. Sebab gelar ini adalah gelar yang tidak dia harapkan, sebab gelar yang dia inginkan adalah gelar yang lain.
Setiap tahunnya memang banyak sekali para lulusan sekolah menengah atas yang beralih status menjadi mahasiswa. Tapi hanya sedikit yang mampu masuk pada jurusan yang benar-benar diharapnya, masuk pada jurusan yang merupakan benar-benar adalah dunianya.
Banyak alasan yang mereka keluarkan saat ditanya kenapa mereka lebih memilih masuk kedalam dunia yang bukan dunia mereka. Dunia yang saat kau akan menjalaninya, kau akan berjalan perlahan tanpa ada senyum dihatimu. Dunia yang kau tak merasakan kebanggaan didalamnya ketika kau berjalan didunia yang ‘salah’ itu, dimana ketika kau mendapati didalam didirimu ada sedikit penyesalan akan perihal yang membuatmu telah terdampar ditanah asing yang tidak kau ketahui harus kemana kau akan pergi setelah bisa bebas dari sana.
Coba bayangkan dengan saat jika kau benar-benar masuk pada duniamu, pada dunia yang benar-benar sudah kau pahami sedikit banyak seluk beluknya.
Kau akan tahu akan melangkah kemana setelah itu, kau akan tahu kemana ara jalan yang harus kau tuju ketika kau berada dipersimpang jalan untuk memilih. Sebab itu duniamu, tempat itu adalah milikmu, kau yang paham tentang yang ada disana.
Banyak dia temui beberapa orang yang pindah kedalam tempat yang bukan dunia mereka, sedikit yang sukses untuk bisa keluar dengan selamat tapi banyak yang hancur sebab menemui kegagalan ditempat yang bukan dunia mereka.
Seorang teman baiknya adalah salah satunya.
Berbekal pendidikan disekolah menengah atas berasal dari sekolah teknik jurusan jaringan, sang teman terdampar jauh dari dunia yang dia sukainya itu.
Disebuah persimpangan takdir, ketidak-hatiannya dalam memilih jurusan saat pendaftaran kuliah membuat dia terdampar didunia asing yang tidak dia pahami sang teman mengawali penderitaan hidupnya untuk masuk kedalam dunia asing itu.
Layaknya yang apa yang dia rasakan. Tapi dia masih bisa berbangga diri karena tidak seperti temannya, dia bisa bertahan dan keluar dengan selamat dari dunia yang bukan duniaku ini.
Sedangkan sang teman, dia hancur lebur didalam dunia yang entah milik siapa itu. kegagalan pada semester pertama membuat semangatnya yang memang sudah rapuh menjadi luluh dan hancur sehingga sampai sekarangpun sang teman belum bisa keluar dari dunia orang lain itu.
Banyak orang yang masuk pada dunia yang berbeda yang bukan dunianya ketika tahun ajaran pertama perkuliahan dimulai. Entah itu memang mereka sengaja dengan niat, atau karena tidak sengaja karena sebuah keterpaksaan dengan berbagai alasan.
Anda saja aku......., pasti aku sudah......
Kata itu pernah dia dengar dari seorang sahabatnya yang juga terdampar didunia yang tidak dia inginkan. Sebuah dunia yang sangat jauh dari khayalan sang sahabat.
Kalau aku berada dijurusan arsitektur aku sudah lulus dengan nilai yang sangat baik sepertinya, tapi sayang aku berada dijuruan Bahasa Inggris.
Begilah kata sang sahabat suatu waktu terbaca olehnya.
Apakah dia menyesal ??
Hatinya bertanya tentang apa yang sahabatnya rasakan. Rasanya bisa jadi atau bisa tidak, ada penyesalan didalam kalimat itu. Tapi yang jelas ada sebuah kekecewaan yang tersirat disana, dan itu rasanya hampir pasti terasa.
Tidak banyak yang beruntung untuk bisa masuk kedunia yang benar-benar dia impikan, sekali lagi dia mengatakan kalimat itu didalam hatinya. Seperti layaknya sebuah cita-cita.
Teringat dia akan hal yang dia jawab ketika ditanya oleh seorang guru pada masa dia belajar di Taman Kanak-kanak, saat guru tersebut bertanya  kepada dia dan teman-temannya saat itu tentang apa cita-cita mereka. Sontak dengan kompak seisi kelas berkata kalau mereka semua mengatakan kalau mereka ingin menjadi dokter, polisi, tentara atau bahkan presiden. Seisi kelas sontak tanpa berpikir ulang menyebutkan profesi-profesi yang populer ditelinga mereka ketika itu.
Tapi apa dinyana, perlahan-lahan cita-cita itu tereleminasi dengan sendirinya ketika mereka beranjak dewasa. Mungkin dari 30 orang yang ingin jadi dokter pada masa kecilnya hanya tiga orang saja yang bertahan dan tetap pada cita-citanya. Dunia dan realitas yang memilih, layaknya takdir yang memilih seorang menjadi pemimpin suatu negeri.
Menurutnya kuliah itu tujuannya ada dua, mendapat pengalaman dan ilmunya, atau bersenang-senang. Tapi kalau kita tidak mendapat keduanya, maka kita bukan belajar melainkan dihajar.
Banyak alasan dari mereka yang keluar ketika ditanya kenapa bisa terdampar didunia yang tidak mereka kenali ini. Ketidak-tahuan akan jurusan yang mereka pilih, saran orang tua, ikut-ikutan teman, bahkan gengsi menjadi seseorang masuk kedunia mereka.
Seperti cerita seorang teman, yang dia tahu benar ketika penjurusan disekolah menengah atas dia keukeuh memilih jurusan IPA, karena gengsi dan banyak teman-temannya yang masuk disana. Tapi ketika sang teman lulus dari sekolah menengah atas dia banting stir kejurusan ekonomi.
Tidak masuk diayal, pikirnya dalam benaknya ketika melihat apa yang telah sang teman lakukan. Kenapa kau dulu menolakku untuk kuajak ikut denganku masuk dijurusan ilmu pengetahuan sosial kalau pada akhirnya jurusan ekonomi juga yang akan kau pilih, begitulah dia bertanya dalam hati seakan-akan bertanya pada sang teman itu sendiri.
Kenapa kau memilih jurusan ekonomi ??
Pada suatu kesempatan dia bertanya kepada sang teman karena penasaran akibat dia heran dan tidak tahu jalan pikiran sang teman.
Sebab jurusan ekonomi banyak yang menyukai dan populer.
Begitulah jawabannya. Sama seperti jawaban yang sang teman berikan ketika ditanya kenapa dia memilih masuk kejurusan ilmu pengetahuan alam.
Jika itu memang tolak ukurnya, kenapa tidak kau masuk kejurusan kesehatan, itu juga populer, banyak yang berbondong-bondong masuk disana dan banting stir kesana. Agaknya itu lebih masuk akal bagiku untukmu.
Dia masih saja tidak paham apa yang ada dipikiran temannya itu.
Memang benar, tapi kau tahu kemampuan otakku. Aku tidak mampu untuk masuk disana.
Ah, kau pandai bercanda dengan jalan hidupmu. Dia berkata didalam hatinya. Kenapa tidak kau ikut saja aku jika kau sadar kalau disana juga kau tidak mampu bertahan, setidaknya saat dulu kau ikut aku, kau tidak terlihat seperti bermain-main dengan jalan hidup. Coba kau pikirkan, setidaknya ada satu tempat milik orang lain yang benar-benar ingin masuk disana, dijurusan ilmu pengetahuan alam saat itu yang kau curi ketika kau dengan egonya ingin masuk disana karena kau pikir disana kau akan terlihat lebih hebat, lebih tenar, dan lebih bangga. Semakin dia bertanya dalam hati, semakin saja dia tak menemukan jawabannya.
Memang tidak ada haknya untuk mengomentari hidup sang teman karena diapun juga pernah begitu, masuk kedunia yang bukan dunianya, masuk kedunia yang benar-benar tidak dia inginkan sejak awal. Masuk kedunia yang jangankan untuk menginginkannya, terpikirpun dunia ini seperti apa sebelumnya pun dia tidak pernah sedikitpun.
Berbekal sebuah harapan, agar ingin dan sangat ingin bisa masuk kesebuah jurusan ilmu sosial dan politik, dia memilih jurusan yang tidak terpandang dikalangan remaja seusia anak-anak kelas dua sekolah menengah atas. Sempat dia mencoba menguji kalau ini bukan pilihan yang salah dengan mencoba untuk pindah kejurusan pengetahuan alam, tapi akhirnya dia benar-benar yakin kalau dia tidak salah memilih, dia tidak bisa pindah jurusan karena alasan kegiatan belajar mengajar sudah berlangsung, begitu alasan guru-guru saat itu.
Dia tersenyum sumringah, karena itu tidak benar-benar dia hendaki. Dia hanya mencoba bercanda dengan garis hidup.
Tapi apa yang dia dapat, impian yang dia rajut, sepanjang dua tahun sisa masanya disekolah menengah atas tidak bisa dia ikuti. Faktor penghambat satu persatu datang tanpa pernah berhenti untuk istirahat.
Akhirnya dia terdampar kedalam dunia yang tidak kusuka, sebuah kebingungan yang dia rasakan pertama kali saat mendapati diri tidak lagi pada jalurnya.
Akan seperti apa aku setelah ini, dan apakah bisa aku bertahan disini dalam waktu yang telah ditargetkan. Itu sederetan pertanyaan yang muncul ketika pertama kali dia masuk dikelas pertama masa awal perkuliahannya.
Dia menjelma menjadi seorang yang awalnya akrab dengan artikel-artikel politik dikoran-koran dan opini para ahli didunia maya tentang politik, menjadi orang yang akrab dengan kamus-kamus tebal yang memang sejak dari dulu sangat dia jauhi karena setiap dia membukanya maka setiap itu pula mata terasa ingin menutup, terasa berat sekali dan artikel-artikel tentang pendidikan yang tidak dia mengerti apa maksudnya sebab teorinya sangat berbeda dengan kenyataan yang dia saksikan.
Seorang yang bermimpi ingin menjadi pembicara dan politikus perlahan beranjak sedikit demi sedikit kearah profesi yang sejak dahulu sangat dia sakralkan karena dia anggap sangat berat bahkan lebih berat menjadi seorang dokter.
Guru.
Profesi yang dipandang sebelah mata oleh banyak orang tapi memiliki beban yang berat.
Bayangkan saja, jika seorang dokter melakukan kesalahan hanyalah nyawa orang yang menjadi taruhannya. Kehilangan nyawa, hanya sebuah resiko yang tidak berdampak panjang menurutnya sebab seseorang akan kehilangan nyawa juga pada akhirnya nanti.
Tapi, jika seorang guru melakukan kesalahan dalam mengajar maka resikonya melebihi dari resiko kehilangan nyawa. Cara pandang dan cara didik yang salah pada guru dan kemudian dia terapkan pada anak muridnya akan melahirkan generasi-generasi yang salah juga. Kemudian jika guru tidak mampu mengajar dengan baik dan benar maka akan banyak anak-anak yang merupakan generasi bangsa ini tenggelam hidup dalam kebodohan.
Kebodohan, sejatinya menurut dia lebih menakutkan dari sebuah kematian.
Karena percuma jika jasad kita bisa bergerak tapi kita hidup dalam kebodohan, seperti layaknya robot yang walaupun bisa melakukan apapun tapi tetap terikat pada orang yang mengendalikannya. Hidup seakan mati rasanya. Begitulah yang ada dipikirannya tentang beratnya tugas seorang guru.
Sebuah profesi yang menurut dia tidak mudah, karena dia merasa kemampuannya kurang untuk itu, dan dia juga merasa belum cukup punya bekal untuk berbagi kepada anak-anak yang kebanyakan menaruh ekspetasi besar akan sosok seorang guru.
Kenapa tidak kau coba profesi lain selain mengajar ??
Banyak yang menyarankannya hal seperti itu, tak pernah lupa bagaimana setiap kali dosen-dosennya memotivasi mereka didalam kelas dengan mengatakan kalau jurusan ini adalah jurusan yang fleksibel, yang bisa pergi kemanapun kita melangkah nantinya, tidak terpatok pada satu kata seperti ‘guru’ atau ‘mengajar’ saja.
Tapi menurutnya, itu terlihat seperti kata tokoh Keenan dalam serial film ‘Perahu kertas’.
Berarti kamu menjadi diri orang lain dulu, baru kemudian menjadi diri kamu sendiri. –Keenan, Perahu Kertas.
Banyak orang-orang yang dia kenal mencoba berpikir realistis, menganggap kalau bekerja bisa dimana saja tanpa harus terikat pada pendidikan awal yang kita miliki sebelumnya. Banyak dari orang-orang yang satu ‘perahu’ dengannya dulu ketika sama-sama menuntut ilmu diperkuliahan dulu yang banting stir kejalan yang sangat berbeda saat masuk dalam kerasnya persaingan mencari kerja.
Tidak sedikit dari mereka yang bekerja pada profesi lain yang tidak ada hubungannya dengan jurusan ini, dan diapun juga pernah ikut serta dalam barisan mereka. Mencoba peruntungan lain pada profesi yang lebih menjanjikan dalam pandangan orang-orang. Alasannya sederhana, kita hidup didunia yang realistis dimana tidak akan bisa dijalani dengan sebuah keyakinan yang kaku. Memang benar akan hal itu, dan dia mengakuinya. Tapi yang jadi pertanyaannya, kemanakah ilmu yang kita dapat selama ini.
Ilmu yang kita timba dengan susah payah dan penuh perjuangan selama bertahun-tahun, penuh keringat dan air mata. Begitu kita selesai, hanya sedikit bahkan tidak ada sama sekali yang bisa kita rasakan manfaatnya. Seakan-akan semua yang kita lakukan selama kuliah tidak menuai hasil selain dari hanya ‘gelar’ yang kita sandang.
Bukankah kata Tuhan, ilmu yang bermanfaat adalah salah satu hal yang mampu mengalirkan pahala kepada kita ketika kita sudah mati nanti.
Sebuah statement yang menurutnya tidak hanya ilmu yang bisa kita wariskan saja definisinya, tapi juga ilmu yang bermanfaat pada hidup kita. Dan bagaimana sebuah ilmu akan dikatakan bermanfaat jika pada akhirnya tidak pernah kita gunakan lagi dan akhirnya terlupakan karena tidak pernah kita asa sebab kita sudah pergi meninggalkannya. Pernah dia coba untuk mencoba meniru mereka yang berpikir realistis, tapi serasa ada yang kurang saat itu. Seakan berkata bahwa ini bukan jalan yang benar, sehingga dia coba untuk kembali pada jalur yang benar.
Dia pernah satu kali menjadi orang lain, masuk kedunia yang salah ini adalah salah satu bentuk dari bagaimana dia menjelma menjadi diri orang lain dan membuang jauh-jauh dirinya sendiri. Karena itu dia tidak mau melakukannya lagi dengan menjadi ‘orang lain’ untuk kedua kalinya. Setidaknya menurut dia jika belum cukup kemampuannya untuk berbagi maka membantu dunia pelarian ini adalah hal yang lebih tepat menurutnya, sebagai bentuk kemampua dirinya mengolah ‘nasi yang telah menjadi bubur’ itu. Meskipun dia sangat membenci dunia ini.
Gelar ini seakan sebuah aib bagi dia, yang jika dia pandang bertengger dibelakang namanya seakan-akan menertawakan bahwa ‘kau itu lemah, kau tidak mampu melawan dunia sehingga akhirnya kau memilih duniaku’.
Sebab pernah suatu waktu semesta menyindirnya lewat salah seorang pengajarnya dahulu, yang mengingatkannya akan mimpinya dimasa lalu.
Kau tak pantas jadi guru, kau itu pantas menjadi seorang pembicara layaknya orang-orang yang berpendidikan sosial ilmu politik, bukan seperti layaknya seorang yang belajar pada ilmu keguruan. Menjelaskan dengan gamblang apa yang ingin kau sampaikan, tidak seperti itu seorang guru. Seorang guru haruslah mampu menyisakan sedikit space untuk para muridnya bereksplorasi sendiri menjari jawaban dari pertanyaan, bukannya membantu menjawab pertanyaan itu. Karena sesungguhnya arti dari belajar itu adalah proses mencari jawaban dari pertanyaan-pertanyaan yang keluar.
Begitulah kata yang sampai sekarang menohok didalam hatinya.
Dia berpendapat bahwa seorang guru adalah mereka yang bisa sedapat mungkin mentransferkan pengetahuan yang dia punya kepada murid-muridnya. Sebab mengajar adalah hal memberi tahu apa yang dia tahu dan bersama mencari dengan para murid apa yang belum dia tahu, sebab proses belajar juga bisa dilakukan secara bersama-sama.
Itulah yang membuat dia benci dan sangat membencinya, sehingga tak pernah sekalipun dia menampilkannya jika menuliskan namanya layaknya orang-orang yang sangat menginginkannya. Berbeda jika yang dia dapatkan adalah apa yang benar-benar menjadi harapannya selama ini sejak dulu, mungkin akan dengan bangga gelar itu selalu dia sematkan dibelakang namanya.
Sebab banyak sekali pertanyaan-pertanyaan yang keluar setiap dia mengalami proses adaptasi dalam dunia baru ini.
Tapi sekali lagi, nasi sudah menjadi bubur, yang dia lakukan adalah belajar kreatif untuk menyiasatinya untuk mengolah agar nasi yang telah jadi bubur ini menjadi hal yang baru yang bisa menutupi dan kekurangan dari semangkok bubur penyesalan.
Magister Humaniora.
Sebuah jawaban dari apa yang sudah membuatnya bertanya-tanya apa jalan yang harus dia ambil selanjutnya, sebuah mimpi baru yang muncul dari sebuah keputus-asaan yang karena sudah berjalan lama didunia asing yang tidak dia mengerti. Sebuah dunia baru yang mungkin bisa menyelamatkannya. Sebuah gelar yang dia harap bisa setidaknya menutup bayang-banyang sebuah gelar yang sangat dia benci benci karena menggambarkan ketidak berdayaan. Sebuah gelar yang mungkin suatu hari nanti dengan bangganya dia perlihatkan berbaris rapi dibelakang namanya, dan setelah itu dia akan merasa cukup untuk bisa berbagi kepada orang lain perihal ilmu yang dia punya.

Ini bukan tentang sebuah gelar atau beberapa huruf di belakang nama, tapi ini adalah mimpi. Begitu menurutnya.
Sebuah harapan baru, yang membuatnya bisa bertahan hidup setelah sejenak sempat serasa hampir mati karena kekurangan oksigen untuk bernafas sebab hidup didunia yang berbeda.
Cukup manusiawi untuk dia bermimpi meskipun kita belum tahu apa yang akan terjadi didepan, cukup manusiawi pula punya cita-cita meskipun terkadang kenyataan berbeda jauh dengan harapan.
1%
Itu adalah persentase dari harapan barunya ini bisa dia capai, sebab dia sadar dia tidak diberkahi Tuhan kecukupan akan finansial, ini dunia dan dia mencoba untuk bersikap realistis, sebab menurutnya dunia selain realistis tapi juga materialistis. Dan dia masih bersyukur sebab dia masih bisa mendapatkan ilmu dari dunia yang tidak dia inginkan, dia masih bisa mendapatkan pengalaman yang mungkin kalau dia tidak terdampar ditempat yang baru ini tidak akan pernah dia dapatkan. Bersyukur adalah caranya untuk merasa bahwa yang dia jalani ini tidak perlu dia sesali lagi, dan bersyukur adalah cara dia pula untuk menikmati nasi yang sudah menjadi bubur ini.
Sebab dia berpikir kalau diluar sana masih banyak orang yang tidak seberuntung dia meskipun dia sudah dirundung kemalangan. Masih banyak diluar sana orang yang bermimpi mendapatkan posisinya tapi apa daya tidak bisa mereka dapatkan, dia bersyukur untuk menghargai orang-orang yang tidak beruntung itu.
Sebab seperti kata seseorang yang dia lupa namanya, bahwa bahagia itu ada pada hati yang selalu bersyukur.
Meskipun realistis tapi kita masih diizinkan untuk bermimpi, sebab hanya bermimpilah hal gratis yang masih tersisa didunia ini. Begitu yang dia pikirkan.
Mimpi itu sederhana, tapi sangat luar biasa efeknya.

Dia harap untuk kali ini, bukan hanya jadi sekedar mimpi yang akan sirna jika kita tersadar dan bangun, tapi menjadi mimpi yang tetap berlanjut walaupun sudah terbangun meskipun terdengar mustahil. Agar hidup tidak ada lagi penyesalan, agar dia tak ada lagi penyesalan dalam hidupnya ini.

0 komentar:

Posting Komentar