We have to live
a life of no regrets. –Portgas.D.Ace, One
Piece.
|
S
|
etiap
orang pasti pernah merasakan sebuah penyesalan dalam setiap hidupnya, dan yang
membedakannya adalah intensitasnya saja. Apakah itu penyesalan yang berat dan
ringan.
Begitulah yang dia pikirkan.
Setiap
kali dia menatap kembali kebelakang mengenang setiap langkah dalam hidupnya,
pernyataan itu selalu hadir.
Namun
yang terhebat dari sebuah penyesalan adalah bukanlah intesitasnya, tapi
bagaimana seseorang tersebut mampu mengalahkan dan menghapus penyesalan
tersebut, bagaimana kecerdikan seseorang mampu mengubah sebuah hal yang
disesali tersebut menjadi sebuah hal yang mampu memotivasi diri sendiri
sehingga kita bisa bangkit dari penyesalan.
Nasi sudah menjadi
bubur.
Begitulah
yang sering dikatakan orang-orang untuk menutupi penyesalannya. Sesuatu yang
telah terjadi memang tidak mungkin bisa kita ulang untuk merubahnya, walaupun
hidup ini layaknya permainan, tapi hidup adalah permainan yang kita tidak bisa
dan tidak boleh untuk menyerah serta putus asa ditengahnya sebab hidup tidak
bisa diulang jika kita sudah bosan pada kekalahan.
Mendapati
gelar sarjana, mungkin bagi orang-orang adalah sebuah kebanggaan. Tapi tidak
bagi seseorang yang merasa kalau gelar yang didapatnya adalah gelar yang
semestinya tidak dia dapat, karena dia merasa ini adalah gelar yang tidak cocok
untuknya. Sebab gelar ini adalah gelar yang tidak dia harapkan, sebab gelar
yang dia inginkan adalah gelar yang lain.
Setiap
tahunnya memang banyak sekali para lulusan sekolah menengah atas yang beralih
status menjadi mahasiswa. Tapi hanya sedikit yang mampu masuk pada jurusan yang
benar-benar diharapnya, masuk pada jurusan yang merupakan benar-benar adalah
dunianya.
Banyak
alasan yang mereka keluarkan saat ditanya kenapa mereka lebih memilih masuk
kedalam dunia yang bukan dunia mereka. Dunia yang saat kau akan menjalaninya,
kau akan berjalan perlahan tanpa ada senyum dihatimu. Dunia yang kau tak
merasakan kebanggaan didalamnya ketika kau berjalan didunia yang ‘salah’ itu, dimana ketika kau mendapati
didalam didirimu ada sedikit penyesalan akan perihal yang membuatmu telah
terdampar ditanah asing yang tidak kau ketahui harus kemana kau akan pergi
setelah bisa bebas dari sana.
Coba
bayangkan dengan saat jika kau benar-benar masuk pada duniamu, pada dunia yang
benar-benar sudah kau pahami sedikit banyak seluk beluknya.
Kau
akan tahu akan melangkah kemana setelah itu, kau akan tahu kemana ara jalan
yang harus kau tuju ketika kau berada dipersimpang jalan untuk memilih. Sebab
itu duniamu, tempat itu adalah milikmu, kau yang paham tentang yang ada disana.
Banyak
dia temui beberapa orang yang pindah kedalam tempat yang bukan dunia mereka,
sedikit yang sukses untuk bisa keluar dengan selamat tapi banyak yang hancur
sebab menemui kegagalan ditempat yang bukan dunia mereka.
Seorang
teman baiknya adalah salah satunya.
Berbekal
pendidikan disekolah menengah atas berasal dari sekolah teknik jurusan
jaringan, sang teman terdampar jauh dari dunia yang dia sukainya itu.
Disebuah
persimpangan takdir, ketidak-hatiannya dalam memilih jurusan saat pendaftaran
kuliah membuat dia terdampar didunia asing yang tidak dia pahami sang teman
mengawali penderitaan hidupnya untuk masuk kedalam dunia asing itu.
Layaknya
yang apa yang dia rasakan. Tapi dia masih bisa berbangga diri karena tidak
seperti temannya, dia bisa bertahan dan keluar dengan selamat dari dunia yang
bukan duniaku ini.
Sedangkan
sang teman, dia hancur lebur didalam dunia yang entah milik siapa itu.
kegagalan pada semester pertama membuat semangatnya yang memang sudah rapuh
menjadi luluh dan hancur sehingga sampai sekarangpun sang teman belum bisa
keluar dari dunia orang lain itu.
Banyak
orang yang masuk pada dunia yang berbeda yang bukan dunianya ketika tahun
ajaran pertama perkuliahan dimulai. Entah itu memang mereka sengaja dengan
niat, atau karena tidak sengaja karena sebuah keterpaksaan dengan berbagai
alasan.
Anda saja aku......., pasti
aku sudah......
Kata
itu pernah dia dengar dari seorang sahabatnya yang juga terdampar didunia yang
tidak dia inginkan. Sebuah dunia yang sangat jauh dari khayalan sang sahabat.
Kalau aku berada
dijurusan arsitektur aku sudah lulus dengan nilai yang sangat baik sepertinya,
tapi sayang aku berada dijuruan Bahasa Inggris.
Begilah
kata sang sahabat suatu waktu terbaca olehnya.
Apakah
dia menyesal ??
Hatinya
bertanya tentang apa yang sahabatnya rasakan. Rasanya bisa jadi atau bisa
tidak, ada penyesalan didalam kalimat itu. Tapi yang jelas ada sebuah
kekecewaan yang tersirat disana, dan itu rasanya hampir pasti terasa.
Tidak
banyak yang beruntung untuk bisa masuk kedunia yang benar-benar dia impikan,
sekali lagi dia mengatakan kalimat itu didalam hatinya. Seperti layaknya sebuah
cita-cita.
Teringat
dia akan hal yang dia jawab ketika ditanya oleh seorang guru pada masa dia
belajar di Taman Kanak-kanak, saat guru tersebut bertanya kepada dia dan teman-temannya saat itu
tentang apa cita-cita mereka. Sontak dengan kompak seisi kelas berkata kalau
mereka semua mengatakan kalau mereka ingin menjadi dokter, polisi, tentara atau
bahkan presiden. Seisi kelas sontak tanpa berpikir ulang menyebutkan
profesi-profesi yang populer ditelinga mereka ketika itu.
Tapi
apa dinyana, perlahan-lahan cita-cita itu tereleminasi dengan sendirinya ketika
mereka beranjak dewasa. Mungkin dari 30 orang yang ingin jadi dokter pada masa
kecilnya hanya tiga orang saja yang bertahan dan tetap pada cita-citanya. Dunia
dan realitas yang memilih, layaknya takdir yang memilih seorang menjadi
pemimpin suatu negeri.
Menurutnya
kuliah itu tujuannya ada dua, mendapat pengalaman dan ilmunya, atau
bersenang-senang. Tapi kalau kita tidak mendapat keduanya, maka kita bukan
belajar melainkan dihajar.
Banyak
alasan dari mereka yang keluar ketika ditanya kenapa bisa terdampar didunia
yang tidak mereka kenali ini. Ketidak-tahuan akan jurusan yang mereka pilih, saran
orang tua, ikut-ikutan teman, bahkan gengsi menjadi seseorang masuk kedunia
mereka.
Seperti
cerita seorang teman, yang dia tahu benar ketika penjurusan disekolah menengah
atas dia keukeuh memilih jurusan IPA ,
karena gengsi dan banyak teman-temannya yang masuk disana. Tapi ketika sang
teman lulus dari sekolah menengah atas dia banting stir kejurusan ekonomi.
Tidak
masuk diayal, pikirnya dalam benaknya ketika melihat apa yang telah sang teman
lakukan. Kenapa kau dulu menolakku untuk kuajak ikut denganku masuk dijurusan
ilmu pengetahuan sosial kalau pada akhirnya jurusan ekonomi juga yang akan kau
pilih, begitulah dia bertanya dalam hati seakan-akan bertanya pada sang teman
itu sendiri.
Kenapa kau memilih
jurusan ekonomi ??
Pada
suatu kesempatan dia bertanya kepada sang teman karena penasaran akibat dia
heran dan tidak tahu jalan pikiran sang teman.
Sebab jurusan ekonomi
banyak yang menyukai dan populer.
Begitulah
jawabannya. Sama seperti jawaban yang sang teman berikan ketika ditanya kenapa
dia memilih masuk kejurusan ilmu pengetahuan alam.
Jika itu memang tolak
ukurnya, kenapa tidak kau masuk kejurusan kesehatan, itu juga populer, banyak
yang berbondong-bondong masuk disana dan banting stir kesana. Agaknya itu lebih
masuk akal bagiku untukmu.
Dia
masih saja tidak paham apa yang ada dipikiran temannya itu.
Memang benar, tapi kau
tahu kemampuan otakku. Aku tidak mampu untuk masuk disana.
Ah,
kau pandai bercanda dengan jalan hidupmu. Dia berkata didalam hatinya. Kenapa
tidak kau ikut saja aku jika kau sadar kalau disana juga kau tidak mampu
bertahan, setidaknya saat dulu kau ikut aku, kau tidak terlihat seperti
bermain-main dengan jalan hidup. Coba kau pikirkan, setidaknya ada satu tempat milik
orang lain yang benar-benar ingin masuk disana, dijurusan ilmu pengetahuan alam
saat itu yang kau curi ketika kau dengan egonya ingin masuk disana karena kau
pikir disana kau akan terlihat lebih hebat, lebih tenar, dan lebih bangga.
Semakin dia bertanya dalam hati, semakin saja dia tak menemukan jawabannya.
Memang
tidak ada haknya untuk mengomentari hidup sang teman karena diapun juga pernah begitu,
masuk kedunia yang bukan dunianya, masuk kedunia yang benar-benar tidak dia inginkan
sejak awal. Masuk kedunia yang jangankan untuk menginginkannya, terpikirpun
dunia ini seperti apa sebelumnya pun dia tidak pernah sedikitpun.
Berbekal
sebuah harapan, agar ingin dan sangat ingin bisa masuk kesebuah jurusan ilmu
sosial dan politik, dia memilih jurusan yang tidak terpandang dikalangan remaja
seusia anak-anak kelas dua sekolah menengah atas. Sempat dia mencoba menguji
kalau ini bukan pilihan yang salah dengan mencoba untuk pindah kejurusan
pengetahuan alam, tapi akhirnya dia benar-benar yakin kalau dia tidak salah
memilih, dia tidak bisa pindah jurusan karena alasan kegiatan belajar mengajar
sudah berlangsung, begitu alasan guru-guru saat itu.
Dia
tersenyum sumringah, karena itu tidak benar-benar dia hendaki. Dia hanya
mencoba bercanda dengan garis hidup.
Tapi
apa yang dia dapat, impian yang dia rajut, sepanjang dua tahun sisa masanya
disekolah menengah atas tidak bisa dia ikuti. Faktor penghambat satu persatu
datang tanpa pernah berhenti untuk istirahat.
Akhirnya
dia terdampar kedalam dunia yang tidak kusuka, sebuah kebingungan yang dia rasakan
pertama kali saat mendapati diri tidak lagi pada jalurnya.
Akan
seperti apa aku setelah ini, dan apakah bisa aku bertahan disini dalam waktu
yang telah ditargetkan. Itu sederetan pertanyaan yang muncul ketika pertama
kali dia masuk dikelas pertama masa awal perkuliahannya.
Dia
menjelma menjadi seorang yang awalnya akrab dengan artikel-artikel politik
dikoran-koran dan opini para ahli didunia maya tentang politik, menjadi orang
yang akrab dengan kamus-kamus tebal yang memang sejak dari dulu sangat dia
jauhi karena setiap dia membukanya maka setiap itu pula mata terasa ingin
menutup, terasa berat sekali dan artikel-artikel tentang pendidikan yang tidak
dia mengerti apa maksudnya sebab teorinya sangat berbeda dengan kenyataan yang
dia saksikan.
Seorang
yang bermimpi ingin menjadi pembicara dan politikus perlahan beranjak sedikit
demi sedikit kearah profesi yang sejak dahulu sangat dia sakralkan karena dia anggap
sangat berat bahkan lebih berat menjadi seorang dokter.
Guru.
Profesi
yang dipandang sebelah mata oleh banyak orang tapi memiliki beban yang berat.
Bayangkan
saja, jika seorang dokter melakukan kesalahan hanyalah nyawa orang yang menjadi
taruhannya. Kehilangan nyawa, hanya sebuah resiko yang tidak berdampak panjang
menurutnya sebab seseorang akan kehilangan nyawa juga pada akhirnya nanti.
Tapi,
jika seorang guru melakukan kesalahan dalam mengajar maka resikonya melebihi
dari resiko kehilangan nyawa. Cara pandang dan cara didik yang salah pada guru
dan kemudian dia terapkan pada anak muridnya akan melahirkan generasi-generasi
yang salah juga. Kemudian jika guru tidak mampu mengajar dengan baik dan benar
maka akan banyak anak-anak yang merupakan generasi bangsa ini tenggelam hidup
dalam kebodohan.
Kebodohan,
sejatinya menurut dia lebih menakutkan dari sebuah kematian.
Karena
percuma jika jasad kita bisa bergerak tapi kita hidup dalam kebodohan, seperti
layaknya robot yang walaupun bisa melakukan apapun tapi tetap terikat pada
orang yang mengendalikannya. Hidup seakan mati rasanya. Begitulah yang ada
dipikirannya tentang beratnya tugas seorang guru.
Sebuah
profesi yang menurut dia tidak mudah, karena dia merasa kemampuannya kurang
untuk itu, dan dia juga merasa belum cukup punya bekal untuk berbagi kepada
anak-anak yang kebanyakan menaruh ekspetasi besar akan sosok seorang guru.
Kenapa tidak kau coba
profesi lain selain mengajar ??
Banyak
yang menyarankannya hal seperti itu, tak pernah lupa bagaimana setiap kali
dosen-dosennya memotivasi mereka didalam kelas dengan mengatakan kalau jurusan
ini adalah jurusan yang fleksibel, yang bisa pergi kemanapun kita melangkah
nantinya, tidak terpatok pada satu kata seperti ‘guru’ atau ‘mengajar’
saja.
Tapi
menurutnya, itu terlihat seperti kata tokoh Keenan dalam serial film ‘Perahu kertas’.
Berarti kamu
menjadi diri orang lain dulu, baru kemudian menjadi diri kamu sendiri. –Keenan,
Perahu Kertas.
Banyak
orang-orang yang dia kenal mencoba berpikir realistis, menganggap kalau bekerja
bisa dimana saja tanpa harus terikat pada pendidikan awal yang kita miliki
sebelumnya. Banyak dari orang-orang yang satu ‘perahu’ dengannya dulu ketika sama-sama menuntut ilmu diperkuliahan
dulu yang banting stir kejalan yang sangat berbeda saat masuk dalam kerasnya
persaingan mencari kerja.
Tidak
sedikit dari mereka yang bekerja pada profesi lain yang tidak ada hubungannya
dengan jurusan ini, dan diapun juga pernah ikut serta dalam barisan mereka.
Mencoba peruntungan lain pada profesi yang lebih menjanjikan dalam pandangan
orang-orang. Alasannya sederhana, kita hidup didunia yang realistis dimana
tidak akan bisa dijalani dengan sebuah keyakinan yang kaku. Memang benar akan
hal itu, dan dia mengakuinya. Tapi yang jadi pertanyaannya, kemanakah ilmu yang
kita dapat selama ini.
Ilmu
yang kita timba dengan susah payah dan penuh perjuangan selama bertahun-tahun,
penuh keringat dan air mata. Begitu kita selesai, hanya sedikit bahkan tidak
ada sama sekali yang bisa kita rasakan manfaatnya. Seakan-akan semua yang kita
lakukan selama kuliah tidak menuai hasil selain dari hanya ‘gelar’ yang kita sandang.
Bukankah
kata Tuhan, ilmu yang bermanfaat adalah
salah satu hal yang mampu mengalirkan pahala kepada kita ketika kita sudah mati
nanti.
Sebuah
statement yang menurutnya tidak hanya ilmu yang bisa kita wariskan saja
definisinya, tapi juga ilmu yang bermanfaat pada hidup kita. Dan bagaimana
sebuah ilmu akan dikatakan bermanfaat jika pada akhirnya tidak pernah kita
gunakan lagi dan akhirnya terlupakan karena tidak pernah kita asa sebab kita
sudah pergi meninggalkannya. Pernah dia coba untuk mencoba meniru mereka yang
berpikir realistis, tapi serasa ada yang kurang saat itu. Seakan berkata bahwa
ini bukan jalan yang benar, sehingga dia coba untuk kembali pada jalur yang
benar.
Dia
pernah satu kali menjadi orang lain, masuk kedunia yang salah ini adalah salah
satu bentuk dari bagaimana dia menjelma menjadi diri orang lain dan membuang
jauh-jauh dirinya sendiri. Karena itu dia tidak mau melakukannya lagi dengan
menjadi ‘orang lain’ untuk kedua
kalinya. Setidaknya menurut dia jika belum cukup kemampuannya untuk berbagi
maka membantu dunia pelarian ini adalah hal yang lebih tepat menurutnya,
sebagai bentuk kemampua dirinya mengolah ‘nasi
yang telah menjadi bubur’ itu. Meskipun dia sangat membenci dunia ini.
Gelar
ini seakan sebuah aib bagi dia, yang jika dia pandang bertengger dibelakang
namanya seakan-akan menertawakan bahwa ‘kau
itu lemah, kau tidak mampu melawan dunia sehingga akhirnya kau memilih duniaku’.
Sebab
pernah suatu waktu semesta menyindirnya lewat salah seorang pengajarnya dahulu,
yang mengingatkannya akan mimpinya dimasa lalu.
Kau tak pantas jadi
guru, kau itu pantas menjadi seorang pembicara layaknya orang-orang yang
berpendidikan sosial ilmu politik, bukan seperti layaknya seorang yang belajar
pada ilmu keguruan. Menjelaskan dengan gamblang apa yang ingin kau sampaikan,
tidak seperti itu seorang guru. Seorang guru haruslah mampu menyisakan sedikit
space untuk para muridnya bereksplorasi sendiri menjari jawaban dari
pertanyaan, bukannya membantu menjawab pertanyaan itu. Karena sesungguhnya arti
dari belajar itu adalah proses mencari jawaban dari pertanyaan-pertanyaan yang
keluar.
Begitulah
kata yang sampai sekarang menohok didalam hatinya.
Dia
berpendapat bahwa seorang guru adalah mereka yang bisa sedapat mungkin
mentransferkan pengetahuan yang dia punya kepada murid-muridnya. Sebab mengajar
adalah hal memberi tahu apa yang dia tahu dan bersama mencari dengan para murid
apa yang belum dia tahu, sebab proses belajar juga bisa dilakukan secara
bersama-sama.
Itulah
yang membuat dia benci dan sangat membencinya, sehingga tak pernah sekalipun dia
menampilkannya jika menuliskan namanya layaknya orang-orang yang sangat
menginginkannya. Berbeda jika yang dia dapatkan adalah apa yang benar-benar
menjadi harapannya selama ini sejak dulu, mungkin akan dengan bangga gelar itu
selalu dia sematkan dibelakang namanya.
Sebab
banyak sekali pertanyaan-pertanyaan yang keluar setiap dia mengalami proses
adaptasi dalam dunia baru ini.
Tapi
sekali lagi, nasi sudah menjadi bubur, yang dia lakukan adalah belajar kreatif
untuk menyiasatinya untuk mengolah agar nasi yang telah jadi bubur ini menjadi
hal yang baru yang bisa menutupi dan kekurangan dari semangkok bubur penyesalan.
Magister
Humaniora.
Sebuah
jawaban dari apa yang sudah membuatnya bertanya-tanya apa jalan yang harus dia ambil
selanjutnya, sebuah mimpi baru yang muncul dari sebuah keputus-asaan yang
karena sudah berjalan lama didunia asing yang tidak dia mengerti. Sebuah dunia
baru yang mungkin bisa menyelamatkannya. Sebuah gelar yang dia harap bisa
setidaknya menutup bayang-banyang sebuah gelar yang sangat dia benci benci
karena menggambarkan ketidak berdayaan. Sebuah gelar yang mungkin suatu hari
nanti dengan bangganya dia perlihatkan berbaris rapi dibelakang namanya, dan
setelah itu dia akan merasa cukup untuk bisa berbagi kepada orang lain perihal
ilmu yang dia punya.
Ini
bukan tentang sebuah gelar atau beberapa huruf di belakang nama, tapi ini adalah mimpi. Begitu menurutnya.
Sebuah
harapan baru, yang membuatnya bisa bertahan hidup setelah sejenak sempat serasa
hampir mati karena kekurangan oksigen untuk bernafas sebab hidup didunia yang
berbeda.
Cukup
manusiawi untuk dia bermimpi meskipun kita belum tahu apa yang akan terjadi
didepan, cukup manusiawi pula punya cita-cita meskipun terkadang kenyataan
berbeda jauh dengan harapan.
1%
Itu
adalah persentase dari harapan barunya ini bisa dia capai, sebab dia sadar dia
tidak diberkahi Tuhan kecukupan akan finansial, ini dunia dan dia mencoba untuk
bersikap realistis, sebab menurutnya dunia selain realistis tapi juga
materialistis. Dan dia masih bersyukur sebab dia masih bisa mendapatkan ilmu
dari dunia yang tidak dia inginkan, dia masih bisa mendapatkan pengalaman yang
mungkin kalau dia tidak terdampar ditempat yang baru ini tidak akan pernah dia
dapatkan. Bersyukur adalah caranya untuk merasa bahwa yang dia jalani ini tidak
perlu dia sesali lagi, dan bersyukur adalah cara dia pula untuk menikmati nasi
yang sudah menjadi bubur ini.
Sebab
dia berpikir kalau diluar sana masih banyak orang yang tidak seberuntung dia
meskipun dia sudah dirundung kemalangan. Masih banyak diluar sana orang yang
bermimpi mendapatkan posisinya tapi apa daya tidak bisa mereka dapatkan, dia
bersyukur untuk menghargai orang-orang yang tidak beruntung itu.
Sebab
seperti kata seseorang yang dia lupa namanya, bahwa bahagia itu ada pada hati
yang selalu bersyukur.
Meskipun
realistis tapi kita masih diizinkan untuk bermimpi, sebab hanya bermimpilah hal
gratis yang masih tersisa didunia ini. Begitu yang dia pikirkan.
Mimpi
itu sederhana, tapi sangat luar biasa efeknya.
Dia
harap untuk kali ini, bukan hanya jadi sekedar mimpi yang akan sirna jika kita
tersadar dan bangun, tapi menjadi mimpi yang tetap berlanjut walaupun sudah
terbangun meskipun terdengar mustahil. Agar hidup tidak ada lagi penyesalan,
agar dia tak ada lagi penyesalan dalam hidupnya ini.



0 komentar:
Posting Komentar