Teruntuk kamu,
Tahukah kamu sudah
berapa lama aku menunggu kamu dipersimpangan itu ?? Dan sudah berapa kali aku
berulang-ulang melakukan hal yang sama setiap paginya ?? Sudah tidak terhitung
lagi dalam ayalku karena aku sudah lupa, sebab aku hanya fokus kepada pesona mu
dipagi hari yang merupakan alasanku untuk rela melawan dinginnya air didalam
bak penampungan yang sudah bercampur dengan air embun malam.
Hanya untuk melihat
kamu melintas dihadapanku, walau hanya sekali libat saja. Hanya untuk melihat
wajah manis itu, melihat wajah yang sampai sekarang tidak mampu membuatku bisa
benar-benar yakin uuntuk melupakannya.
Berhenti nafasku dikala
itu.
Saat melihat kau
melintas diperaduan pandangan mataku, wajah itu, mata yang sayu itu, dan
pakaian putih abu-abu itu. walaupun terasa familiar olehku tapi tetap tak bosan
mata ini untuk selalu memandangnya.
Setelah bayanganmu
berlalu dikala pagi yang dingin itu, ingin rasanya aku agar hari ini cepat
berlalu agar aku bisa bertemu dengan pagi dihari esok yang bisa membawaku untuk
bisa sekali lagi melihat kamu seperti hal nya yang kulakukan pada pagi ini,
diawal hari ini, sebagai perawalan hariku, perawalan untuk menatap kesibukanku.
Kamu.
Entah dari mana
datangnya doktrin aneh dalam diriku, yang jika setiap pagi aku tak melihatmu
bisa membuat buruk hariku saat itu. Kau seperti sebuah ritual aneh dalam diriku
untuk mengawali hari, untuk mengawali setiap hari yang aku mulai dengan pagi.
Kau seperti sebuah tarian persembahan kepada Dewi Sri yang dilakukan pada
masyarakat jaman dulu saat akan memulai masa tanam, yang diyakini akan membawa
berkah jika dilakukan dan akan mendapat musibah jika dilalaikan.
Kamu.
Kamu ibaratkan candu
dari segumpal nikotin yang terkandung dalam setiap hisapan asap sebatang rokok
kretek, ringan tapi besar sekali pengaruhnya. Yang jika tak kuisap maka akan
membuat sakit kepalaku, yang jika tak kuisap akan menjadi ‘buntu’ pikiranku dan
aku merasakan tak ada ide-ide serta inovasi dalam setiap akalku jika tak
melihatmu.
Aku sudah tergantung
dengan candumu saat itu.
Tanpa terasa aku sudah
seperti orang aneh yang bergantung pada sebuah kelenik yang kubangun sendiri
pada khayal dan fatamorganaku, padahal aku sendiri adalah orang yang taat yang
tahu akan hal itu adalah hal yang musyrik karena percaya akan selain Tuhanku.
Tapi aku tidak bisa mengingkarinya jika aku sudah tercuci otakku oleh
kepercayaan itu.
Hari-hari ku selalu
berakhir tidak mengenakkan jika aku tak melihatmu tapi jika melihatmu diawal
pagi dan diawal hari aku seperti dikawal oleh sepasang malaikat pembawa
keberuntungan dikedua sisiku. Bahkan kurasa jika pagi ini aku melihatmu dan
siangnya hari kiamat datang, aku merasa akan selamat juga atau setidaknya aku
tidak akan merasakan ketakutan karena sudah melihatmu untuk terakhir kalinya.
Teruntuk
kamu.
Bertahun-tahun sudah
aku memberikan rasa kagumku padamu, dan bertahun-tahun pula aku sudah menyimpan
erat rasa itu didalam hatiku. Kukemas erat dan rapi tersimpan aman didalam
sebuah kota ‘Pandora’ yang kemudian kutenggelamkan didasar hatiku yang paling
dalam dan kemudian kuncinya telah kubuang kedalam sanubariku yang tak mungkin
orang lain bisa menemukannya.
Tidak ada yang tahu
rahasia itu, rahasia hatiku kepada kamu yang bahkan kamu atau orang
disekitarkupun kurasa tak akan pernah tahu itu.
Teruntuk kamu.
Banyak yang ingin
kukatakan kepadamu, tapi saat kita bertemu hilang semua apa yang ingin
kukatakan. Mulutku terkunci rapat erat tak mampu bergerak sedikitpun,
tenggorokkanku seakan kering sehingga jakunku serasa tak bisa naik turun untuk
memompa suara yang ingin kukeluarkan dari mulutku. Bahkan untuk memanggil
namamu pun aku tak mampu dan bahkan untuk memperkenalkan dirikupun aku tak
sampai niat.
Terlalu habis beraniku
jika sudah berada dihadapanmu, padahal untuk bertemu denganmupun aku harus
menghabiskan berjuta-juta joule tenaga untuk mengumpulkan keberanian yang
awalnya tidak ada dan kemudian setelah dikumpulkan bisa terkumpul beberapa
pikul, tapi lenyap seperti debu yang tertiup angin saat kita bertemu muka dan
bertatap mata.
Aku yang terlalu lemah
atau memang kau yang terlalu kuat.
Auramu seperti aura
yang dikeluarkan ketika aku memasuki rumah peribadatan, merinding bulu romaku,
bergetar tubuhku, serta berdetak kencang jantungku kala itu.
‘Oh, apa ini perwujudan
keindahan Sang Maha Kuasa’, kataku dalam hati.
Betapa tidak, selama
bertahun-tahun ini aku hanya bisa memujimu tanpa pernah berani bertemu
denganmu.
Selalu kau kulihat dari
jauh, dari jarak yang kukira cukup aman untuk jantungku agar tidak mengalami
konstraksi yang cukup hebat. Karena aku takut jika terus menerus berada
didekatmu aku akan tidak bisa lagi merasakan dunia ini.
Teruntuk kamu.
Banyak hal yang
mengingatkan ku padamu, lagu ‘Payphone’ dari
‘Maroon V’ misalnya. Yang membuatku merasakan bahwa kita seperti senasib
rasanya.
Aku tahu kita, kau dan
aku, sama-sama menderita oleh jarak. Karena jarak memisahkan kita dengan orang
yang kita cintai. Karena jarak jugalah kita sama-sama merasakan betapa pahitnya
sebuah mencintai dari jauh. Kita seakan-akan berkata ‘ternyata tak tak ada
cinta yang manis’, kita sama-sama pemuja cinta pemuja kesetiaan yang pada
akhirnya tidak begitu berdaya karena jarak.
Berulang kali kita, kau
dan aku jatuh bangun menjaga dan memmugar kembali bangunan yang sudah hancur
dari yang pernah kita buat dengan masing-masing mereka yang tidak tentu
sekarang sedang apa. Berulang kali kita mencoba tapi pada akhirnya sama saja,
terulang juga kejadian yang sama yang pernah terjadi, dan untuk kesekian
kalinya kurasa kita akan berbisik lirih kembali, ‘ternyata tak ada cinta yang
manis, ini sudah yang kesekian kali’.
Teruntuk kamu.
Kamu yang sang pemuja
warna merah indah merona layaknya bibirmu yang indah itu dan layaknya seperti
kedua pipimu yang terkena matahari pagi yang menyinari kota kecil ini, yang
selalu kulihat walau hanya sebentar dipagi hari. Kau suka warna merah katamu,
dan aku sangat menyukai warna putih yang layaknya niat tulus kataku. Kita
bagaikan sang saka yang menjadi per ibaratan dari sebuah keberanian dan
ketulusan serta kesucian.
Kau adalah sang
keberanian itu, orang yang berani tetap mencintai seseorang yang kau anggap
pantas untuk kau cintai meski kau telah jatuh bangun untuk menjaganya. Kau yang
telah berani untuk berkata ‘seakan dialah yang berdiri didepanku nanti dan
menuntunku ketika adzan maghrib telah tiba’. Kau adalah sebuah keberanian itu
menurutku.
Sedangkan aku, aku
hanyalah sang warna putih yang rentan ternoda dengan noda-noda walaupun
disimpan dan dijaga sekalipun. Tapi aku seperti perlambanganku, suci dan tulus.
Suci akan cintaku dan tulus mencintaimu serta mengagumimu walaupun tanpa harus
meminta kau untuk membalasnya, menjawabnya, atau bahkan mengetahuinya.
Aku hanya ingin
mencintaimu, itu niatku.
Aku tidak punya
keinginan untuk mendapatkan balasan atau rasa tahumu, karena bisa mengagumimu
sampai saat ini sudah membuatku mendapat alasan untuk tetap bisa berdekatan
denganmu walaupun kita berbeda stasiun pemberhentian. Kau pilih kota kecil yang
penuh dengan adat budaya dan punya sejarah dimasa jayanya dahulu sedangkan aku
bercita-cita untuk menaklukan kota besar yang sudah lama ingin kutaklukan itu.
Teruntuk kamu.
Sudah banyak yang aku
tumpah ruahkan perasaanku dalam kertas ini, mungkin ini tak bisa membuatmu tahu
tentang apa yang aku rasakan kepadamu. Tapi setidaknya bagiku, sudah membuat
hatiku tenang karena bisa meluapkan apa yang ada dihati ini yang senantia
membuat sesak batin ini.
Karena tidak mungkin
rasanya untuk mengatakannya langsung kepadamu, karena sudah berulang kali
kucoba tapi tetap saja aku tidak bisa mengucapkannya. Seperti orang bodoh
rasanya jika berhadapan denganmu, dan berulang kali hasilnya tetap sama. Sampai
pada akhirnya aku merasa, maka cukuplah diriku untuk mencintaimu dalam hati dan
dalam niat ini. Sebab aku merasa kalau cinta itu ibadah, dan ibadah hanya
tersimpan dalam niat yang hanya ada didalam hati tanpa harus diumbar-umbar
kepada khalayak ramai.
Bengkulu, Akhir bulan Agustus 2015
Dari aku yang sejak dulu senantiasa
memujamu
|
S
|
etelah
sampai dibaris akhir dari tulisannya, tangan dari sang penulis itupun berhenti
seakan menandakan kalau dia telah selesai menulis apa yang ingin dia sampaikan
disecarik kertas berwarna putih berukuran buku diari itu. Kemudian ditutupnya
kembali kalamnya dan ditaruhnya lagi kedalam tempat kalam yang tampak
sekumpulan kalam-kalam dari berbagai merk sama terhadap warna, benar, sang
penulis tetap konstan dan setia terhadap warna hitam sebagai warna tinta untuk
menulisnya. Setelah itu disobeknya kertas yang menjadi wadah tempat dia menulis
tadi dengan hati-hati agar bisa tersobek secara rapi, dan kemudian setelah
tanggal lembaran kertas tersebut dari punggung buku yang entah mungkin buku
diarinya itu dia gulung kertas tersebut hingga menjadi sebuah gulungan kertas
yang panjang dan tergulung kecil.
Kemudian
diambilnya sepotong pita berwarna biru yang memang sudah dipersiapkannya dari
sebelum dia menulis tadi, dan dengan terampil tangannya itu merangkai pita
tersebut menjadi pengikat gulungan kertas berisi tulisan tadi, dan terlihat
rapi sekali. Setelah selesai apa yang dia lakukan, penulis itupun tersenyum
puas dan kemudian tangannya membuka sebuah ruang kecil yang berada dimejanya,
dari dalam ruang kecil itu dia mengeluarkan sebuah toples kaca bening yang berisi
kumpulan kertas-kertas serupa seperti yang telah dia buat saat ini dan
jumlahnya sangat banyak.
Lalu
dia masukkan gulungan kertas yang baru dia buat tadi kedalam toples kaca bening
itu.
‘Seratus
pas’, katanya pelan sambil tersenyum.
Setelah
itu dia tutup kembali toples tersebut dan dia kembalikan lagi ketempatnya
semula didalam ruang kecil dibawah meja tulisnya. Setelah selesai menyimpan
semua itu penulis itupun beranjak pergi dari tempat dia menulis tadi dan keluar
dari ruangan tersebut.
Dia
adalah sang ‘secret admirer’, yang dia tulis itu adalah rahasia terbesar dari
isi hatinya. Seratus lembar curahan hati dari seorang yang mencintai seseorang
dalam diam, yang teguh menyimpan rahasia hatinya dan yang mampu mencintai
seseorang tanpa alasan apapun tapi tidak mampu untuk mengungkapkannya.
Sudah
lama dia melakukan hal ini, menulis apa yang dia rasakan ketika dia bertemu
dengan orang yang dia kagumi tapi tak sampai hati dia untuk mengatakannya.
Lidahnya terlalu kaku untuk berkata, bahkan untuk mengucapkan kata ‘Hai, apa kabarmu ??’.
Sebuah
ironi memang.
Entah
berapa banyak orang yang seperti dia, yang hanya meluapkan apa yang dia rasakan
dalam secarik kertas melalui tinta pena hitam legam. Sudah berapa kertas yang
dia corat-coret untuk meluapkan apa yang sedang dia rasakan.
Banyak
sekali memang kutemui orang seperti dia.
Mereka
yang hanya mampu memandang dengan kagum tapi tak mampu untuk mengatakannya.
Seberat
itukah untuk berkata ??
Mereka
hebat, desahku. Mampu menyimpan apa yang mereka rasakan dan tidak ingin
menyatakannya dalam waktu yang sangat lama. Seakan mereka lebih hebat dari para
rakyat dari negara yang terjajah, yang kuat menahan dijajah sekian lama tanpa
berani menyuarakan pendapat.
Ini
negara bebas menurutku, bebas untuk mempunya rasa cinta, bebas untuk
mengutarakannya, atau bebas pula untuk memendamnya.
Tapi
saranku, jangan memberi sakit hati sendiri hanya karena kita takut untuk
kehilangan atau lebih mementingkan harga diri dari gender kita.
Sebab
banyak mereka yang kutemui rela menyimpan rasa hanya karena perihal takut
kehilangan. Mereka takut bahwa jika mereka berjujur pada apa yang mereka
rasakan, dia yang mendengarkan dan tahu itu akan pergi perlahan menjauhinya.
Tak
layak menurutku kita menjauhi orang yang telah jujur pada perasaannya hanya karena
kita ternyata tidak punya rasa seperti yang dia rasa kepada kita. Setidaknya
jangan pergi, begitu menurutku. Untuk sedikit menghargainya karena telah berani
melawan rasa takut terhebat didalam dirinya.
Banyak
dari mereka yang rela menyimpan rasa didalam hatinya hanya karena hal sepele
menurutku.
Gender,
adalah salah satunya.
Banyak
dari mereka yang berpendapat adalah mencintai adalah hak semua orang tapi
berbeda hal dengan mengungkapkan.
Layaknya
sebuah permainan sepak bola.
Jika
wanita berada diposisi pengatur serangan, maka laki-lakilah yang bertugas
sebagai penyelesai tugas akhirnya dalam mencetak goal.
Banyak
wanita berfikir, kalau wanita itu hanya menunggu dan memberi isyarat sedangkan
lagi-lagi yang menerjemahkan isyarat itu dan membalasnya. Tapi jika lelaki
terlalu bodoh dalam menerjemahkan isyarat itu, maka wanita yang mengeluh
seoalh-olah bahwa apa yang dia lakukan tidak mendapatkan balasan.
Pernah
dalam suatu kesempatan aku bertanya pada beberapa orang wanita yang resah
karena menunggu penyelesaian akhir dari laki-lakinya.
Kenapa tidak kau saja
yang mengatakannya pada lelakimu, mungkin saja dia terlalu bodoh untuk
menerjemahkan isyaratmu.
Begitulah
pertanyaanku.
Kau tahu aku ini
wanita, itu bukan tugasku.
Begitulah
katanya.
Pernah
sempat aku berfikir, sejak kapan tugas para lelaki adalah menyatakan cinta.
Menurutku
mencintai dan dicintai itu adalah hak bagi semua orang, baik itu lelaki ataupun
perempuan. Jadi sebaiknya pula, menyatakan cinta itu juga menjadi tugas
laki-laki dan perempuan juga.
Wanita
dengan sanggarnya mengatakan tentang ‘persamaan
gender’, serta dalam beberapa hal mereka mendesak para laki-laki untuk
mengalah pada mereka dengan sebuah slogan ‘ladies
first’. Tapi kenapa dalam hal menyatakan cinta mereka diam dan hanya berani
membisu.
Menurutku,
jumlah mereka yang sakit hati karena tidak berani menyatakan cinta atau para
secret admirer akan berkurang drastis kalau para wanita mencoba berani untuk
menyatakan cinta lebih dahulu dibandingkan hanya menunggu laki-laki untuk
menerjemahkan isyarat mereka.
Menurutku
juga, akan banyak hati yang terselamatkan dari patah jika banyak wanita yang
berani dan tanpa mempedulikan gender dalam menyatakan cinta.
Sebab
ini cinta, bukan harta karun. Jadi tak perlulah kau pendam dan sembunyikan
segala, dan memberikan sebuah peta yang berteka-teki rumit untuk ditemukan.
Sebab
cinta itu sederhana, dan akan indah bila kita bisa mencintai dan dibalas
dicintai.
Bila
sudah cinta maka ungkapkanlah, tak perlu dipendam didalam hati.
.



0 komentar:
Posting Komentar