Dua
puluh dua tahun, sudah hampir dua puluh tiga tahun dan ini adalah segelas kopi
pertama yang kuhirup dari buatan tanganku sendiri.
Luar
biasa.
Setelah
sekian lama, akhirnya malam ini aku melakukannya.
Memang
hal ini bukanlah hal yang istimewa bagi mereka sang penggila kopi seperi ibuku,
tapi ini akan menjadi sangat istimewa bagiku yang bahkan dalam keadaan apapun
tidak pernah menghirup kopi buatan sendiri.
Selama
ini aku hanya ‘menumpang’ untuk menghirup dari gelas-gelas kopi yang selalu
ibuku seduh tepat pada pukul dua belas siang. Entah kenapa, ibuku selalu saja
membuat kopi pada waktu itu. Setiap hari.
Bahkan
jika sedang dirumah, tanpa melihat jam dindingpun aku sudah tahu kalau saat itu
sudah memasuki tengah hari karena hanya dengan mendengar dentingan suara sendok
teh yang beradu dengan gelas kecil karena ibu mengaduk larutan kopi, gula, dan
air. Dan itu terjadi setiap hari, seperti sebuah kebiasaan.
Ibuku
dan kedelapan saudaranya memang seorang coffee addicted bahkan kakekku, ayah
dari ibuku kabarnya dulu juga seorang coffee adicte, tapi aku sebagai bagian
dari mereka tidak begitu suka dengan kopi.
Aku
mirip ayahku, kata mereka. Karena ayahku memang bukanlah seorang pecandu kopi,
ayahku lebih memilih untuk menghisap gulungan tembakau dibandingkan menghirup
larutan gula dan bubuk hitam yang rasanya pahit itu.
Jika
aku mirip ayahku, kenapa aku tidak ikut menjadi pecandu tembakau ?? Setiap kali
aku berpikir seperti itu jika ada yang berkata dan mencari kemiripanku dengan
ayahku. Layaknya produk gagal dari mereka berdua aku berpikir. Karena aku gagal
mengikuti kebiasaan yang familiar dari mereka berdua.
Kalian
pasti bertanya apa yang bisa membuat orang yang tidak begitu penikmat kopi menjadi
mau untuk menyeduh segelas kopi sendiri ??
Skripsi.
Itulah
jawaban singkatnya.
Sebuah
monster bagi setiap mereka yang berstatus mahasiswa, dan sebuah cobaan Tuhan
yang Dia selipkan pada sebuah revisi dari beberapa orang yang bertitelkan dosen
pembimbing. Itula penyebab aku memecahkan ‘rekor’
hidupku.
Bisa
kalian bayangkan, sebuah kombinasi dari berpikir keras dan duduk berlama-lama
didepan monitor dengan kontras layar berukuran sedang membuat setidaknya
beberapa kali pikiran dan tubuh ini jenuh.
Aku
terbuai, aku terpengaruh oleh sebuah pemikiran yang katanya secangkir air hitam
yang ‘katanya’ diracik dengan
beberapa takar susu dan moca membuat pikiran ini segar kembali dan bisa
berpikir lancar saat lagu-lagu favorit yang berada dalam list pemutar musik
pada personal computer tidak bisa lagi menawar kejenuhan itu.
Akhirnya
malam itu kusobekkanlah sebungkus kopi racikan pabrik yang tersisa dari
simpanan ibuku. Aku memilih untuk menyeduh kopi racikan karena kata ‘sang ahli kopi’ dirumahku kopi hitam
tidak cocok diminum malam hari karena dapat mengganggu syaraf matamu yang
membuat dia seakan tidak ingin dipejamkan walaupun diperintahkan.
Selain
itu aku juga pernah merasakan bagaimana dahsyatnya kekuatan sesendok makan kopi
hitam yang kuhirup diam-diam dengan mencuri hidup dari gelas kopi ibu yang dia
tinggalan diatas meja. Malam harinya badanku tak singkron, tubuh ingin agar aku
segera mengistirahatkan diri dengan bertransfer pikiran dari alam nyata kealam
mimpi, tapi mata tidak mau berkompromi dengan tubuh. Dia tetap ingin terjaga
sampai batas yang tidak aku tahu. Entah ini karena efek coffeephobia aku
menyebutnya, ataukah karena karma yang kudapat karena mencuri sesendok makan
kopi ibu.
Kesan
pertama yang kudapatkan dari secangkir kopi pertama yang kubuat sendiri dalam
hidup adalah nothing.
Tidak
ada kesan apa-apa yang timbul dari segelas perdana ini, layaknya kesan
pertamaku saat pertama kali bertemu dengan seseorang yang kutemui disebuah toko
buku kala itu. Sebuah kesan yang aneh menurutku terhadap sesuatu yang sudah
membuatku candu hingga saat ini kepadanya.
Dia
seperti layaknya kopi, yang sejenak bisa membuatku candu dalam sebuah waktu
yang lama yang sesekali kuseduh dan kuingat dalam pikiranku. Yang mampu
membuatku candu walau hanya sekedar candu dalam menatap saja bukan untuk
memiliki. Layaknya secangkir kopi yang walaupun terasa manis seperti apapun
masih tersisa rasa pahit didalamnya. Sebuah rasa pahit yang tidak bisa
dipisahkan dari rasa manis secangkir kopi, sebuah pahit yang merupakan dari
seni secangkir kopi dan juga merupakan seni dari mencintai dalam sebuah ketidak
mampuan untuk bersuara.
Ah
tak bijak aku menganalogikannya dengan segelas kopi, sebab dia tak sebanding
jika dibandingkan dengan segelas kopi lebih dari segelas kopi.
Kopi
hanya mampu membuatku candu hanya dalam kurun waktu yang singkat, hanya mampu
membuatku tergiur dalam beberapa sela waktu saja, bisa kutinggalkan, dan bisa
kulepaskan karena dia bukan kebutuhan yang menyesakkan bagiku yang bukanlah
seorang pecandu kopi.
Tapi
dia, dia mampu membuatku menjadi candu untuk sepanjang waktuku sejak pertama
kali aku mengenalnya. Dia mampu membuatku menjadi seorang yang gila yang mampu
menahan dinginnya udara pagi untuk bangun dan berkemas agar tidak ketinggalan
saat untuk bisa menatap wajah itu. Sebuah kemampuan untuk sesuatu yang tidak
berkesan apa-apa dalam pandangan pertama.
Dia
lebih dari layaknya segelas kopi, karena dia mampu membuat otakku berfikir
kalau pagi hariku tanpa diawali bertatap muka dengan dia seakan kemalangan
menimpaku.
Dia
memang lebih layak dari segelas kopi. Sebab dia yang mampu membuatku jatuh hati
dalam kurun waktu yang lebih panjang dari canduku pada segelas kopi. Dia
seorang yang mampu membuat pikiran ini terarah kearahnya walaupun aku sedang
melakukan hal yang lain.
Ah,
kusudahi saja perihal membicarakan dia dan kopi. Sebab mau dicari seperti
apapun dia lebih nikmat dibandingkan kopi meskipun pahit.
Aku
akan kembali fokus pada segelas kopi perdanaku yang kuseduh sendiri dimalam
itu. Segelas kopi yang kuseduh untuk mencoba menemani malamku bersama
lembaran-lembaran kertas kejam yang menyiksa pikiranku ini.
Sebenarnya
tidak ada yang menakutkan dari setumpuk kertas revisian skripsi itu menurutku.
Hanya deadline dan target untuk cepat lepas dari belenggu itulah yang membuat
mereka seakan menjerat otak.
Memang,
mau semudah apapun pekerjaan yang kita kerjakan, akan terasa berat jika diberi
tenggat waktu. Walaupun itu hanya membawa senggenggam pasir, tapi jika diberi
patokan waktu dalam membawanya maka akan terasa berat.
Tapi
waktu tenggat sangat berguna menurutku untuk motivasi dan memancing kemampuan
maksimal seseorang.
Sebab
dengan diberi batas waktu kita bisa berusaha melebihi dari apa yang biasa kita
lakukan, dengan sebuah batasan waktu dalam mengerjakan sesuatu kita bisa mengeluarkan
kemampuan terbaik kita lebih dari yang kita duga dan kita sadari selama ini.
Sebab tanpa batas waktu yang menuntut kita bekerja ekstra keras membuat
kemampuan maksimal kita hanya tertidur disuatu tempat yang jauh dan tenang
didalam diri kita, karena ‘dia’
merasa belum diperlukan.
Coba
kalian ingat, siapa yang bisa sangka kalau dalam semalam ‘Bandung bondowos’ bisa membangun 999 candi dalam satu malam, hanya
dengan sebuah syarat yang berbentuk batasan waktu dari ‘Roro Jonggrang’ lah yang mampu membuat sang pangeran mampu
melakukan itu. Betapa hebatnya kekuatan dari sebuah ‘Batas waktu’, karena siapa yang sangka juga ‘Sangkuriang’ mampu membendung sungai citarum dalam waktu semalam
kalau bukan karena batasan waktu.
Bandung bondowoso saja
mampu membuat 999 candi dalam satu malam, masa-kah kita tidak bisa merampungkan
skripsi yang hanya lima bab dalam waktu empat bulan.
Itulah
kata-kata yang kukatakan pada beberapa temanku saat melihat mereka cemas tidak
bisa merampungkan skripsi mereka sampai waktu yang mereka impikan ketika kami
sama-sama menunggu dosen pembimbing untuk melakukan pertemuan empat mata dengan
mereka untuk membicarakan perihal skripsi yang membelit otak ini, layaknya
antrian pasien yang menunggu giliran untuk diperiksa dan didengar keluhannya
oleh dokter. Kami adalah barisan para pasien dan dosen pembimbing adalah
dokternya, sedangkan skripsi, ah skripsi adalah keluhan kami yang ingin kami
konsultasikan kepada ‘Sang Dokter’
dan berharap mereka punya obatnya atau saran-saran agar bisa mengurangi keluhan
ini.
Sebuah
kata-kata yang kureka ulang kedalam versiku sendiri dari kata-kata teman
lamaku. Seorang teman yang hidup dan pikirannya seperti karet, begitu
fleksibel, tapi punya visi dan tujuan hidup yang jelas. Cukup ampuh dan berefek
kulihat bagi beberapa temanku, walaupun ada beberapa dari mereka yang masih
mengeluh dan protes.
Tapi Bandung Bondowoso
punya sekumpulan jin yang senantiasa membantunya memuluskan pekerjaan dalam
memenuhi permintaan Rara Jonggrang. Sedangkan kita ?? Kita tidak punya apa-apa
hanya orang biasa, apa lagi sekumpulan jin untuk membantu kita.
Begitulah
sanggahan mereka sambil setengah mengeluh.
Tapi kita punya otak
yang cerdas, yang mampu berfikir bagaimana caranya untuk membuat seonggok
skripsi ini yang awalnya terlihat berat menjadi terlihat ringan dan begitu
menyenangkan.
Itu
menurutku, terserah mereka ingin menerimanya atau tidak. Tapi setiap kali
mereka mengeluh dan terdengar olehku setiap kali pula kalimat itu aku sindirkan
kepada mereka. Lucu memang, memotivasi orang lain sedangkan diwaktu yang
bersamaan aku juga sedang berjuang pada hal yang sama dengan apa yang membuat
mereka mengeluh.
Hanya
sekedar sebuah pemikiran, ‘apa enaknya
lulus sendiri’ lah yang membuatku dan membuat para teman-temanku saat itu
berusaha saling mendukung. Sebuah ironi memang. Kerja-sama yang terlihat jelas
hanya dimomen yang singkat dan terjadi diakhir. Layaknya seperti kesadaran yang
muncul pada diri ‘Harry Osborn’ pada
film ‘Spiderman 3’ , walaupun muncul diakhir tapi sangat berarti dan menciptakan
kenangan.
Karena
memang selama ini, kebanyakan dari kami hanyut akan sebuah pemikiran tentang ‘Kuliah itu adalah sebuah perlombaan untuk
menentukan siapa yang lebih hebat’, padahal tidak ada sistem rangking
disana. Bagaimana kita bisa tahu kalau kita bisa lebih hebat dari orang lain.
Jikalau index prestasi kumulatif yang menjadi patokannya, ah bisa saja itu
adalah sebuah hasil keberuntungan bukan mengindikasikan kecerdasan seseorang.
Sebab,
pada masa kuliahlah kita akan bertemu dengan masa dimana sorang yang terlihat
pintar dan selalu bekerja keras serta rajin bisa dikalahkan dengan seorang yang
jarang masuk dan tidak begitu paham dalam hal akademis hanya karena dia lebih
memiliki nasib yang beruntung.
Kuliah
dan sekolah itu berbeda. Kalau diibaratkan, sekolah adalah sebuah lingkungan
pedesaan asri, damai, dimana hasil diukur dengan kerja keras. Sedangkan kuliah
adalah perkotaan. Kejam, keras, penuh trik, dan banyak mereka yang bisa menjadi
musuh jika kita terlalu percaya, walaupun tak sedikit juga mereka yang setia
kawan tapi tak nampak oleh kita.
Bagiku,
skripsi adalah bagian terindah dari sebuah fase perkuliahan. Bukan karena dia
berada diakhir tapi karena disana aku melihat sebuah harmonisasi dalam
berteman. Kita tidak lagi dipisahkan oleh sekat kakak tingkat atau adek
tingkat, kalau sudah sampai pada tahap ini maka semua adalah teman, tidak ada
alasan lagi untuk menutup diri karena perbedaan angkatan. Sebab tujuan kita
semua pada tahap itu adalah satu, bisa bersama-sama lepas dari beban itu.
Memang
kita tidak punya pasukan ‘jin’
seperti yang ‘Bandung Bondowoso’miliki
untuk menyelesaikan bab per bab dalam skripsi kita, tapi kita punya sekumpulan
teman yang saling membantu agar kita tidak sendirian dibarisan bangku jurusan
saat menunggu giliran penasbihan gelar akademik ini.
Betapa
indahnya bukan, kalau nama kita bukan hanya terukir dalam selarik ucapan
terima-kasih pada buku skripsi kita saja tapi juga ada pada lembaran ucapan
terima-kasih dibuku skripsi orang lain.
Kalau
kita adalah ‘pasangan’ mereka sudah
kewajaran kalau nama kita disebutkan, walaupun menurutku terlihat norak, karena
jika kita putus nama tersebut masih tertulis dengan ‘lebay’ nya dan juga itu hanya tertulis pada satu buku saja. Tapi jika
nama kita dituliskan karena jasa kita yang telah bahu-membahu membantu mereka
maka nama kita tidak akan tertulis pada satu buku saja tapi banyak buku dari
banyak kepunyaan orang lain. Dan juga tidak ada indikasi kalau kita akan
menyesal jika nantinya telah menuliskan nama mereka yang telah membantu kita
jika suatu hari mereka meninggalkan kita, seperti kita membenci seseorang yang
namanya terukir dilembar ucapan terima kasih yang bergelar ‘My beloved’ yang pada akhirnya bukanlah
orang yang akan mengucapkan ‘nama kita
pada akadnya’ nanti.
Sebuah
pernggambaran jika sudah berteman maka akan jadi teman selamanya, dan tidak ada
istilah mantan teman seperti layaknya istilah mantan kekasih.
Skripsi itu bukan Rara
Jonggrang, jadi tak perlulah kau kutuk segala. Dan bukan pula penderita kusta
yang perlu kau benci tanpa alasan.
Cukup
jalani, saran dosen pembimbing ikuti, revisi, dan temani dengan segelas kopi
bila kau perlukan.



0 komentar:
Posting Komentar