Senin, 01 Agustus 2016

Segelas Kopi Pertama Dalam Hidup, Dia, & Sekumpulan Skripsi

             Dua puluh dua tahun, sudah hampir dua puluh tiga tahun dan ini adalah segelas kopi pertama yang kuhirup dari buatan tanganku sendiri.
Luar biasa.
Setelah sekian lama, akhirnya malam ini aku melakukannya.
Memang hal ini bukanlah hal yang istimewa bagi mereka sang penggila kopi seperi ibuku, tapi ini akan menjadi sangat istimewa bagiku yang bahkan dalam keadaan apapun tidak pernah menghirup kopi buatan sendiri.

Selama ini aku hanya ‘menumpang’ untuk menghirup dari gelas-gelas kopi yang selalu ibuku seduh tepat pada pukul dua belas siang. Entah kenapa, ibuku selalu saja membuat kopi pada waktu itu. Setiap hari.
Bahkan jika sedang dirumah, tanpa melihat jam dindingpun aku sudah tahu kalau saat itu sudah memasuki tengah hari karena hanya dengan mendengar dentingan suara sendok teh yang beradu dengan gelas kecil karena ibu mengaduk larutan kopi, gula, dan air. Dan itu terjadi setiap hari, seperti sebuah kebiasaan.
Ibuku dan kedelapan saudaranya memang seorang coffee addicted bahkan kakekku, ayah dari ibuku kabarnya dulu juga seorang coffee adicte, tapi aku sebagai bagian dari mereka tidak begitu suka dengan kopi.
Aku mirip ayahku, kata mereka. Karena ayahku memang bukanlah seorang pecandu kopi, ayahku lebih memilih untuk menghisap gulungan tembakau dibandingkan menghirup larutan gula dan bubuk hitam yang rasanya pahit itu.
Jika aku mirip ayahku, kenapa aku tidak ikut menjadi pecandu tembakau ?? Setiap kali aku berpikir seperti itu jika ada yang berkata dan mencari kemiripanku dengan ayahku. Layaknya produk gagal dari mereka berdua aku berpikir. Karena aku gagal mengikuti kebiasaan yang familiar dari mereka berdua.
Kalian pasti bertanya apa yang bisa membuat orang yang tidak begitu penikmat kopi menjadi mau untuk menyeduh segelas kopi sendiri ??
Skripsi.
Itulah jawaban singkatnya.
Sebuah monster bagi setiap mereka yang berstatus mahasiswa, dan sebuah cobaan Tuhan yang Dia selipkan pada sebuah revisi dari beberapa orang yang bertitelkan dosen pembimbing. Itula penyebab aku memecahkan ‘rekor’ hidupku.
Bisa kalian bayangkan, sebuah kombinasi dari berpikir keras dan duduk berlama-lama didepan monitor dengan kontras layar berukuran sedang membuat setidaknya beberapa kali pikiran dan tubuh ini jenuh.

Aku terbuai, aku terpengaruh oleh sebuah pemikiran yang katanya secangkir air hitam yang ‘katanya’ diracik dengan beberapa takar susu dan moca membuat pikiran ini segar kembali dan bisa berpikir lancar saat lagu-lagu favorit yang berada dalam list pemutar musik pada personal computer tidak bisa lagi menawar kejenuhan itu.
Akhirnya malam itu kusobekkanlah sebungkus kopi racikan pabrik yang tersisa dari simpanan ibuku. Aku memilih untuk menyeduh kopi racikan karena kata ‘sang ahli kopi’ dirumahku kopi hitam tidak cocok diminum malam hari karena dapat mengganggu syaraf matamu yang membuat dia seakan tidak ingin dipejamkan walaupun diperintahkan.
Selain itu aku juga pernah merasakan bagaimana dahsyatnya kekuatan sesendok makan kopi hitam yang kuhirup diam-diam dengan mencuri hidup dari gelas kopi ibu yang dia tinggalan diatas meja. Malam harinya badanku tak singkron, tubuh ingin agar aku segera mengistirahatkan diri dengan bertransfer pikiran dari alam nyata kealam mimpi, tapi mata tidak mau berkompromi dengan tubuh. Dia tetap ingin terjaga sampai batas yang tidak aku tahu. Entah ini karena efek coffeephobia aku menyebutnya, ataukah karena karma yang kudapat karena mencuri sesendok makan kopi ibu.
Kesan pertama yang kudapatkan dari secangkir kopi pertama yang kubuat sendiri dalam hidup adalah nothing.
Tidak ada kesan apa-apa yang timbul dari segelas perdana ini, layaknya kesan pertamaku saat pertama kali bertemu dengan seseorang yang kutemui disebuah toko buku kala itu. Sebuah kesan yang aneh menurutku terhadap sesuatu yang sudah membuatku candu hingga saat ini kepadanya.

Dia seperti layaknya kopi, yang sejenak bisa membuatku candu dalam sebuah waktu yang lama yang sesekali kuseduh dan kuingat dalam pikiranku. Yang mampu membuatku candu walau hanya sekedar candu dalam menatap saja bukan untuk memiliki. Layaknya secangkir kopi yang walaupun terasa manis seperti apapun masih tersisa rasa pahit didalamnya. Sebuah rasa pahit yang tidak bisa dipisahkan dari rasa manis secangkir kopi, sebuah pahit yang merupakan dari seni secangkir kopi dan juga merupakan seni dari mencintai dalam sebuah ketidak mampuan untuk bersuara.
Ah tak bijak aku menganalogikannya dengan segelas kopi, sebab dia tak sebanding jika dibandingkan dengan segelas kopi lebih dari segelas kopi.
Kopi hanya mampu membuatku candu hanya dalam kurun waktu yang singkat, hanya mampu membuatku tergiur dalam beberapa sela waktu saja, bisa kutinggalkan, dan bisa kulepaskan karena dia bukan kebutuhan yang menyesakkan bagiku yang bukanlah seorang pecandu kopi.
Tapi dia, dia mampu membuatku menjadi candu untuk sepanjang waktuku sejak pertama kali aku mengenalnya. Dia mampu membuatku menjadi seorang yang gila yang mampu menahan dinginnya udara pagi untuk bangun dan berkemas agar tidak ketinggalan saat untuk bisa menatap wajah itu. Sebuah kemampuan untuk sesuatu yang tidak berkesan apa-apa dalam pandangan pertama.
Dia lebih dari layaknya segelas kopi, karena dia mampu membuat otakku berfikir kalau pagi hariku tanpa diawali bertatap muka dengan dia seakan kemalangan menimpaku.
Dia memang lebih layak dari segelas kopi. Sebab dia yang mampu membuatku jatuh hati dalam kurun waktu yang lebih panjang dari canduku pada segelas kopi. Dia seorang yang mampu membuat pikiran ini terarah kearahnya walaupun aku sedang melakukan hal yang lain.
Ah, kusudahi saja perihal membicarakan dia dan kopi. Sebab mau dicari seperti apapun dia lebih nikmat dibandingkan kopi meskipun pahit.
Aku akan kembali fokus pada segelas kopi perdanaku yang kuseduh sendiri dimalam itu. Segelas kopi yang kuseduh untuk mencoba menemani malamku bersama lembaran-lembaran kertas kejam yang menyiksa pikiranku ini.
Sebenarnya tidak ada yang menakutkan dari setumpuk kertas revisian skripsi itu menurutku. Hanya deadline dan target untuk cepat lepas dari belenggu itulah yang membuat mereka seakan menjerat otak.
Memang, mau semudah apapun pekerjaan yang kita kerjakan, akan terasa berat jika diberi tenggat waktu. Walaupun itu hanya membawa senggenggam pasir, tapi jika diberi patokan waktu dalam membawanya maka akan terasa berat.
Tapi waktu tenggat sangat berguna menurutku untuk motivasi dan memancing kemampuan maksimal seseorang.
Sebab dengan diberi batas waktu kita bisa berusaha melebihi dari apa yang biasa kita lakukan, dengan sebuah batasan waktu dalam mengerjakan sesuatu kita bisa mengeluarkan kemampuan terbaik kita lebih dari yang kita duga dan kita sadari selama ini. Sebab tanpa batas waktu yang menuntut kita bekerja ekstra keras membuat kemampuan maksimal kita hanya tertidur disuatu tempat yang jauh dan tenang didalam diri kita, karena ‘dia’ merasa belum diperlukan.
Coba kalian ingat, siapa yang bisa sangka kalau dalam semalam ‘Bandung bondowos’ bisa membangun 999 candi dalam satu malam, hanya dengan sebuah syarat yang berbentuk batasan waktu dari ‘Roro Jonggrang’ lah yang mampu membuat sang pangeran mampu melakukan itu. Betapa hebatnya kekuatan dari sebuah ‘Batas waktu’, karena siapa yang sangka juga ‘Sangkuriang’ mampu membendung sungai citarum dalam waktu semalam kalau bukan karena batasan waktu.
Bandung bondowoso saja mampu membuat 999 candi dalam satu malam, masa-kah kita tidak bisa merampungkan skripsi yang hanya lima bab dalam waktu empat bulan.
Itulah kata-kata yang kukatakan pada beberapa temanku saat melihat mereka cemas tidak bisa merampungkan skripsi mereka sampai waktu yang mereka impikan ketika kami sama-sama menunggu dosen pembimbing untuk melakukan pertemuan empat mata dengan mereka untuk membicarakan perihal skripsi yang membelit otak ini, layaknya antrian pasien yang menunggu giliran untuk diperiksa dan didengar keluhannya oleh dokter. Kami adalah barisan para pasien dan dosen pembimbing adalah dokternya, sedangkan skripsi, ah skripsi adalah keluhan kami yang ingin kami konsultasikan kepada ‘Sang Dokter’ dan berharap mereka punya obatnya atau saran-saran agar bisa mengurangi keluhan ini.
Sebuah kata-kata yang kureka ulang kedalam versiku sendiri dari kata-kata teman lamaku. Seorang teman yang hidup dan pikirannya seperti karet, begitu fleksibel, tapi punya visi dan tujuan hidup yang jelas. Cukup ampuh dan berefek kulihat bagi beberapa temanku, walaupun ada beberapa dari mereka yang masih mengeluh dan protes.
Tapi Bandung Bondowoso punya sekumpulan jin yang senantiasa membantunya memuluskan pekerjaan dalam memenuhi permintaan Rara Jonggrang. Sedangkan kita ?? Kita tidak punya apa-apa hanya orang biasa, apa lagi sekumpulan jin untuk membantu kita.
Begitulah sanggahan mereka sambil setengah mengeluh.
Tapi kita punya otak yang cerdas, yang mampu berfikir bagaimana caranya untuk membuat seonggok skripsi ini yang awalnya terlihat berat menjadi terlihat ringan dan begitu menyenangkan.
Itu menurutku, terserah mereka ingin menerimanya atau tidak. Tapi setiap kali mereka mengeluh dan terdengar olehku setiap kali pula kalimat itu aku sindirkan kepada mereka. Lucu memang, memotivasi orang lain sedangkan diwaktu yang bersamaan aku juga sedang berjuang pada hal yang sama dengan apa yang membuat mereka mengeluh.
Hanya sekedar sebuah pemikiran, ‘apa enaknya lulus sendiri’ lah yang membuatku dan membuat para teman-temanku saat itu berusaha saling mendukung. Sebuah ironi memang. Kerja-sama yang terlihat jelas hanya dimomen yang singkat dan terjadi diakhir. Layaknya seperti kesadaran yang muncul pada diri ‘Harry Osborn’ pada film ‘Spiderman 3, walaupun muncul diakhir tapi sangat berarti dan menciptakan kenangan.
Karena memang selama ini, kebanyakan dari kami hanyut akan sebuah pemikiran tentang ‘Kuliah itu adalah sebuah perlombaan untuk menentukan siapa yang lebih hebat’, padahal tidak ada sistem rangking disana. Bagaimana kita bisa tahu kalau kita bisa lebih hebat dari orang lain. Jikalau index prestasi kumulatif yang menjadi patokannya, ah bisa saja itu adalah sebuah hasil keberuntungan bukan mengindikasikan kecerdasan seseorang.
Sebab, pada masa kuliahlah kita akan bertemu dengan masa dimana sorang yang terlihat pintar dan selalu bekerja keras serta rajin bisa dikalahkan dengan seorang yang jarang masuk dan tidak begitu paham dalam hal akademis hanya karena dia lebih memiliki nasib yang beruntung.
Kuliah dan sekolah itu berbeda. Kalau diibaratkan, sekolah adalah sebuah lingkungan pedesaan asri, damai, dimana hasil diukur dengan kerja keras. Sedangkan kuliah adalah perkotaan. Kejam, keras, penuh trik, dan banyak mereka yang bisa menjadi musuh jika kita terlalu percaya, walaupun tak sedikit juga mereka yang setia kawan tapi tak nampak oleh kita.
Bagiku, skripsi adalah bagian terindah dari sebuah fase perkuliahan. Bukan karena dia berada diakhir tapi karena disana aku melihat sebuah harmonisasi dalam berteman. Kita tidak lagi dipisahkan oleh sekat kakak tingkat atau adek tingkat, kalau sudah sampai pada tahap ini maka semua adalah teman, tidak ada alasan lagi untuk menutup diri karena perbedaan angkatan. Sebab tujuan kita semua pada tahap itu adalah satu, bisa bersama-sama lepas dari beban itu.
Memang kita tidak punya pasukan ‘jin’ seperti yang ‘Bandung Bondowoso’miliki untuk menyelesaikan bab per bab dalam skripsi kita, tapi kita punya sekumpulan teman yang saling membantu agar kita tidak sendirian dibarisan bangku jurusan saat menunggu giliran penasbihan gelar akademik ini.
Betapa indahnya bukan, kalau nama kita bukan hanya terukir dalam selarik ucapan terima-kasih pada buku skripsi kita saja tapi juga ada pada lembaran ucapan terima-kasih dibuku skripsi orang lain.
Kalau kita adalah ‘pasangan’ mereka sudah kewajaran kalau nama kita disebutkan, walaupun menurutku terlihat norak, karena jika kita putus nama tersebut masih tertulis dengan ‘lebay’ nya dan juga itu hanya tertulis pada satu buku saja. Tapi jika nama kita dituliskan karena jasa kita yang telah bahu-membahu membantu mereka maka nama kita tidak akan tertulis pada satu buku saja tapi banyak buku dari banyak kepunyaan orang lain. Dan juga tidak ada indikasi kalau kita akan menyesal jika nantinya telah menuliskan nama mereka yang telah membantu kita jika suatu hari mereka meninggalkan kita, seperti kita membenci seseorang yang namanya terukir dilembar ucapan terima kasih yang bergelar ‘My beloved’ yang pada akhirnya bukanlah orang yang akan mengucapkan ‘nama kita pada akadnya’ nanti.
Sebuah pernggambaran jika sudah berteman maka akan jadi teman selamanya, dan tidak ada istilah mantan teman seperti layaknya istilah mantan kekasih.
Skripsi itu bukan Rara Jonggrang, jadi tak perlulah kau kutuk segala. Dan bukan pula penderita kusta yang perlu kau benci tanpa alasan.

Cukup jalani, saran dosen pembimbing ikuti, revisi, dan temani dengan segelas kopi bila kau perlukan.

0 komentar:

Posting Komentar