Kamis, 04 Agustus 2016

Drossen


Adakalanya kita bosan dan penat dengan kehidupan yang kita jalani, dengan dunia ini, dan dengan segala hiruk-pikuk didalamnya, sampai terasa ingin hati ini sejenak pergi kedimensi lain yang lebih tenang dan bisa menenangkan diri ini.
Terkadang kita mencoba untuk mencari tempat lain yang baru agar rasa bosan itu hilang.
Meskipun dunia ini luas, dan semesta ini tak terhingga sampai kemana ujungnya, tapi kita tak secepat itu menemukan tempat yang menurut hati kita cocok untuk melepas kepenatan yang ada padanya dan pikiran kita. Karena terkadang selalu ada saja hal yang terasa kurang didalam hati.
Ini bukan masalah tempat, ini bukan tentang pantai, gunung, hutan, perkebunan hijau, atau padang rumput yang hijau nan indah, dan bukan pula masalah taman bunga yang penuh dengan warna-warni menggoda hati. Tapi ini tentang rasa dan selera.
Terkadang pula kita telah mencoba untuk mencari tempat untuk berbagi keresahan hati agar bisa lepas semua beban yang ada dipikiran dan perasaan ini dan hilang dengan serta merta. Tapi tetap saja kita selalu merasa ada yang kurang pada tempat itu.
Meskipun manusia didunia ini banyak, ribuan, jutaan, milyaran, atau mungkin bahkan triliunan jumlahnya. Tapi untuk menemukan orang yang cocok agar semua rasa resah ini hilang sangatlah tidak mudah. Sebab kita berhadapan dengan manusia yang sama seperti kita, kepala saja yang sama-sama ditumbuhi oleh rambut tapi isi didalamnya siapa yang tahu apa yang sedang terpikirkan olehnya.
Mencari orang untuk mendengarkan keresahan kita itu mudah, sebab pada dasarnya hampir semua orang ingin mendengar keluhan kita. Bukan karena mereka peduli dan bersedia untuk mendengar, tapi lebih karena dia ingin tahu rahasia kita, ingin tahu perasaan kita yang orang lain bagi mereka. Bukankah, kebanyakan orang lebih menyukai hal yang belum diketahui olehnya dan orang lain.
Begitu dia sudah tahu akan hal yang membuat dia tertarik perhatiannya, maka setelah itu dia akan meninggalkan kita dan tidak mempedulikan apa yang sudah kita kabarkan kepadanya tentang keluhan kita. Dia pergi tanpa memberikan solusi, sedangkan kita sudah memberi semua rahasia kita kepadanya. Tidakkah ini curang.
Setidaknya begitulah sebagian besar tabiat orang.
Mereka peduli bukan karena mereka peduli, tapi mereka peduli hanya untuk menertawakan. Hanya sedikit orang-orang yang benar-benar peduli, mungkin setelah kau menemukan sepuluh orang yang tidak peduli kepadamu barulah kamu menemukan orang yang benar-benar peduli itu.
Aku bukanlah orang yang suka berbagi rahasia kepada orang lain,walaupun itu ayah dan ibuku. Sebab rahasiaku adalah harga diriku menurutku, jika semua orang tahu rahasiaku maka akan semakin kecil harga diri yang aku punya.
Lagipula, aku merasa orang-orang disekitarku hanya ingin tahu rahasiaku saja, hanya ingin masalahku dan setelah itu, setelah dia tahu semua rahasiaku maka dia akan pergi meninggalkanku sebab aku tidak ada lagi cerita yang bisa kubagi bersama mereka, tidak ada lagi rahasia yang bisa kuberitahukan lagi kepada mereka.
Mereka pergi, tanpa meninggalkan pesan atau solusi untuk masalah yang kuceritakan kepada mereka.
Bahkan terkadang untuk mereka yang kejam, mereka tega untuk membagikan ceritaku yang kuceritakan kepada mereka tanpa meminta izin kepadaku lebih dahulu. Tanpa bertanya apakah aku memperbolehkan mereka untuk menceritakannya lagi cerita itu kepada orang lain. Dengan ditambah bumbu-bumbu sedikit yang bahkan kenyaaannya berbeda sekali dengan yang kuceritakan kepada mereka, mereka menceritakannya kepada orang lain.
Agar terlihat seperti drama, mungkin itu maksud mereka. Atau mungkin karena tujuan-tujuan lainnya yang tidak pernah terpikirkan olehku ingin seperti yang dia ceritakan itu.
Maka dari itu aku lebih memilih diam daripada kehilangan teman.
Ya, meski jika aku bercerita kepada mereka dan skenario itu terjadi dia tetaplah temanku. Tapi jika itu terjadi, teman yang selama ini berasa dekat akan terasa menjauh karena problema demikian.
Sebab aku tidak minta didukung ataupun dihujat karena ceritaku, tapi aku hanya ingin didengar dan jika tidak bisa memberi solusi maka jangan dibagikan dengan tambahan berita yang tidak pada kenyataannya.
Sebab kau temanku, bukan musuhku.
****
‘Drossen......’
Hanya pada buku bersampul hitam ini aku percayakan semua keluhanku, keresahanku, dan kebosananku. Keluhan, keresahan, dan kebosananku pada semesta, dunia, orang-orang didalamnya, dan juga pada dia yang telah berulang kali membuatku jatuh dan cinta lagi.
Drossen...
Tak sekalipun dia mengeluh karena mendengar keluhanku, tak sekalipun dia bosan mendengar kebosananku, dan tak sekalipun dia membantah ketika aku ingin menceritakan keresahan hatiku. Dia selalu setia mendengarkan apa yang aku keluhkan, apa yang aku resahkan, dan apa yang menyebabkan aku bosan pada hari ini. Dia diam tanpa membantah, menyela, ataupun balik mengeluh kepadaku. Dia tetap setia mendengarku, kapanpun aku mau, meski terkadang aku lupa waktu. Sebab keluhan, keresahan, dan kebosanan yang aku rasakan datang setiap waktu tanpa mengenal jadwal. Meskipun tengah malam aku ingin mengeluh, dia tetap menemani aku. Meski tengah malam aku resah, dia masih terbangun untukku. Meski tengah malam bosan datang menemuiku, dia bersedia mendengar ceritaku.
Dia sahabat terbaikku, ketika para orang-orang yang kuanggap sahabat pada masa sebelumnya tidak menunjukkan lagi kalau mereka ingin menjadi sahabatku.
Entah karena aku yang telah berubah, atau karena mereka yang kurasa telah perlahan berubah. Aku tidak tahu, dan aku tidak mau tahu. Karena aku tidak ingin mempermasalahkannya, karena aku tidak ingin menghakimi mereka dengan pemikiran dan sudut pandang yang salah. Sebab terkadang sudut pandang itu menyudutkan.
Drossen..
Tak sekalipun dia menyela ceritaku, dan menghakimiku walaupun terkadang aku memang bersalah. Dia memilih dia dan memahami dan itu sudah cukup menurutku. Karena memahami seseorang tidak perlulah dengan kita dengan memperlihatkan bahwa kita seolah-olah peduli kepada mereka dan kepada masalah mereka, jika itu hanya pura-pura saja dan hanya untuk menyenangkan hatinya.
Sebab diam juga bisa berarti kita memahami keadaan yang terjadi. Sebab diam itu emas.
Ya, walaupun terkadang banyak yang beranggapan kalau jika diam itu emas, tapi jika lebih baik berbicara maka beribicaralah karena berbicara itu berlian’.
Aku merasa, tidak se-spontan itu kita bisa memberikan berlian dalam setiap pembicaraan kita. Apa lagi untuk sebuah masalah yang baru kita dengar. Sebab dari yang banyak kulihat, kebanyakan mereka berbicara hanya untuk menunjukkan kalau mereka seolah-olah peduli dan ingin membantu.
Jika ingin membantu, kenapa harus dengan pura-pura ??
Tidak ada yang bisaa diselesaikan dengan pura-pura, sebab sebuah kepura-puraan hanya akan bertahan sejenak dan suatu hari nanti akan menimbulkan masalah yang merupakan rentetan dari kepura-puraan kita.
Drossen..
Dia tidak pernah berpura-pura, oleh karena itu dia hanya setia dalam diamnya untuk mendengarkan apa yang aku keluhkan, apa yang aku rasakan, dan apa yang menjadi pusat kebosananku.
Sebab itulah yang aku cari.
Aku bercerita tidak untuk ditanggapi ceritaku, dan tidak pula untuk dibagikan kepada orang-orang yang tidak tahu siapa aku yang merupakan sumber dari cerita itu. Sebab aku ini bukanlah seorang pekerja marketing yang butuh pemasaran yang luas agar apa yang kuceritakan diketahui oleh banyak orang, dan aku bercerita tidak pula untuk dibalas. Aku hanya sekedar untuk menumpahkan rasa sesak yang membuat sempit hulu hati ku ini dan seakan menutup paru-paru didada ini.
Aku merasa jika aku menceritakan ini kapada yang lain maka akan tumpahlah semua rasa itu, seakan-akan seperti orang yang selama ini dibekap dan baru menghirup gas oksigen yang melayang tersebar diudara sekitarnya. Tapi aku bukan karena aku telah bercerita maka kau sekendak hati menceritakan ulang cerita ini kepada orang lain dengan seenak hati, dan aku juga tidak ingin kau tertarik pada keresahanku hanya karena kau ingin tahu rahasiaku.
Aku ingin kau mendengarkanku saja tanpa ada tujuan apapun. Sebab yang punya tujuan untuk bercerita itu adalah aku, dan kuharap kau mendengarkannya saja.
Kukira akan susah untuk menemukan mereka yang seperti itu, yang ingin mendengarkan keluhan ini, yang ingin mendengarkan keresahan ini, dan yang mengerti kemudian mendengar kebosananku ini, tanpa harus takut kalau akan didengar orang lain yang tak ingin aku mereka dengar, tanpa harus takut dan berpikiran jelek kalau mereka hanya ingin tahu rahasiaku saja.
Drossen..
Dialah yang kuharapkan selama ini.
Dialah yang aku cari selama ini, kala aku merasa resah, dan bosan. Dialah tempat aku membagi semuanya. Dia adalah sahabat bisuku yang setia.
Dia datang kalau aku merasa kebingungan sementara resah dan bosan sesak memenuhi hati dan pikiran ini. Dia jalan keluar dari masalahku ini.
Dia sangat kupercaya, sebab hanya kepada dialah aku menyerahkan semua daftar rahasia dalam diriku. Mulai dari yang paling absurd sampai keapada hal yang sangat serius. Dia saksi bisu tentang bagaiamana perasaan hati ini yang berung kali jatuh dan kemudian cinta pada wanita yang sama berkali-kali, dan dia jugalah saksi bisu bagaimana perasaan hati ini ketika mendapati bahwa diri ini berpisah pada orang itu.
Drossen..
Dialah saksi bisu, bagaimana perasaan hati ini dihari-hari yang dirasa hati ini terasa bahagia.
Sebab aku tidak ingin membagikan hal yang buruk saja kepadanya, sebab aku tidak ingin membagikan keresahanku saja kepadanya, sebab aku tidak ingin datang mengeluh saja kepadanya, dan sebab aku juga tidak ingin datang kepadanya hanya ketika aku bosan kepada dunia saja. Dan ketika aku bahagia, ketika aku tidak sedang resah, ketika aku tidak ingin mengeluh, dan ketika aku tidak merasakan bosan kepada dunia, aku melupakannya. Meninggalkannya didalam laci meja belajarku.
Aku tidak seperti itu.
Aku tidak sejahat itu kepada dia yang sudah kuanggap sebagai sahabat terbaikku.
Dia adalah tempat semua rahasia dan perasaanku, aku ungkapkan. Bahkan dalam keadaan aku berbahagiapun aku selalu membagikan dengannya, aku tidak akan melupakannya, semua kubagikan padanya. Aku tidak akan menjauhinya hanya karena kebahagiaan yang kudapat pada hari ini, seperti orang-orang yang ketika sedang kesusahan dalam dirinya memanggil teman tapi begitu sudah merasa tidak membutuhkan bantuan lagi dia melupakan teman.
Aku ingin menjadi seorang seperti itu.
Sebab aku tahu benar bagaimana rasanya diperlakukan seperti itu.
Dear drossen.
Hari ini aku tidak ingin bercerita apapun kepadamu, baik itu tentang keresahan, kebosanan, ataupun kebahagiaan yang kudapat hari ini. Aku hanya ingin bercengkrama denganmu saja, agar kau tahu bagaimana perasaanku terhadapmu, bagaimana aku telah mempercayaimu dan menganggapmu melebihi mereka yang kuanggap teman diluar sana.
Dan terakhir kataku padamu.
Jangan pernah bosan untuk mendengar ceritaku, meski kau telah letih dengan itu.
Disudahinyalah tulisannya malam itu dibeberapa lembar buku catatan bersampul hitam miliknya, sepenggal kalimat terakhir yang menjadi kalimat penutup itupun mengakhiri ceritanya kepada sang ‘Drossen’, tempat dia selama ini melarikan diri dari apa yang sedang dia rasakan disetiap waktu diakhir hari dalam perenungannya.
Ini adalah ‘Drossen’, tempat pelarian dirinya dari semua kepenatan dan apa yang sedang dia rasakan. Dia merasa seakan-akan menemukan kebebasan untuk bernafas dan berbicara tentang apa yang sedang dia rasakan tanpa harus takut akan hujatan, cemo’ohan, kemarahan orang, ataupun hal-hal lain yang kiranya akan membuat dirinya berkonflik pada diri orang lain.
Disini dia merasa menjadi diri sendiri, tanpa perlu berpura-pura menjadi orang lain dan tanpa perlu pula takut ada yang mengganggunya.
Ini adalah dunianya, setidaknya seperti itulah yang ada dalam pikirannya dan setidaknya seperti itulah dia merasa. Semua yang dia rasakan dia keluarkan disana, dia teriak, dia marah, dia mencaci, bahkan dia menangis, dan tertawa bahagiapun dia lakukan disana.
Ini adalah fantasinya, sebuah alam fatamorgana yang dia ciptakan dari sebuah buku bersampul hitam yang dia dapatkan ketika ulang tahunnya beberapa tahun yang lalu. Sampul kelam yang gelap, cocok untuk sebuah tempat bagi orang yang ingi melarikan diri dari hal yang mengejarnya.
Layaknya tempat yang gelap, seperti kegelapan kota Paris dimana para pelarian menemukan kenyamanan dan keamanan dari yang mengejar mereka disana. Walaupun tak banyak dari para pelarian itu yang merindukan rumah mereka sendiri dan dunia mereka sebelumnya.
Drossen, keindahan yang menyelubungi kegelapan. Atau lebih tepatnya kabut hitam yang dilingkupi dan dilapisi dengan keindahan. Menggambarkan dua sisi kepribadian sang pemiliknya. Yang tertawa keras layaknya komedian didepan layar tapi menangis sendu sedih ketika layar perlahan diturunkan dan penonton tak lagi bisa melihat wajahnya.
Sebuah hal yang ironis jika kita bisa membacanya.
Layaknya kita sedang dihadapkan pada sang Dokter Hidden Jeckyll, yang suatu saat menjadi orang yang bersahaja dan baik hati, tapi dilain waktu menjadi orang yang liar dan seakan didunia ini tidak ada yang bisa membendungnya, tak ada yang bisa memagari dirinya.
Potret dari kenyataan bahwa dunia ini tidak seperti apa yang kita lihat, bahwa dunia ini tidak bisa dinilai dengan satu sudut pandang saja. Perlu banyak sudut pandang untuk menilai dunia, atau mungkin jika ingin menilai dunia kita tidak bisa memakai sudut pandang. Sebab dunia ini bulat tak bersudut, maka dari itu sudut pandang tak bekerja untuk menilai dunia. Layaknya semesta yang tak berujung, yang tidak bisa terka apa yang ada ada didalamnya.
Seperti itulah ketika menilai seseorang.
Tidak hanya sekedar butuh referensi untuk menilai seseorang, bahkan apalagi referensi dengan menggunakan sumbar dari ‘kata orang’. Sebab jika kita sudah berani menilai seseorang, maka itu artinya kita sudah berani berkomentar pada sang penciptanya dan sudah berani berhadapan dengan apa yang akan kita terima dari sang penciptanya.
Seperti layaknya kita menilai dengan sesuka hati tanpa pertimbangan yang jelas dan masuk diakal sebuah karya seni seseorang didepan sang penciptanya. Mungkin apa yang kita nilai itu akan diterima oleh sang pencitptanya jika itu bersifat membangun, tapi jika hujatan yang kita sampaikan ?? Apakah kita sudah siap dengan reaksi dari sang pencipta mahakarya itu.
Disisipkannya kalam alat penulis tadi pada sebuah kaitan kecil disampul ‘Drossen’, dan setelah itu ditutupnya ‘Drossen’.
Hari sudah malam, dia sudah lelah. Apa yang dia rasakan sudah dia ceritakan pada ‘Drossen’, tidak ada hal lain lagi yang dia ingin lakukan pada malam itu. Sudah saatnya bagi dia untuk memejamkan mata dan sejenak mengistirahatkan diri yang sejak dari pagi tadi sudah setia membawanya berjalan, berkelana, melanglang buana menembus hiruknya kehidupan dunia.

Dunia mimpi sudah menunggunya untuk tidak sabar memintanya untuk dijelajahi.

Hai, selamat pagi.. Apa kabarmu ??.
Kata seorang laki-laki berpakaian rapi dengan jas, dalaman kemeja putih, lengkap dengan dasi berwarnah merah yang panjang menjuntai. Sedangkan bawahannya, ah, layaknya seorang eksekutif muda dia memadukan celana dasar hitam berbahan licin dan sepatu kulit yang bermerk.
Laki-laki muda itu berbicara menghadap pada cermin kamar tidurnya.

Rambutnya klimis rapi dan tampaknya baru dipotong, entah kemarin sore atau kemarin siang. Tapi yang jelas tidak lama sebelum hari ini.
Oh, ya, hari ini tanggal satu januari kan ?? kau ingat hari apa ini ??
Laki-laki muda itu berdiam sejenak seakan-akan menunggukan jawaban dari apa yang dia tanyakan didepan cerminnya.
Apa ??
Kata laki-laki muda ini lagi, sembari mendekatkan telinganya kearah cerminnya. Seakan-akan mencoba mendengarkan jawaban dari pertanyaan yang dia ajukan kepada sang cermin.
Bukan, maksudku iya hari ini adalah Tahun Baru. Tapi maksudku bukan itu maksudku. Coba kau ingat-ingat lagi hari apa ini, aku akan bersabar menunggu jawabanmu.
Kata laki-laki muda ini mengulangi seperti seorang yang sedang menunggu sebuah jawaban.
Oke, oke jika kamu benar-benar tidak tahu dan menyerah, akan kuberitahu hari apa ini. Ini hari yang spesial, bahkan sangat-sangat spesial bagimu, eh tidak bagi kita berdua maksudku.
Apa kau sudah ingat hari apa ini ?? Coba katakan padaku, kalau begitu, beri tahu aku hari apa ini dan buktikan kalau kau benar-benar sudah mengingatnya.
Kata laki-laki muda ini lagi.
Hahahahaha............. akhirnya kau ingat juga ternyata. Benar.. kau benar.. apa yang kau katakan itu benar semua.
Kalau begitu, aku ucapkan selamat ulang tahun yang ke tujuh belas padamu.
Sambil tersenyum sumringah laki-laki muda ini mengeluarkan sekotak kecil bingkisan yang sudah dibalut rapi dengan kertas kado berwarna biru muda dan dihiasi oleh pita berwarna putih.
Ini hadiah untukmu, maaf tidak ada kue kali ini,maaf juga tidak ada lilin yang bisa kau tiup. Tapi aku berdo’a agar kau sehat selalu, agar kau bahagia setiap saat, agar kau sentosa dan makmur, agar setiap keinginanmu tercapai dan terkabulkan, agar semua do’amu terwujud, agar kau bisa berulang tahun lagi tahun depan.
Kembali laki-laki muda ini tersenyum sambil meletakkan hadiah yang dia pegang dan ingin dia berikan itu kemeja didekat cermin tempat dia sedang bercakap-cakap sendiri.
Tujuh belas tahun sudah kau sekarang, cepat sekali terasa waktu berlalu. Padahal baru kemarin seingatku kau masuk Sekolah Dasar, masih teringat jelas dipelupuk mataku moment itu. Saat dimana kau sendirian melangkahkan kaki kecilmu melewati gerbang sekolah pertamamu dan masuk kedalam perkarangan sekolah itu, kau melihat disekelilingmu bagaimana teman-teman barumu datang dengan bersama orang tua mereka yang mengantarkan mereka dihari pertama mereka masuk sekolah. Hanya kau sendiri yang berjalan tanpa ditemani ayah dan ibumu, kau berjalan perlahan tanpa ada sedikitpun keraguan disana dan tak ada sedikitpun rasa ingin dalam hatimu untuk seperti mereka para teman-temanmu yang ditemani kedua orang tua mereka.
Mungkin kau tidak tahu tentang itu sebab kau masih kecil saat itu, bahkan sangat kecil untuk memahami semua itu, atau mungkin kau memang tak mau tahu akan hal itu, seperti layaknya sifatmu sekarang, sifat yang kau dapat dari warisan ayahmu. Yang tidak pernah mempedulikan apa kata orang tentang hidup yang dia jalani dan tetap pada pendiriannya untuk menjalani hidup yang sudah menjadi hak miliknya sejak dia lahir.
Masih jelas terlihat dipelupuk mataku, bagaimana kenangan tentangmu dahulu. Bagaimana kau berlari dan bermain menghabiskan masa kecilmu, dimana kau merasakan kebahagian ketika saat disekolah dan dikelilingi oleh teman-teman yang kau cintai tapi kemudian kau merasa sepi dan hening seketika kau kembali tiba dirumahmu yang kosong dan tidak ada siapa-siapa.
Tapi kau tetap tak mau ambil pusing.
Kau tetap tertawa disaat kau bisa tertawa, tapi kau berusaha menahan tangis sedih dan deraian air mata sekuat tenaga ketika kau sedang sendiri dan hanya berkawan dengan bayanganmu yang setiap sejak kau lahir.
Masih teringat dalam kenanganku, bagaiamana kau mencemaskan hari. Dari semua waktu yang kau jalani, yang paling kau cemaskan adalah tat kala senja dan malam hari. Sebab disaat itulah kau merasakan neraka yang bernama kesepian, kau benar-benar merasakan bagaimana menyedihkannya hidupmu, bagaimana menyedihkannya hidup seorang diri ditengah remang-remangnya cahaya senja dan gelapnya malam yang kau jalani setiap hari.
Masih teringat jelas dalam ingatanku, kala kau begitu bersemangat menyambut datangnya pagi, menyambut sinar mentari yang kebanyakan orang enggan untuk menyapanya. Tapi kau, kau selalu menyapa sang mentari.
Seolah-olah mentari adalah sahabat yang sangat kau inginkan kedatangannya dan selalu kau tunggu kemunculannya.
Sebab hanya mentari dan pagi hari yang menandakan habisnya penderitaan kesepianmu itu.
Mentari dan pagi hari seperti layaknya isyarat hilangnya rasa kesepian yang kau rasakan sepanjang malam, layaknya sebuah harapan diantara keputus asaan. Kau selalu bersemangat menyambut awal hari selayaknya seorang musafir yang begitu bergembira ketika melihat oase ditengah padang pasir yang luas.
Masih kuingat tentangmu, tentang kau yang sangat membenci akhir pekan.
Tidak seperti mereka yang begitu merindukannya, kau malah sebaliknya sangat membenci akhir pekan. Sebab saat itulah kau merasakan bahwa kau benar-benar sendiri hidup didunia ini tidak ada yang lain. Satu hari dalam akhir pekan itu sama seperti satu milenium yang kau rasakan, begitu lamanya kau rasakan. Kau sangat tidak sabar agar akhir pekan itu berakhir, semata agar kau bisa bertemu dengan teman-temanmu dan bermain kembali dengan mereka.
Tujuh belas tahun kau kini.
Sudah banyak perubahan yang terjadi pada dirimu.
Coba lihat kau bertambah tinggi sekarang.
Kata laki-laki muda ini sambil meletakkan telapak tangannya diatas kepalanya seperti sedang mengukur tinggi badannya.
Padahal baru sebentar aku merasa kau setinggi ini.
Katanya lagi sambil meletakkan tangannya lagi dibawah pinggulnya.
Tinggimu dulu hanya segini perasaanku, tidak lebih tinggi dari pinggang ini. Tapi coba lihat kau sekarang, kau sudah tambah besar rupanya. Sudah tambah dewasa tampaknya. Sudah bisa tampaknya tangan kananmu menyentuh telinga kirimu seperti yang sering kau coba lakukan ketika kau masih kecil. Saat itu kau masih bersusah payah melakukannya dan tak kunjung bisa, tapi sekarang kau sudah mampu tanpa harus bersusah payah.
Katanya sambil menyentuh telinga kirinya dengan tangan kanannya dari belakang kepalannya.
Sudah besar ternyata kau sekarang.
Sudah bisa tampaknya tanganmu meraih kayu ventilasi pintu kamar tidurmu. Kuingat jelas saat itu, kau bersusah payah meloncat untuk menggapai ventilasi pada kusein pintu kamarmu tapi tak kunjung jua berhasil.
Ah lihatlah itu, garis-garis yang kau buat dari kapur berwarna-warni yang kau ambi dari sisa-sisa gurumu menuliskan pelajaran dikelas ketika kau masih disekolah dasar dahulu. Garis-garis yang kau buat dikusein pintu untuk mengukur perkembangan tinggi badanmu, setiap saat selalu bertambah kulihat. Seakan menunjukkan kalau kau juga berkembang dan tumbuh besar serta dewasa.
Sudah besar kau rupanya, sudah ingin lulus kau dari sekolah menengah atas mu. Tampaknya sudah semakin dekat kau dengan cita-citamu untuk menjadi seorang teknisi seperti ayahmu, cita-cita yang kau dapat inspirasinya ketika kau mengingat sedikit dari sejemput ingatan dimemorimu yang tersisa tentang kedua orang tuamu.
Karena hanya memang cita-cita yang kau inspirasinya kau dapat dari merekala yang tersisa tentang mereka dan tertinggal diingatanmu. Sebab selain itu tidak ada yang tersisa sama sekali.
Kau tidak pernah bisa mengingat bagaimana indahnya senyum mereka, tidak pernah terbayang sama sekali olehmu. Karena memang jangankan untuk membayangkannya, untuk mengingatnya saja kau tidak bisa. Sebab kau melihat senyum mereka ketika otakmu belum mampu mengingat tentang kenangan itu.
Kau tidak pernah bisa mengingat bagaimana hangatnya berada didalam dekapan mereka. Sebab saat itu tubuhmu terlalu kecil untuk merasakan dekapan itu, dekapan yang mungkin terasa menghangatkan jika dapat kau mengingatnya. Dekapan yang mungkin bisa mengalahkan hangatnya selimut terbaik yang ada didunia sekalipun, atau bahkan mampu mengalahkan hangatnya api unggun yang kau buat saat perkemahan pramuka dahulu.
Yang tersisa dari mereka berdua hanya selembar kertas pernghargaan yang mereka dapatkan dahulu, selebihnya tidak ada yang tersisa.
Kau sudah dewasa sekarang, sudah tujuh belas tahun umurmu.
Sudah bisa kau mendapatkan surat izin mengemudi untuk kendaraan yang sering kau kendarakan secara sembunyi-sembunyi karena memang saat itu belum cukup umurmu untuk mengendarainya. Kendaraan yang konon katanya dahulu selalu ayahmu pakai untuk membawa ibumu dibelakangnya.
Tujuh belas tahun.
Sudah bisa rasanya jika tahun depan untuk kau bisa ikut mencelupkan jari kelingkingmu seperti yang orang-orang dewasa lain lakukan ketika lima tahun sekali. Tidak perlu kau mencuri-curi untuk mencelupkan kelingkingmu lagi ketika Pak Hansip lengah saat sedang menjaga tinta itu hanya untuk menunjukkan kepada orang-orang bahwa kau sudah dewasa, padahal semua orang tahu saat itu bahwa kau hanya mencuri-curi saja saat itu.
Selamat ulang tahun untukmu.
Sudah bertambah saja umurmu sekarang.
Kau yang dahulu, selalu merasa kesepian sekarang sudah mempunyai banyak teman ternyata. Mereka yang kau anggap saudara olehmu yang hidup tanpa saudara didunia ini, yang hidup dengan kesepian yang menyakitkan.
Bagaimana kuingat dahulu, kau selalu mencari-cari orang agar ingin berteman denganmu. Bagaimana kuingat dahulu, kau bersusah payah mengumpulkan teman agar hidupmu tidak sendiri lagi. Setelah kau kumpulkan dan kau mendapatkan mereka yang kau anggap teman dan juga menganggapmu teman, kau jaga mereka agar tidak pergi dari sisimu dikemudian hari. Sebab kau merasa merekalah yang kau punya sekarang, sebab kau pikir bahwa itulah keluargamu sekarang menggantikan mereka yang telah hilang darimu sejak lama dan membuatmu merasakan kesepian.
Selamat ulang tahun padamu.
Mudah-mudahan tahun depan aku bisa mengucapkannya lagi untukmu. Dan mudah-mudahan tahun depan akan lebih banyak lagi yang mengucapkan kata ‘selamat ulang tahun padamu’.
Ayah ibumu pasti akan bangga denganmu, mungkin diatas sana mereka sedang mengucapkan kata ‘selamat ulang tahun’ padamu. Tapi sayang jarak mereka dan kau sangatlah jauh, sudah kencang mereka teriak tapi tak mampu juga suara teriakan itu sampai ketelingamu. Sehingga tak pernah bisa kau dengar teriakan dan ucapan ‘selamat ulang tahun’ dari mereka untukmu.
Tapi aku bisa mendengarkannya.
Coba kau pejamkan matamu barang sejenak, bawa dirimu dan perasaanmu kedalam seuah keheningan dan kesunyian sejenak. Samar-samar kau bisa melihat wajah mereka berdua. Lapat-lapat kau dapat mendengar sayup-sayup mereka mengucapkan ‘selamat ulang tahun anakku, ayah dan ibumu sangat mencintaimu’.
Memerah mata laki-laki muda itu, diujung matanya sudah tampak air mata yang terus-menerus mendesak ingin keluar tapi sedapat mungkin ingin dia tahan. Bergetar bibirnya menahan perasaan yang entah kenapa tiba-tiba datang itu. Tangan kirinya memegang dadanya, ada perasaan sakit yang menusuk didadanya, seakan-akan jantungnya tertusuk-tusuk oleh tombak yang tajam berulang-ulang.
Apakah kau dengar ayah ibumu berkata kalau dia sayang kamu, dia berdo’a untukmu. Bilanglah juga pada mereka kalau kau juga sayang mereka, bilanglah juga kalau kau sayang mereka, bilanglah juga kalau kau ingin bertemu dengan mereka, ingin bersama mereka, dan ingin berkumpul dengan mereka lagi seperti yang dapat kau ingat dahulu. Tapi bilanglah juga kalau saat ini kau belum bisa berkumpul dengan mereka, sebab kau masih punya banyak hal yang harus kau lakukan didunia ini. Kau masih punya banyak hal yang harus kau lakukan untuk membuat mereka bangga, dan nanti jika sudah saatnya kau bertemu dengan mereka berdua. Kau akan punya banyak cerita yang akan kau ceritakan kepada mereka.
Kau akan punya banyak cerita yang akan kau ceritakan yang nanti akan membuat mereka berkata, ‘kau memang anak kami, memang kebanggaan kami’. Sambil tersenyum mereka mendengarkan kisah keperkasaanmu nanti, kisah keperkasaanmu yang bagaimana hebatnya dirimu bertahan hidup sendiri tanpa mereka berdua disisimu, bagaimana hebatnya dirimu bertahan seorang diri melawan kesepian saat senja dan kesunyian saat malam tiba.
Jika saat itu tiba nanti, bisalah kau minta pada ibu untuk menyanyikan lagu ‘nina bobo’ yang acap kali kau nyanyikan sendiri ketika kau akan tidur karena memang tidak ada yang bisa dan mau menyanyikannya untukmu.
Teringat olehku bagaimana kau terpulas setelah berulang-ulang menyanyikan lagu itu sebelum kau tidur. Entah kau telah lelah menyanyikannya, entah kau lelah karena dunia yang kau jalani sendiri sepanjang hari itu, tidak ada yang tahu penyebabnya.
Kembali berhenti sejenak laki-laki muda ini, dan sekarang air mata yang sejak tadi ingin keluar tak dapat dia tahan lagi. Tak terbendung air mata mengalir keluar dari kedua sudut matanya. Cepat-cepat tangannya ditutupkannya kematanya untuk menyembunyikan kedua matanya dari pandangan cermin itu, seolah-olah sedang menyembunyikan kesedihannya yang sebenarnya tidak bisa dia sembunyikan lagi.
Terdengar jelas suara terisak tangis yang keluar dari bibirnya dan berpadu ketika dia hendak menarik nafas.
Aku berharap, tahun depan akan ada orang lain yang mengucapkan selamat kepadamu, aku sangat berharap, dan sangat menantikannya hari itu tiba.
Kau seharusnya bisa membiarkan orang lain mengucapkan ucapan selamat itu, tak perlu kau tutupi segala kesedihanmu itu. Aku tahu kau tidak ingin menunjukkan kerapuhanmu didepan teman-temanmu, tapi apa guna kau mengumpulkan teman yang kau anggap keluarga itu jika masih ada yang kau sembunyikan dari mereka.
Karena layaknya tawamu, kesedihanmu juga patut kau bagi kepada mereka. Entah mereka ingin menerimanya atau tidak tapi setidaknya kau sudah membagikannya.
Aku berharap ini adalah ucapan terakhir yang ku ucapkan padamu, karena aku berharap kau bisa dikesempatan yang akan datang kau sudi untuk membuka hatimu dan kesedihanmu itu untuk kau bagi kepada mereka.
Selamat ulang tahun untukmu, dari aku kepadamu.
Setelah itu laki-laki mudah itu berbalik dari cermin dengan salah satu tangannya masih menutupi kedua matanya yang sekarang tak henti-hentinya mengeluarkan air mata. Bibir bawahnya dia gigit sekuat-kuatnya, berusaha agar tidak terdengar suara terisak dari mulutnya.
Ya, ucapan yang dia ucapkan itu bukan untuk orang lain. Tapi untuk dia sendiri.

Dia, seorang laki-laki yang sejak kecil senantiasa selalu kesepian, tidak ada teman, tidak ada saudara, tidak berbapak dan tidak beribu. Orang yang kala dikeramaian tertawa terbahak-bahak tapi jika surut kebelakang layar menangis terisak-isak tatkala mengingat kepedihan yang dia rasakan semasa hidupnya.
Sudah tujuh belas tahun umurnya, setidaknya kalau tak salah dia menghitung sudah dua belas tahun dia tidak mendapatkan ucapan selamat ulang tahun dari siapapun. Tidak dari teman-temannya, tidak dari saudaranya, ataupun dari kedua orang tuanya.
Ayah dan ibunya pergi meninggalkan dia jauh sejak dia kecil tanpa bisa menyaksikan tumbuh kembangnya dan tanpa bisa pula melihat kesuksesannya kelak. Sepeninggal ayah dan ibunya tiga tahun dia diasuh oleh neneknya yang sudah renta. Yang bahkan sering lupa dengan apa yang terucap dari mulutnya sendiri. Pernah suatu ketika dia bertanya tentang berapa jumlah raka’at pada sholat subuh, sang nenek menjawab empat raka’at, karena beliau sudah lupa dan tidak begitu jelas mendengar lagi apa yang dia tanyakan. Dan baru dikemudian hari ketika ditanya lagi hal yang sama untuk kedua kalinya sang nenek baru menjawab dengan benar, dan tidak menyadari kalau sebelumnya sudah salah memberikan jawaban.
Hanya tiga tahun dia diasuh oleh sang nenek, selebihnya dia menjalani kehidupannya sendiri.
Dia anak malang tak beribu, tak bersaudara, dan tak berkeluarga. Sudah kerih badannya mengumpulkan teman yang baik kepadanya, tapi dia masih ragu untuk berbagi kesedihan dengan mereka. Itulah sebabnya, selama dua belas tahun dia berulang tahun dia selalu menghadap cermin untuk mengucapkan ucapan selamat ulang tahun kepada dirinya sendiri.
Memberikan do’a kepada dirinya sendiri, dan memberikan harapan yang baik kepada dirinya sendiri. Sebab dia berpendapat hanya diri sendirilah yang bisa dipercaya dimuka bumi ini.
Karena itulah acap kali dia selalu menyembunyikan hari ulang tahunnya dan juga kesedihannya diantara teman-temannya, acap kali tahun baru teman-temannya mengajaknya untuk pergi ditahun baru untuk bersenang-senang maka acap kali pulalah dia menolaknya.
Karena hanya dihari ulang tahunnyalah dia tidak ingin ditengah keramaian, dan rela dirinya dimakan sepi yang sudah sejak lama dia takutkan dikala malam. Sebab dihari ulang tahunnya saja dia bisa meluapkan apa yang dia rasakan selama ini, seakan dia sedang curhat dengan sahabat sejatinya yang tak pernah dia merasa takut kalau sang teman itu akan membocorkan rahasianya kepada orang lain. Walaupun acap kali pulalah dia mengakhirinya denga tangisan, dan hati pilu yang menyayat hati.
Dia anak umang, tak berayah, dan tak pula beribu. Dia kesepian sejak dari kecil.
Walaupun sekarang dia berteman dengan banyak orang, dia sadar kalau teman-temannya hanya menemaninya dibeberapa saat waktu saja tidak untuk selamanya dan setiap saat. Yang menemaninya selamanya dan setiap saat hanyalah kepedihan, kesedihan, dan dirinya sendiri, serta bayang-bayang kedua orang tuanya yang sekuat tenaga samar-samar coba ia visualisasikan berdasarkan info yang dia dapatkan dari cerita neneknya dahulu.
Dia tegar seperti batu karang, dan kokoh seperti tembok besar Cina yang sanggup menghentikan serangan brutal bangsa Mongolia. Dia tidak ingin merasa dikasihani oleh teman-temannya dan tidak pulalah menghiba kasih sayang dari mereka. Yang dia inginkan adalah sedapat mungkin dia lebih lama terhindar dari kesepian saat berada diantara teman-temannya.
Dia tidak ingin untuk dihibur, dan tidak pula minta tertawakan. Tapi banyak yang berhutang sebuah tawa dan senyum kecil darinya.
Ini adalah ulang tahunnya yang ketujuh belas, yang bagi sebagian orang begitu berkesan, tapi tidak untuk dia.
            Baginya hitungan angka dari umur-umur itu sama saja, sebab tidak ada yang berubah dari kehidupannya sejak semua hilang dari dirinya. Sejak dia berjalan dikesunyian malam sendiri.

Sebuah Analogi Tentang Game Console Dan Kehidupan: Sebuah Perandaian

          Tadi siang aku bermain sebuah game konsol lama keluaran dari  nitendo. Sudah lama sekali sejak aku terakhir memainkan game konsol ini, terakhir kali saat itu aku masih kelas 4 SD dan sekarang aku sudah lulus kuliah.

Permainan yang kupilih untuk membuatku kembali bernostalgia kemasa lalu saat itu adalah Super Mario Bross, yang ternyata salah satu dari sekian banyak game konsol terlaris keluaran Nitendo (aku tahu dari sebuah artikel disalah satu blog yang sengaja kusearching).
Karena sudah lama sekali aku tidak memainkan game ini, berulang kali aku mengulangnya dan aku hafal setiap sudut jalan rahasia yang tersimpan dipermainan itu. Mungkin karena dulu saat aku masih kecil aku sudah berulang kali pula memainkannya.
Sepulang dari memainkan permainan itu, sepanjang jalan pulang pikiranku melayang-layang. Bukan mengingat tentang nostalgia saat aku pernah memainkan game itu, tapi memikirkan bagaimana jika hidup ini seperti sebuah permainan game pada game konsol.
Hidup ini adalah permainan, hidup ini adalah permainan layaknya game yang kita mainkan di playstation. Tapi memiliki level yang lebih berat jika dibandingkan dengan level expert, pro, advance, atau level-level tersulit dari sekian banyak level sulit yang ada dipermainan game.
Kenapa begitu ??
Jika pada game, saat kita bosan dan lelah dengan permainan yang kita mainkan itu, maka kita bisa berhenti dan me-save permainan kita. Kemudian setelah itu kita bisa istirahat sebentar atau dalam waktu yang kita inginkan, kita bisa berhenti dari permainan yang kita mainkan.
Tapi dalam kehidupan, kita tidak bisa seperti itu.
Walaupun kita merasa sangat jenuh dengan kehidupan kita, dan itu sudah dalam batas waktu yang tidak bisa kita ukur lagi. Kita tidak bisa berhenti sejenak dan beristirahat dari kehidupan kita, karena kehidupan kita layaknya billing pada personal komputer diwarnet yang kita sewa. Walaupun kita bosan billing waktunya tetap berjalan.
Begitu pulalah yang terjadi dalam hidup, pernah terkadang kita jenuh terhadap kehidupan kita yang terkadang stagnan seperti itu-itu saja. Bagi yang bekerja, hidup mereka hanya mengalir bangun pagi, berangkat kerja, sampai ditempat kerja, bertemu dengan rekan kerja, sore hari, pulang, sampai dirumah bertemu dengan keluarga, istirahat, bersantai, dan kemudian tidur malam. Selalu terjadi seperti itu berulang-ulang. Meskipun kita mendapat cuti beberapa hari, kegiatan seperti itu kemudian berulang-ulang lagi.
Coba andaikan hidup kita ini seperti video game.
Kehidupan kita ini bisa di pause kan dalam beberapa waktu atau coba saja kehidupan kita bisa di-save dan kita beralih pada permainan lainnya sehingga kita tidak merasa bosan menjalani hidup ini.
Mungkin banyak dari kita yang terasa bosan dengan kesehariannya dan mendambakan kehidupan orang lain yang dilihatnya, kemudian pernah ada terbelisik dihati untuk ingin mencoba merasakan bagaimana rasanya menjalani kehidupan orang lain yang kita lihat itu.
Coba saja kalau hidup kita ini seperti video game, yang setiap saat jika kita bosan menjalaninya bisa kita ganti kepermainan yang lain. Setidaknya begitulah pikiranku disaat perjalanan pulang tadi.
Dengan begitu tidak akan ada lagi orang yang mengeluh dengan berkata, ‘Jika aku jadi dia maka aku.....’ atau ‘Dia itu enak, sedangkan aku....
Seakan-akan jika mereka menjalani kehidupan yang bukan kehidupan seperti yang dia jalani sekarang ini maka dia akan mendapatkan kebahagiaan dalam hidupnya, dan hidup tanpa ada penyesalan.
Tapi seperti kata pepatah orang dahulu, yang berkata syukuri apa yang kita rasakan dan kita punya saat ini, karena mungkin saja apa yang kita miliki saat ini adalah yang didambakan oleh orang lain.
Menurutku meskipun banyak orang yang berharap bisa merasakan kehidupan orang lain, itu disebabkan karena mereka melihat kehidupan orang yang terlihat begitu menyenangkan menurut mereka itu, hanya dari luarnya saja. Tidak mengetahui bagaimana kehidupan mereka yang dia lihat dari dalamnya atau meresapi bagaimana kehidupan orang lain itu dengan sebenar-benarnya.
Tidak banyak orang yang tahu kehidupan kita sebenarnya selain diri kita sendiri. Itu menurutku.
Bisa jadi, orang yang selama ini selalu tertawa dan menghibur orang lain adalah orang yang seharusnya sangat butuh dihibur dan merindukan tawa yang sesungguhnya. Bisa jadi, orang yang selama ini memberikan kita nasehat-nasehat bijak dan masuka-masukan yang berharga serta yang selalu mendengarkan curhat kita adalah dia yang sebenarnya sangat butuh didengarkan curhatnya, dia yang butuh nasehat-nasehat, serta masukan-masukan yang berharga.
Jadi, alangkah lucunya jika kita mengarapkan kehidupan orang lain yang sebenarnya kita sendiri tidak tahu apakah kehidupan mereka itu sebenarnya seperti yang kita lihat atau tidak.
Terkadang banyak sekali kita melihat postingan-postingan bahagia, sedih, lucu, yanga da disosial media seperti twitter, path, instagram, atau yang lainnya.
Tapi apakah yang kita lihat itu adalah yang sebenarnya terjadi dikehidupan mereka ??
Lucu sekali jika kita mengharapkan kehidupan mereka, apa lagi jika sampai kita merasa iri dengan kehidupan mereka yang terlihat bahagia hanya berdasarkan pada apa yang kita lihat saja, bukan berdasarkan pada apa yang kita tahu sebenarnya.
Sebab kita tidak tahu sepenuhnya bagaimana kehidupan seseorang.
Karena disetiap kehidupan seseorang pasti ada sebuah rahasia yang mereka simpan didasar diri mereka. Sebab rahasia itu adalah sebenarnya yang membuat manusia menjadi seorang manusia menurutku.
Pikiranku tentang kenapa kehidupan kita tidak seperti video game yang bisa diganti atau diresume ketika kita sedang merasa bosan dengan kehidupan ini stuck pada sebuah kesimpulan, yaitu inilah sebab kenapa Tuhan tidak membuat kehidupan kita dijadikan layaknya video game yang bisa diganti-ganti atau diresume ketika kita sedang bosan, padahal Dia mungkin saja bisa melakukan itu karena Dia Maha Bisa.
Mungkin sebab Dia tahu, kalau tidak setiap kehidupan cocok dengan kita. Layaknya seorang gamer, tidak semua permainan cocok dan dikuasai oleh gamer. Dari sekian banyak permainan, mungkin hanya satu atau dua permaian yang cocok dan dikuasai oleh sang gamer.
Dan bukti bahwa seorang gamer cocok dengan permainan yang dia mainkan adalah dia bisa bertahan sampai pada level tertinggi dan dalam waktu lama dia bertahan dengan permainan yang dia mainkan.
Seperti kehidupan, bisa jadi kita tidak cocok dengan kehidupan yang kita lihat serasa begitu membahagiakan dan selalu membuat kita berandai-andai untuk bisa menjalani kehidupan tersebut karena kita hanya menilai berdasarkan apa yang kita lihat saja. Bisa jadi pula kehidupan yang kita jalani sekarang inilah adalah kehidupan yang cocok untuk kita.
Sebab sebuah kehidupan yang cocok untuk kita, adalah kehidupan yang bisa membuat kita bertahan lama menjalaninya dan kita berhasil menjalaninya.
Menurutku, jika saja kehidupan ini bisa seperti sebuah game konsol dari video game. Aku lebih memilih kalau kehidupan ini bisa di-pause sejenak ketika kita merasa bosan dan barulah kemudian ketika kita ingin menjalaninya dan rasa bosan kita hilang terhadap permainan yang sedang kita lakukan ini, kita lanjutkan kembali permainan kita. Tidak perlu dan tidak ingin menggantinya dengan permainan lain yang terlihat begitu menarik hati untuk dijalani.
Sebab mungkin saja orang lain begitu mendambakan apa yang sedang aku miliki saat ini.
****
Hal lain yang menarik pikiranku dari perandaian sebuah kehidupan kita ini bisa layaknya seperti sebua game konsol adalah fasilitas Reply-nya.
Semua dari kita yang sering bermain video game pasti tahu kalau saat kita bermain game, kita bisa mengulang kembali game yang kita mainkan, jika hasilnya tidak sesuai dengan keinginan kita.
Kita bisa memulai dari awal, atau bisa mengulang kembali pada beberapa stage  yang kita inginkan untuk diulang dan sudah kita save atau kita pernag menjalaninya dan sukses melewati rintangan yang ada pada stage tersebut.
Terus terang ini adalah sebuah fasilitas yang sangat aku inginkan bisa ada dalam kehidupan kita. Karena dengan ini kita bisa mengulang kembali kemasa dimana kita inginkan untuk mengulangnya. Mungkin dengan adanya fasilitas ini, tidak ada yang namanya sebuah ‘penyesalan’ dalam kamus hidup kita.
Sebab jika kita melakukan sebuah kesalahan maka kita akan bisa kembali kemasa dimana kita melakukan kesalahan tersebut dan memperbaikinya.
Cukup menyenangkan mendengar dunia ini tanpa ada penyesalan, tapi juga cukup menyeramkan.
Karena manusia tidak akan pernah berhati-hati dalam melangkah atau mengambil keputusan. Sebab langkah dan keputusan adalah dua dari sekian banyak hal yang disuatu hari nanti menimbulkan penyesalan dalam kehidupan kita.
Selayaknya sebuah pepatah, tidak ada manusia yang sempurna.
Sekarang aku baru tahu sedikit dari sebab adanya kalimat tersebut. Sempurna dalam kalimat ini bukan sempurna dalam hal fisik tapi sempurna dalam hal perasaan.
Bisa jadi pepatah tersebut dianalogikan sebagai, tidak ada manusia yang hidup tanpa adanya sedikit rasa penyesalan dalam hidupnya.
Karena setiap manusia yang hidup dan berjalan dimuka bumi ini, pasti memiliki rasa penyesalan dalam hatinya. Entah itu besar atau kecil, setidaknya setiap manusia pasti memilikinya.
Penyesalanlah yang (mungkin) membuat manusia tidak bisa menjadi manusia yang sempurna, dan jika tidak ada manusia yang sempurna maka bisa diartikan tidak ada dari kita yang tidak merasakan menyesal didalam hati kita.
Bagi sebagian besar orang penyesalan yang mereka rasakan, akan terasa lebih baik jika diperbaiki dan hal yang membuat mereka menyesal itu bisa mereka ubah kembali. Tapi mereka tidak sadar kalau semakin kita berusaha memperbaiki kesalahan yang kita buat maka akan semakin membuat kita terlihat lemah. Sebab kesalahan akan menjadi sebuah pujian jika kita bisa melakukan keberhasilan dilain pihak.
Seperti layaknya status ‘dengan pujian’ pada prosesi wisuda kita.
Perandaikan bahwa kehidupan kita itu adalah kehidupan perkuliahan, dan kesalahan yang kita lakukan adalah sebuah nilai ‘C’ dalam transkrip nilai kita.
Jika kita berniat untuk mengubah nilai ‘C’ tersebut, mungkin saja kita bisa melakukannya. Tapi kita tidak akan pernah mendapatkan status ‘dengan pujian’. Tapi jika kita merelakan nilai ‘C’ itu dan berusaha untuk memperbaikinya dengan berusaha pada sisi lain dari kehidupan kita yang bisa kita analogikan sebagai mata kuliah lainnya. Mungkin saja nilai ‘C’ itu tidak bisa terhapus dalam transkrip nilai kita, tapi setidaknya bisa orang lain lupakan dengan status ‘cumlaude’  yang kita dapatkan.
Tuhan membuat kehidupan ini tidak seperti sebuah game konsol, adalah karena Dia ingin kita menjalani kehidupan ini dengan hati-hati, serius, dan santai.
Tuhan menyuruh kita berhati-hati dalam hidup, agar kita tidak salah langkah, tidak salah dalam memutuskan sebuah keputusan, dan agar tidak salah dalam mengucap. Sebab ketiganya adalah hal yang tidak bisa kita tarik kembali ketika kita sudah menjalaninya. Sebab ketiganya jugalah pemicu dari munculnya sebuah penyesalan dalam hidup.
Walaupun kita hidup tidak lepas oleh penyesalan, tapi setidaknya kita penyesalan yang kita miliki itu bukanlah sebuah penyesalan yang besar, yang membuat kita terus-menerus dihantui olehnya kemanapun kita melangkah dan dimanapun kita berada.
Tuhan menyuruh kita serius dalam menyikapi hidup. Menurutku adalah agar langkah apa yang kita ambil, keputusan apa yang akan kita ambil tidak akan menimbulkan penyesalan dikemudian hari nanti.
Buatlah sebuah keputusan yang disuatu hari nanti orang-orang yang mencaci-maki keputusan tersebut dan mengatakan ‘kita bodoh’ karena telah memngambil keputusan dan langkah itu, tapi dilain pihak kita dan hanya kita yang tersenyum dan berkata ‘aku tidak akan pernah menyesali apa yang telah aku lakukan’.
We have live, a life is no regrets. –Portgas. D. Ace.
Aku sangat menyukai sebuah konsep tentang mati tanpa penyesalan seperti tokoh Ace dalam serial One Piece, bukan karena itu terlihat keren atau terdengar keren. Tapi setidaknya itu bisa menganggap kita ini adalah manusia yang sempurna dengan masih sempat menyadari kalau diri ini tidaklah sempurna seperti yang kita kira.

Santai dalam menjalani hidup, adalah karena hidup ini hanya sekali. Yang terlintas dihadapan kita belum tentu akan kembali lagi, kesempatan yang kita punya tidak akan datang sesering siang dan malam bergangian datang dalam hidup. Oleh karena itu Tuhan menyuruh kita santai dalam menyikapi kehidupan.
Dia juga menganjurkan untuk santai menyikapi hidup, agar kita bisa melupakan kesalahan yang perna kita lakukan dan juga agar kita terhindar dari penyesalan. Karena sebagian besar orang yang merasa menyesal tak terhingga adalah mereka yang sebenarnya tidak bisa melupakan kesalahan yang dia lakukan, padahal kesalahan itu bukan untuk disesali tapi untuk diusahakan agar tidak terulang kembali.
Sebab ini adalah permainan tersulit yang harus kita mainkan selama kita didunia ini.
Dengan segala peraturan yang diatur oleh semesta, kehidupan yang kita  miliki lebih menarik dan menantang dibandingkan kehidupan yang orang lain miliki dan kita lihat.

Ini kehidupan namanya, sebuah game konsol ciptaan Tuhan. Yang tanpa fitur reset, reply, save, pause, change game, ataupun cheats. Kemampuan kita dalam menyikapi hiduplah yang bisa membuat kita sampai pada garis akhir permainan ini.