Selasa, 08 September 2015

-Kamu-


Teruntuk kamu,
Tahukah kamu sudah berapa lama aku menunggu kamu dipersimpangan itu ?? Dan sudah berapa kali aku berulang-ulang melakukan hal yang sama setiap paginya ?? Sudah tidak terhitung lagi dalam ayalku karena aku sudah lupa, sebab aku hanya fokus kepada pesona mu dipagi hari yang merupakan alasanku untuk rela melawan dinginnya air didalam bak penampungan yang sudah bercampur dengan air embun malam.
Hanya untuk melihat kamu melintas dihadapanku, walau hanya sekali libat saja. Hanya untuk melihat wajah manis itu, melihat wajah yang sampai sekarang tidak mampu membuatku bisa benar-benar yakin uuntuk melupakannya.
Berhenti nafasku dikala itu.
Saat melihat kau melintas diperaduan pandangan mataku, wajah itu, mata yang sayu itu, dan pakaian putih abu-abu itu. walaupun terasa familiar olehku tapi tetap tak bosan mata ini untuk selalu memandangnya.
Setelah bayanganmu berlalu dikala pagi yang dingin itu, ingin rasanya aku agar hari ini cepat berlalu agar aku bisa bertemu dengan pagi dihari esok yang bisa membawaku untuk bisa sekali lagi melihat kamu seperti hal nya yang kulakukan pada pagi ini, diawal hari ini, sebagai perawalan hariku, perawalan untuk menatap kesibukanku.
Kamu.
Entah dari mana datangnya doktrin aneh dalam diriku, yang jika setiap pagi aku tak melihatmu bisa membuat buruk hariku saat itu. Kau seperti sebuah ritual aneh dalam diriku untuk mengawali hari, untuk mengawali setiap hari yang aku mulai dengan pagi. Kau seperti sebuah tarian persembahan kepada Dewi Sri yang dilakukan pada masyarakat jaman dulu saat akan memulai masa tanam, yang diyakini akan membawa berkah jika dilakukan dan akan mendapat musibah jika dilalaikan.
Kamu.
Kamu ibaratkan candu dari segumpal nikotin yang terkandung dalam setiap hisapan asap sebatang rokok kretek, ringan tapi besar sekali pengaruhnya. Yang jika tak kuisap maka akan membuat sakit kepalaku, yang jika tak kuisap akan menjadi ‘buntu’ pikiranku dan aku merasakan tak ada ide-ide serta inovasi dalam setiap akalku jika tak melihatmu.
Aku sudah tergantung dengan candumu saat itu.
Tanpa terasa aku sudah seperti orang aneh yang bergantung pada sebuah kelenik yang kubangun sendiri pada khayal dan fatamorganaku, padahal aku sendiri adalah orang yang taat yang tahu akan hal itu adalah hal yang musyrik karena percaya akan selain Tuhanku. Tapi aku tidak bisa mengingkarinya jika aku sudah tercuci otakku oleh kepercayaan itu.
Hari-hari ku selalu berakhir tidak mengenakkan jika aku tak melihatmu tapi jika melihatmu diawal pagi dan diawal hari aku seperti dikawal oleh sepasang malaikat pembawa keberuntungan dikedua sisiku. Bahkan kurasa jika pagi ini aku melihatmu dan siangnya hari kiamat datang, aku merasa akan selamat juga atau setidaknya aku tidak akan merasakan ketakutan karena sudah melihatmu untuk terakhir kalinya.
Teruntuk kamu.
Bertahun-tahun sudah aku memberikan rasa kagumku padamu, dan bertahun-tahun pula aku sudah menyimpan erat rasa itu didalam hatiku. Kukemas erat dan rapi tersimpan aman didalam sebuah kota ‘Pandora’ yang kemudian kutenggelamkan didasar hatiku yang paling dalam dan kemudian kuncinya telah kubuang kedalam sanubariku yang tak mungkin orang lain bisa menemukannya.
Tidak ada yang tahu rahasia itu, rahasia hatiku kepada kamu yang bahkan kamu atau orang disekitarkupun kurasa tak akan pernah tahu itu.
Teruntuk kamu.
Banyak yang ingin kukatakan kepadamu, tapi saat kita bertemu hilang semua apa yang ingin kukatakan. Mulutku terkunci rapat erat tak mampu bergerak sedikitpun, tenggorokkanku seakan kering sehingga jakunku serasa tak bisa naik turun untuk memompa suara yang ingin kukeluarkan dari mulutku. Bahkan untuk memanggil namamu pun aku tak mampu dan bahkan untuk memperkenalkan dirikupun aku tak sampai niat.
Terlalu habis beraniku jika sudah berada dihadapanmu, padahal untuk bertemu denganmupun aku harus menghabiskan berjuta-juta joule tenaga untuk mengumpulkan keberanian yang awalnya tidak ada dan kemudian setelah dikumpulkan bisa terkumpul beberapa pikul, tapi lenyap seperti debu yang tertiup angin saat kita bertemu muka dan bertatap mata.
Aku yang terlalu lemah atau memang kau yang terlalu kuat.
Auramu seperti aura yang dikeluarkan ketika aku memasuki rumah peribadatan, merinding bulu romaku, bergetar tubuhku, serta berdetak kencang jantungku kala itu.
‘Oh, apa ini perwujudan keindahan Sang Maha Kuasa’, kataku dalam hati.
Betapa tidak, selama bertahun-tahun ini aku hanya bisa memujimu tanpa pernah berani bertemu denganmu.
Selalu kau kulihat dari jauh, dari jarak yang kukira cukup aman untuk jantungku agar tidak mengalami konstraksi yang cukup hebat. Karena aku takut jika terus menerus berada didekatmu aku akan tidak bisa lagi merasakan dunia ini.
Teruntuk kamu.
Banyak hal yang mengingatkan ku padamu, lagu ‘Payphone’  dari ‘Maroon V’ misalnya. Yang membuatku merasakan bahwa kita seperti senasib rasanya.
Aku tahu kita, kau dan aku, sama-sama menderita oleh jarak. Karena jarak memisahkan kita dengan orang yang kita cintai. Karena jarak jugalah kita sama-sama merasakan betapa pahitnya sebuah mencintai dari jauh. Kita seakan-akan berkata ‘ternyata tak tak ada cinta yang manis’, kita sama-sama pemuja cinta pemuja kesetiaan yang pada akhirnya tidak begitu berdaya karena jarak.
Berulang kali kita, kau dan aku jatuh bangun menjaga dan memmugar kembali bangunan yang sudah hancur dari yang pernah kita buat dengan masing-masing mereka yang tidak tentu sekarang sedang apa. Berulang kali kita mencoba tapi pada akhirnya sama saja, terulang juga kejadian yang sama yang pernah terjadi, dan untuk kesekian kalinya kurasa kita akan berbisik lirih kembali, ‘ternyata tak ada cinta yang manis, ini sudah yang kesekian kali’.
Teruntuk kamu.
Kamu yang sang pemuja warna merah indah merona layaknya bibirmu yang indah itu dan layaknya seperti kedua pipimu yang terkena matahari pagi yang menyinari kota kecil ini, yang selalu kulihat walau hanya sebentar dipagi hari. Kau suka warna merah katamu, dan aku sangat menyukai warna putih yang layaknya niat tulus kataku. Kita bagaikan sang saka yang menjadi per ibaratan dari sebuah keberanian dan ketulusan serta kesucian.
Kau adalah sang keberanian itu, orang yang berani tetap mencintai seseorang yang kau anggap pantas untuk kau cintai meski kau telah jatuh bangun untuk menjaganya. Kau yang telah berani untuk berkata ‘seakan dialah yang berdiri didepanku nanti dan menuntunku ketika adzan maghrib telah tiba’. Kau adalah sebuah keberanian itu menurutku.
Sedangkan aku, aku hanyalah sang warna putih yang rentan ternoda dengan noda-noda walaupun disimpan dan dijaga sekalipun. Tapi aku seperti perlambanganku, suci dan tulus. Suci akan cintaku dan tulus mencintaimu serta mengagumimu walaupun tanpa harus meminta kau untuk membalasnya, menjawabnya, atau bahkan mengetahuinya.
Aku hanya ingin mencintaimu, itu niatku.
Aku tidak punya keinginan untuk mendapatkan balasan atau rasa tahumu, karena bisa mengagumimu sampai saat ini sudah membuatku mendapat alasan untuk tetap bisa berdekatan denganmu walaupun kita berbeda stasiun pemberhentian. Kau pilih kota kecil yang penuh dengan adat budaya dan punya sejarah dimasa jayanya dahulu sedangkan aku bercita-cita untuk menaklukan kota besar yang sudah lama ingin kutaklukan itu.
Teruntuk kamu.
Sudah banyak yang aku tumpah ruahkan perasaanku dalam kertas ini, mungkin ini tak bisa membuatmu tahu tentang apa yang aku rasakan kepadamu. Tapi setidaknya bagiku, sudah membuat hatiku tenang karena bisa meluapkan apa yang ada dihati ini yang senantia membuat sesak batin ini.
Karena tidak mungkin rasanya untuk mengatakannya langsung kepadamu, karena sudah berulang kali kucoba tapi tetap saja aku tidak bisa mengucapkannya. Seperti orang bodoh rasanya jika berhadapan denganmu, dan berulang kali hasilnya tetap sama. Sampai pada akhirnya aku merasa, maka cukuplah diriku untuk mencintaimu dalam hati dan dalam niat ini. Sebab aku merasa kalau cinta itu ibadah, dan ibadah hanya tersimpan dalam niat yang hanya ada didalam hati tanpa harus diumbar-umbar kepada khalayak ramai.

Bengkulu, Akhir bulan Agustus 2015
Dari aku yang sejak dulu senantiasa memujamu
-D-

Setelah sampai dibaris akhir dari tulisannya, tangan dari sang penulis itupun berhenti seakan menandakan kalau dia telah selesai menulis apa yang ingin dia sampaikan disecarik kertas berwarna putih berukuran buku diari itu. Kemudian ditutupnya kembali kalamnya dan ditaruhnya lagi kedalam tempat kalam yang tampak sekumpulan kalam-kalam dari berbagai merk sama terhadap warna, benar, sang penulis tetap konstan dan setia terhadap warna hitam sebagai warna tinta untuk menulisnya. Setelah itu disobeknya kertas yang menjadi wadah tempat dia menulis tadi dengan hati-hati agar bisa tersobek secara rapi, dan kemudian setelah tanggal lembaran kertas tersebut dari punggung buku yang entah mungkin buku diarinya itu dia gulung kertas tersebut hingga menjadi sebuah gulungan kertas yang panjang dan tergulung kecil.
Kemudian diambilnya sepotong pita berwarna biru yang memang sudah dipersiapkannya dari sebelum dia menulis tadi, dan dengan terampil tangannya itu merangkai pita tersebut menjadi pengikat gulungan kertas berisi tulisan tadi, dan terlihat rapi sekali. Setelah selesai apa yang dia lakukan, penulis itupun tersenyum puas dan kemudian tangannya membuka sebuah ruang kecil yang berada dimejanya, dari dalam ruang kecil itu dia mengeluarkan sebuah toples kaca bening yang berisi kumpulan kertas-kertas serupa seperti yang telah dia buat saat ini dan jumlahnya sangat banyak.
Lalu dia masukkan gulungan kertas yang baru dia buat tadi kedalam toples kaca bening itu.
‘Seratus pas’, katanya pelan sambil tersenyum.
Setelah itu dia tutup kembali toples tersebut dan dia kembalikan lagi ketempatnya semula didalam ruang kecil dibawah meja tulisnya. Setelah selesai menyimpan semua itu penulis itupun beranjak pergi dari tempat dia menulis tadi dan keluar dari ruangan tersebut.

Dia adalah sang ‘secret admirer’, yang dia tulis itu adalah rahasia terbesar dari isi hatinya. Seratus lembar curahan hati dari seorang yang mencintai seseorang dalam diam, yang teguh menyimpan rahasia hatinya dan yang mampu mencintai seseorang tanpa alasan apapun tapi tidak mampu untuk mengungkapkannya.

0 komentar:

Posting Komentar