Senin, 21 September 2015

My Power That I Call Name Friends


Pernah aku berfikir kalau aku tanpa kalian, berjalan diatas bumi ini sendiri dengan kedua kakiku yang kukira cukup kuat untuk mengantarkan aku ketempat tujuanku. Tapi ternyata tak dinyanya, aku salah, benar-benar salah. Kedua kaki ini belum cukup mampu untuk melangkah jauh, karena ada kalanya mereka merasa letih dan ingin berhenti. Disaat itu biasanya kalian muncul, memberi sebuah kekuatan yang entah dari mana datangnya keluar dari dalam diri ini.
Membuat sang kaki yang telah enggan untuk melanjutkan langkah menjadi ingin terus melangkah sampai pada langkah terakhirnya, menarik habis semua kemampuannya sampai batas yang membuat aku nyaris tak percaya jika tak kurasakan sendiri. Sebuah kekuatan yang tidak akan pernah ada jika kalian tak hadir.
Pernah aku sekali berfikir kalau aku bisa tanpa kalian. Hidup sendiri dengan mandiri, percaya dengan kemampuan diri ini. Ternyata aku keliru, kemampuanku yang tanpa batas pun ada batasnya, dan kalian saat itu hadir memberi kekuatan untuk menutupi kekuranganku. Sebuah kekurangan yang pada akhirnya kutemukan jika tanpa kalian.
Ironis sekali.
Sekarang aku hidup tanpa kalian, mencoba, dan berusaha tanpa kalian. Sebab ini dunia, karena adakalanya sebuah pertemuan akan menemukan perpisahan.
Diujung jalan bercabang kita berpisah, memilih jalan hidup masing-masing. Aku tahu ini akan terjadi, tapi tak kusangka akan secepat ini. Aku tahu ini akan terjadi, tapi tak kusangka aku akan seterpuruk ini.
Kalianlah yang mampu membuatku tangguh bagaikan singa ditengah padang sabana yang luas, dan kalian jugalah yang mampu membuatku menjadi seperti seekor keledai yang merasa kebingungan menghadapi sebuah perangkap pemburu. Tak pernah aku duga kalau sehebat ini aku terpuruk tanpa kalian, tapi untuk menceritakan ini kepada kalian aku terlalu malu.. malu sekali.
Kalian bisa tanpa aku tapi aku tak bisa tanpa kalian.
Sebuah kenyataan yang ironis bukan ??
Bahkan jangan untuk menghadapi dunia, untuk melangkahpun aku serasa mati akal. Keraguan selalu datang karena kalian sang penangkalnya telah hilang. Ironis sekali, benar-benar ironis.
Aku candu akan kalian, candu sekali. Bahkan sampai sekarangpun aku sedang merasakan bagaimananya rasa sakau itu mulai menggerogoti tubuh ini, ingin kuteriakkan kalau aku butuh kalian. Tapi apa kalian akan mendengar dan datang kemudian berkata kami akan membantumu ??


Selasa, 08 September 2015

-Kamu-


Teruntuk kamu,
Tahukah kamu sudah berapa lama aku menunggu kamu dipersimpangan itu ?? Dan sudah berapa kali aku berulang-ulang melakukan hal yang sama setiap paginya ?? Sudah tidak terhitung lagi dalam ayalku karena aku sudah lupa, sebab aku hanya fokus kepada pesona mu dipagi hari yang merupakan alasanku untuk rela melawan dinginnya air didalam bak penampungan yang sudah bercampur dengan air embun malam.
Hanya untuk melihat kamu melintas dihadapanku, walau hanya sekali libat saja. Hanya untuk melihat wajah manis itu, melihat wajah yang sampai sekarang tidak mampu membuatku bisa benar-benar yakin uuntuk melupakannya.
Berhenti nafasku dikala itu.
Saat melihat kau melintas diperaduan pandangan mataku, wajah itu, mata yang sayu itu, dan pakaian putih abu-abu itu. walaupun terasa familiar olehku tapi tetap tak bosan mata ini untuk selalu memandangnya.
Setelah bayanganmu berlalu dikala pagi yang dingin itu, ingin rasanya aku agar hari ini cepat berlalu agar aku bisa bertemu dengan pagi dihari esok yang bisa membawaku untuk bisa sekali lagi melihat kamu seperti hal nya yang kulakukan pada pagi ini, diawal hari ini, sebagai perawalan hariku, perawalan untuk menatap kesibukanku.
Kamu.
Entah dari mana datangnya doktrin aneh dalam diriku, yang jika setiap pagi aku tak melihatmu bisa membuat buruk hariku saat itu. Kau seperti sebuah ritual aneh dalam diriku untuk mengawali hari, untuk mengawali setiap hari yang aku mulai dengan pagi. Kau seperti sebuah tarian persembahan kepada Dewi Sri yang dilakukan pada masyarakat jaman dulu saat akan memulai masa tanam, yang diyakini akan membawa berkah jika dilakukan dan akan mendapat musibah jika dilalaikan.
Kamu.
Kamu ibaratkan candu dari segumpal nikotin yang terkandung dalam setiap hisapan asap sebatang rokok kretek, ringan tapi besar sekali pengaruhnya. Yang jika tak kuisap maka akan membuat sakit kepalaku, yang jika tak kuisap akan menjadi ‘buntu’ pikiranku dan aku merasakan tak ada ide-ide serta inovasi dalam setiap akalku jika tak melihatmu.
Aku sudah tergantung dengan candumu saat itu.
Tanpa terasa aku sudah seperti orang aneh yang bergantung pada sebuah kelenik yang kubangun sendiri pada khayal dan fatamorganaku, padahal aku sendiri adalah orang yang taat yang tahu akan hal itu adalah hal yang musyrik karena percaya akan selain Tuhanku. Tapi aku tidak bisa mengingkarinya jika aku sudah tercuci otakku oleh kepercayaan itu.
Hari-hari ku selalu berakhir tidak mengenakkan jika aku tak melihatmu tapi jika melihatmu diawal pagi dan diawal hari aku seperti dikawal oleh sepasang malaikat pembawa keberuntungan dikedua sisiku. Bahkan kurasa jika pagi ini aku melihatmu dan siangnya hari kiamat datang, aku merasa akan selamat juga atau setidaknya aku tidak akan merasakan ketakutan karena sudah melihatmu untuk terakhir kalinya.
Teruntuk kamu.
Bertahun-tahun sudah aku memberikan rasa kagumku padamu, dan bertahun-tahun pula aku sudah menyimpan erat rasa itu didalam hatiku. Kukemas erat dan rapi tersimpan aman didalam sebuah kota ‘Pandora’ yang kemudian kutenggelamkan didasar hatiku yang paling dalam dan kemudian kuncinya telah kubuang kedalam sanubariku yang tak mungkin orang lain bisa menemukannya.
Tidak ada yang tahu rahasia itu, rahasia hatiku kepada kamu yang bahkan kamu atau orang disekitarkupun kurasa tak akan pernah tahu itu.
Teruntuk kamu.
Banyak yang ingin kukatakan kepadamu, tapi saat kita bertemu hilang semua apa yang ingin kukatakan. Mulutku terkunci rapat erat tak mampu bergerak sedikitpun, tenggorokkanku seakan kering sehingga jakunku serasa tak bisa naik turun untuk memompa suara yang ingin kukeluarkan dari mulutku. Bahkan untuk memanggil namamu pun aku tak mampu dan bahkan untuk memperkenalkan dirikupun aku tak sampai niat.
Terlalu habis beraniku jika sudah berada dihadapanmu, padahal untuk bertemu denganmupun aku harus menghabiskan berjuta-juta joule tenaga untuk mengumpulkan keberanian yang awalnya tidak ada dan kemudian setelah dikumpulkan bisa terkumpul beberapa pikul, tapi lenyap seperti debu yang tertiup angin saat kita bertemu muka dan bertatap mata.
Aku yang terlalu lemah atau memang kau yang terlalu kuat.
Auramu seperti aura yang dikeluarkan ketika aku memasuki rumah peribadatan, merinding bulu romaku, bergetar tubuhku, serta berdetak kencang jantungku kala itu.
‘Oh, apa ini perwujudan keindahan Sang Maha Kuasa’, kataku dalam hati.
Betapa tidak, selama bertahun-tahun ini aku hanya bisa memujimu tanpa pernah berani bertemu denganmu.
Selalu kau kulihat dari jauh, dari jarak yang kukira cukup aman untuk jantungku agar tidak mengalami konstraksi yang cukup hebat. Karena aku takut jika terus menerus berada didekatmu aku akan tidak bisa lagi merasakan dunia ini.
Teruntuk kamu.
Banyak hal yang mengingatkan ku padamu, lagu ‘Payphone’  dari ‘Maroon V’ misalnya. Yang membuatku merasakan bahwa kita seperti senasib rasanya.
Aku tahu kita, kau dan aku, sama-sama menderita oleh jarak. Karena jarak memisahkan kita dengan orang yang kita cintai. Karena jarak jugalah kita sama-sama merasakan betapa pahitnya sebuah mencintai dari jauh. Kita seakan-akan berkata ‘ternyata tak tak ada cinta yang manis’, kita sama-sama pemuja cinta pemuja kesetiaan yang pada akhirnya tidak begitu berdaya karena jarak.
Berulang kali kita, kau dan aku jatuh bangun menjaga dan memmugar kembali bangunan yang sudah hancur dari yang pernah kita buat dengan masing-masing mereka yang tidak tentu sekarang sedang apa. Berulang kali kita mencoba tapi pada akhirnya sama saja, terulang juga kejadian yang sama yang pernah terjadi, dan untuk kesekian kalinya kurasa kita akan berbisik lirih kembali, ‘ternyata tak ada cinta yang manis, ini sudah yang kesekian kali’.
Teruntuk kamu.
Kamu yang sang pemuja warna merah indah merona layaknya bibirmu yang indah itu dan layaknya seperti kedua pipimu yang terkena matahari pagi yang menyinari kota kecil ini, yang selalu kulihat walau hanya sebentar dipagi hari. Kau suka warna merah katamu, dan aku sangat menyukai warna putih yang layaknya niat tulus kataku. Kita bagaikan sang saka yang menjadi per ibaratan dari sebuah keberanian dan ketulusan serta kesucian.
Kau adalah sang keberanian itu, orang yang berani tetap mencintai seseorang yang kau anggap pantas untuk kau cintai meski kau telah jatuh bangun untuk menjaganya. Kau yang telah berani untuk berkata ‘seakan dialah yang berdiri didepanku nanti dan menuntunku ketika adzan maghrib telah tiba’. Kau adalah sebuah keberanian itu menurutku.
Sedangkan aku, aku hanyalah sang warna putih yang rentan ternoda dengan noda-noda walaupun disimpan dan dijaga sekalipun. Tapi aku seperti perlambanganku, suci dan tulus. Suci akan cintaku dan tulus mencintaimu serta mengagumimu walaupun tanpa harus meminta kau untuk membalasnya, menjawabnya, atau bahkan mengetahuinya.
Aku hanya ingin mencintaimu, itu niatku.
Aku tidak punya keinginan untuk mendapatkan balasan atau rasa tahumu, karena bisa mengagumimu sampai saat ini sudah membuatku mendapat alasan untuk tetap bisa berdekatan denganmu walaupun kita berbeda stasiun pemberhentian. Kau pilih kota kecil yang penuh dengan adat budaya dan punya sejarah dimasa jayanya dahulu sedangkan aku bercita-cita untuk menaklukan kota besar yang sudah lama ingin kutaklukan itu.
Teruntuk kamu.
Sudah banyak yang aku tumpah ruahkan perasaanku dalam kertas ini, mungkin ini tak bisa membuatmu tahu tentang apa yang aku rasakan kepadamu. Tapi setidaknya bagiku, sudah membuat hatiku tenang karena bisa meluapkan apa yang ada dihati ini yang senantia membuat sesak batin ini.
Karena tidak mungkin rasanya untuk mengatakannya langsung kepadamu, karena sudah berulang kali kucoba tapi tetap saja aku tidak bisa mengucapkannya. Seperti orang bodoh rasanya jika berhadapan denganmu, dan berulang kali hasilnya tetap sama. Sampai pada akhirnya aku merasa, maka cukuplah diriku untuk mencintaimu dalam hati dan dalam niat ini. Sebab aku merasa kalau cinta itu ibadah, dan ibadah hanya tersimpan dalam niat yang hanya ada didalam hati tanpa harus diumbar-umbar kepada khalayak ramai.

Bengkulu, Akhir bulan Agustus 2015
Dari aku yang sejak dulu senantiasa memujamu
-D-

Setelah sampai dibaris akhir dari tulisannya, tangan dari sang penulis itupun berhenti seakan menandakan kalau dia telah selesai menulis apa yang ingin dia sampaikan disecarik kertas berwarna putih berukuran buku diari itu. Kemudian ditutupnya kembali kalamnya dan ditaruhnya lagi kedalam tempat kalam yang tampak sekumpulan kalam-kalam dari berbagai merk sama terhadap warna, benar, sang penulis tetap konstan dan setia terhadap warna hitam sebagai warna tinta untuk menulisnya. Setelah itu disobeknya kertas yang menjadi wadah tempat dia menulis tadi dengan hati-hati agar bisa tersobek secara rapi, dan kemudian setelah tanggal lembaran kertas tersebut dari punggung buku yang entah mungkin buku diarinya itu dia gulung kertas tersebut hingga menjadi sebuah gulungan kertas yang panjang dan tergulung kecil.
Kemudian diambilnya sepotong pita berwarna biru yang memang sudah dipersiapkannya dari sebelum dia menulis tadi, dan dengan terampil tangannya itu merangkai pita tersebut menjadi pengikat gulungan kertas berisi tulisan tadi, dan terlihat rapi sekali. Setelah selesai apa yang dia lakukan, penulis itupun tersenyum puas dan kemudian tangannya membuka sebuah ruang kecil yang berada dimejanya, dari dalam ruang kecil itu dia mengeluarkan sebuah toples kaca bening yang berisi kumpulan kertas-kertas serupa seperti yang telah dia buat saat ini dan jumlahnya sangat banyak.
Lalu dia masukkan gulungan kertas yang baru dia buat tadi kedalam toples kaca bening itu.
‘Seratus pas’, katanya pelan sambil tersenyum.
Setelah itu dia tutup kembali toples tersebut dan dia kembalikan lagi ketempatnya semula didalam ruang kecil dibawah meja tulisnya. Setelah selesai menyimpan semua itu penulis itupun beranjak pergi dari tempat dia menulis tadi dan keluar dari ruangan tersebut.

Dia adalah sang ‘secret admirer’, yang dia tulis itu adalah rahasia terbesar dari isi hatinya. Seratus lembar curahan hati dari seorang yang mencintai seseorang dalam diam, yang teguh menyimpan rahasia hatinya dan yang mampu mencintai seseorang tanpa alasan apapun tapi tidak mampu untuk mengungkapkannya.

Pagi Dan Senja


Coba sejenak kau berhenti dari sibukmu, cobalah sejenak kau berhenti dari apa yang membuatmu terus bergerak itu. Nikmatilah pagi ini, nikmatilah sinar mentari ini, nikmatilah udara sejuk ini, dan nikmatilah embun pagi yang masih melayang-layang diudara ini dengan tenang.
Tuangkan segelas kopi hangatmu untuk menemanimu. Coba kau hirup perlahan, kau rasakan aroma yang keluar dari asap yang membumbung keangkasa mencampur baur dengan udara pagi ini dari dalam secangkir kopi yang kau seduh dan aduk secara perlahan. Tak perlulah kau tambah gula, karena kehidupan ini lebih manis daripada gula adanya.
Tapi awas..
Jangan terlalu banyak kau seduh kopimu dengan kehidupan ini, karena laksana sebuah sari manis yang hanya dengan takaran yang pas bisa menimbulkan rasa manis. Tapi jika sudah banyak kau tambahkan maka akan timbul rasa pahit.
Begitulah kehidupan adanya...
Pandai kitalah harus menakar porsinya, jangan terlalu banyak dan jangan terlalu sedikit. Jika terlalu sedikit akan terasa hambar hidup ini, tapi jika kebanyakan akan terasa pahit mencekat tenggorokan.
Ucapkan selamat pagi kepada hidup. Karena mungkin esok hari kau bisa saja tidak bertemu dengan pagi.
Maka nikmatilah pagi ini selagi sempat. Senyapkan pikiranmu dari apa yang membuat bisingnya dunia ini. Karena pagi adalah sebuah awal dari hari, maka awalilah dengan sebuah ketenangan bukan mengawalinya dengan kesibukan ataupun kepanikan. Bukankah tidak ada waktu seindah pagi ?? Bahkan Tuhan pun mengakuinya dengan pernah berkata ‘Demi sebuah pagi....’
Itu kerana pagi itu menenangkan..
Banyak orang yang beranggapan kalau senja itu indah dan selalu saja memuja senja dengan pesona kuning kemerah-merahannya dan matahari tenggelamnya.
Apa benar begitu ??, bisikku dalam hati.
Kalian yang memuja senja dan sangat tercandu oleh pesona senja adalah kalian yang mungkin saja tidak pernah sempat melihat indahnya pagi. Kalian tidak pernah melihat indahnya langit pagi, kataku sambil tersenyum. Kalian tidak pernah melihat indahnya langit diufuk timur yang kuning kemerah-merahan berpadu dengan warna biru gelap sehingga menjelma menjadi warna violet yang agung. Itu perkiraanku.
Kenapa begitu ??
Karena kalian mungkin terlalu sibuk diawal pagi, menurutku. Atau kalian terlalu sibuk terbuai oleh mimpi ketika itu.

Aku pemuja pagi dan kalian pemuja senja.
Kita bisa saja berbeda pendapat dan aku boleh saja membela pagi sedangkan kalian membela senja. Tapi menurutku pagi itu lebih indah dibandingkan senja.
Pagi itu diibaratkan masa muda sedangkan senja itu adalah hari tua. Dipagi hari kalian sibuk untuk mempersiapkan hari kalian tanpa pernah bisa menikmati pagi kalian sendiri dan menikmati senja kalian dihari nanti, itupun kalau kalian bertemu dengan senja. Sedangkan aku lebih memilih menikmati pagi dengan sebaik-baiknya dan baru memulai hari setelah pagi berganti siang. Sehingga jikaku tak bisa bertemu dengan senjaku maka aku hidup tanpa ada penyesalan. Sebab kita ingin sebuah kehidupan, sebuah hidup yang tanpa ada sebuah penyesalan didalamnya.
Jika, Tuhan mengizinkanku bertemu dengan senjaku, maka aku akan bersama kalian dan disamping kalian untuk menikmati senja bersama-sama tanpa ada penyesalan karena telah melewatkan pagiku dengan sia-sia, tanpa harus menyesal karena telah memilih bersibuk diri dipagi hari dibandingkan menikmati pagi dahulu baru menyibukkan diri pada saatnya.

Nikmati waktu yang diberikan, itu menurutku. Dan jalani apa yang suda berjalan, ikuti apa yang telah tersurat jika kalian percaya takdir Tuhan. Usaha adalah sebuah cara agar kita tetap berada dijalur takdir Tuhan menurutku, dan tidak bisa mengubah takdir. Karena takdir adalah hal yang sudah tersurat dan kita setujui sebelum kita lahir, jadi mustahil jika kita ingin mengingkarinya.
Ini adalah cerita tentang pagi bukan tentang senja.
Jadi ini berkisah tentang sejuknya awal hari, dan bukan tentang perkara tentang melihat senjakala matahari terbenam sambil memikirkan penyesalan tentang apa yang telah kita perbuat sepanjang hari.
Aku suka pagi, karena hanya pada pagi hari kita hidup tanpa ada penyesalan, karena dipagi harilah kita bisa memulai dan mengkhayalkan hari kita seperti apa yang kita inginkan.
Sedangkan senja.
Kenapa senja dibuat indah hanya dengan jika kita menatap matahari tenggelam ??
Karena senja adalah tempat sebuah perenungan, sebuah perenungan dimana kita bisa memikirkan kembali apa yang telah kita lakukan sepanjang hari ini. Tapi banyak yang salah menganalogikan tentang senja. Banyak yang beranggapan senja adalah saat yang baik untuk mencucurkan air mata penyesalan, sehingga banyak puisi menyayat hati yang bercerita tentang sebuah penyesalan dibuat dengan bertemakan senja dan terinspirasikan oleh senja.
Sedangkan pagi, adalah waktu dimana puisi semangat terbuat tempat kata-kata optimis terucap dan tempat dimana kita bisa lebih bersemangat.

Aku suka pagi, tapi aku tidak membenci senja. Karena aku ingin hidup dimulai dengan pagi dan berakhir setelah senja.

Berkisahlah...


Berkisahlah...
Berkisahlah sekali lagi kepadaku, kisah tentang pangeran dan putri yang selalu menjadi andalanmu dalam bercerita itu. Yang dalam ceritanya selalu kau buat diakhir ceritanya mereka hidup bahagia selamanya. Sebuah cerita romansa hasil dari karangan dan khayalanmu saat kau menerawang tentang indahnya cinta yang ingin kau dapat, sebuah romansa yang dalam nyatanya hanya bualan semata.
Kau terlalu banyak dilukai oleh cinta, kau terlalu banyak dikecewakan oleh cinta, sehingga hanya dengan berkisah kau mampu merasa mendapatkan cinta yang benar-benar kau idamkan selama ini. Seperti kisah Putri dan Pangeran yang jatuh cinta pada pandangan pertama, dan berkonflik pada orang ketiga yang menjelma menjadi seorang penyihir yang ingin merebut sang Putri dan kemudian dengan gagahnya sang pangeran menyelamatkan  sang putri sehingga diakhir cerita mereka hidup bahagia selamanya.
Cinta tidak sesimpel itu, dan kisahmu juga. Banyak kepelitan yang membuatnya rumit diantaranya. Sungguh lucu jika kita masih berkhayal seperti itu. Tapi tak apalah aku tak akan memprotes lagi, sebab aku telah berjanji untuk menjadi pendengar yang baik untukmu. Ya, aku hanya akan mndengar saja tidak akan memberi protes atau apapun itu yang bisa membuatmu berhenti sejenak dalam berkisah.
Berkisahlah...
Ceritakanlah tentang khayalanmu akan cinta yang indah itu, tentang cinta yang dimana kau bisa hidup berdampingan dengan dia yang kau cinta dengan berbahagia selamanya. Tentang cinta yang kau khayalkan indah dengannya, seperti impian kosong kalian berdua pada dahulu kala, dimana saat itu kalian sedang dimabuk asmara tanpa pernah berpikir kalau dunia ini hanya ingin sebuah pemikiran yang realistis. Bukan khayalan layaknya dongeng yang ada dikitab dan buku cerita karangan para pujangga dan penyair.
Pada akhirnya dia pergi, dan kau sekarang hanya bisah berkisah padaku tentang khyalanmu dan dia dahulu. Cintamu bertepuk sebalah tangan, bukan dengan dia yang tidak menampik cintamu tapi bertepuk sebelah tangan dengan penantian yang tak pernah berpihak kepadamu.
Sedangkan aku.
Aku hanya bertepuk tangan mendengarkan kau berkisah. Bukan karena aku berbahagia akan penderitaanmu, bukan pula karena aku senang melihat kau seperti itu. Tapi lebih karena aku terlalu takjub dengan kisah yang kau ceritakan padaku diwaktu luangmu dan waktu luangku. Aku hanya seorang pendengar, pendengar dari sebuah dongeng dan kisah yang kau ceritakan. Sedangkan kau, kau adalah seorang pengkisah yang baik menurutku, bahkan melebihi dari penyair-penyair yang pernahku kenal.
Chairil anwar, Buya Hamka, dan Rendra. Kurasa namamu cukup pantas untuk disandingkan dengan nama-nama besar itu. Aku tahu kau tak butuh selaan saat kau berkisah, atau kau tak butuh komentar yang membangun akan isi cerita yang kau kisahkan padaku. Tapi sebagai seorang pendengar sudah keawajibanku untuk memberikan sebuah penghargaan padamu, dan sebuah aplause kuras pantas untuk kau terima dari sang pendengar ini.
Berkisahlah.
Berkisahlah seolah-oleh kau punya banyak ceritakan yang ingin kau ceritakan padaku. Aku akan setia mendengarnya apa yang akan kau kisahkan padaku, entah yang kau ceritakan itu bohong atau nyata aku tidak akan mempermalakannya. Karena bagiku dengan kau mau berkisah dan berbagi kisahmu padaku adalah sebuah penghargaanmu padaku. Sebuah bukti bahwaa kau percaya padaku, bahwa kau yakin kalau aku akan menjaga erat apa yang telah kau kisahkan padaku.
Sungguh berat sekali sebenarnya tugasku. Harus menjaga sebuah kerahasiaan dari sebuah rahasia yang sebenarnya enggan kau keluarkan tapi tak kuasa dayamu untuk kau tanggung sendiri. Maka dari itu kau cari seseorang yang mau untuk kau ajak berbagi kisahmu ini, yang sebenarnya orang yang malang karena harus menanggung beban berat ini.
Mungkin bagi sebagian orang, terlihat keren jika kita menjadi tempat berkisah bagi orang lain. Tapi menurutku tidak, karena menjaga amanat itu sulit. Tidak sepeti saat kita membagi sebuah kisah.
Berkisahlah.

Berkisahlah seakan-akan esok tiada lagi hari untuk kau berkisah. Aku akan setia untuk mendengar kisahmu sampai rasa kantuk ini yang membuaiku sehinggaku tak ingat lagi kalau kau sedang berkisah. Sebab kisahmu seperti dongeng pengantar tidur bagiku, sebuah kisah fiksi tentang cinta yang menjadi andalanmu.

Berapa Lama Kau Telah Hidup ??


Sudah berapa lama kau telah hidup seperti ini ??, tanyaku pada orang tua itu.
Tidak lama, hanya seingatku aku sudah seperti ini. Jawabnya.
Aku tertegun mendengar jawaban orang tua itu. Aku tertegun melihat pak tua itu, tubuhnya kusam dan kurus seakan-akan hanya tulanglah saja yang dia miliki ditubuhnya itu. Hanya kulitnya yang hitam yang membalut tubuhnya yang seperti geranggong hidup itu, dan kiranya kupikir warna hitam legam yang melekat dikulitnya itu bukanlah warna kulitnya yang asli. Sebab kurasa itu adalah warna yang dia peroleh dari sekian lamanya dia berjemur dibawah terik sinar matahari.
Sungguh warna kulit yang exotis dan ironis menurutku.
Dimana orang-orang kaya menghabiskan uangnya untuk berlibur pergi kepantai-pantai terkenal seperti Kuta, Bahama, Karibia, dan Brasilia hanya untuk mendapatkan kulit yang eksotis kata mereka. Disini aku menemukan kenyataan ironis, ada sesosok tubuh yang rela berjemur dibawah sinar matahari untuk mendapatkan uang sebagai penyambung hidup.
Sungguh hinanya dunia ini, sungguh hinanya juga hidup ini.
Kita bukan bertahan hidup dengan bertaruh pada iman tapi kepada uang dan harta kekayaan. Entah siapa yang sudah menciptakan kertas-kertas yang bermakna itu, tapi berkat dia kita menjadi lebih memikirkan hasil ciptaan manusia dibandingkan memikirkan hasil ciptaan yang Maha Kuasa.
Tubuh lusuh ini yang selalu bergelut dibawah sinar matahari, berbedakkan oleh debu jalanan, dan bermandikan peluh bercampur dengan letih yang bergelayutan dipundaknya.
Aku rasa dialah makhluk Tuhan yang sejati, yang hidupnya memenuhi apa yang telah Tuhan suruh kepada umat manusia. Beribadah dia suka, bekerja dan bertanggung jawab kepada keluargapun itulah yang telah menyebabkannya seperti sekarang ini. Tapi dimana janji yang katanya akan dia terima akan sebuah nikmat dunia yang dia rasakan karena perihal dia sudah bekerja dan berdo’a ??
Tidak ada. Hanya letih dan tangis penuh derita yang dia terima.
Tidak sebanding menurutku dengan apa yang diterima oleh orang-orang yang bekerja tanpa berdo’a itu, yang jangankan untuk berdo’a bahkan untuk mengingat Tuhanpun mereka tidak pernah terlintas sedikitpun dibenak mereka. Tapi mereka mendapatkan apa yang menjadi syarat untuk hidup didunia.
Tapi mereka akan menderita diakhirat, kata Tuhan.
Kalau begitu kenapa Kau turunkan mereka yang menderita didunia dan kau janjikan akan bahagia diakhirat itu kedunia ?? Biarkan mereka tinggal disana agar tidak hilang iman mereka karena kemalangan yang sudah malang melintang mendera mereka. Kau janjikan mereka untuk berbahagia diakhirat (nanti), apakah seperti janji Kau tentang akan datang nikmat didunia jika mereka bekerja dan berdo’a yang tapi nyatanya tidak mereka pernah rasakan sampai sekarang.
Setengah abad lebih sudah mereka hidup didunia ini, entah mereka sudah lupa akan janji Mu atau mungkin mereka sudah tidak memikirkannya lagi dan berharap lagi. Tapi mereka tetap saja untuk berusaha dan berdo’a meski jalan keluar yang Kau janjikan itu tak kunjung merek temui.
Aku mengeluh dalam hatiku, bukan untukku tapi karena hidup mereka.
Kau bilang kita hidup tidak boleh mengeluh, tapi jangan salahkan aku. Salahkan Kau yang memberiku sebuah hati nurani yang terkadang pedih melihat ketidak seimbangan dunia ini. Mereka yang selalu membawa kerusakan dimuka bumi ini Kau biarkan bebas melenggak-lenggok berjalan dimuka bumi ini dengan sombong, sedangkan mereka yang berharap sebuah kedamaian hidup walaupun sedikit, Kau biarkan melarat dan berjalan dengan tergopoh-gopoh dibumi yang kau janjikan pada Adam dan Hawa dulu bahwa indah melebihi surga.
Apa kau suka akan hidupmu pak tua ??, tanyaku pada orang tua itu.
Suka tak suka ini adalah hidupku, tak bisaku titipkan pada orang lain. Jawabnya.
Menetes air mataku mendengar jawabannya, apa yang salah dengan dirimu orang tua ?? Batinku berkata pada diriku sendiri. Apa kesalahan dirimu pada sang pencipta sehingga hidupmu terlahir begitu malang ?? Apa kesalahan dirimu pada orang tuamu sehingga Tuhan murka pada hidupmu ini ?? ataukah ada kau pernah menyakiti seseorang lain sebelumnya ?? Batinku bertanya-tanya meskipun aku tahu tidak pernah aku menemukan jawaban itu.
Dia yang sejak dilahirkan telah merasakan getirnya hidup ini tanpa pernah satu kalipun berkesempatan merasakan nikmat hidup, yang walaupun setia ditanya ‘nikmat apa saja yang pernah kau rasakan didunia ini ??’ dia akan selalu menjawab ‘nikmat bernafas dan nikmat hidup dengan sehat’.
Seakan-akan mencari-cari alasan untuk membela Tuhan menurutku. Banyak orang diluar sana yang hidupnya sehat dan juga ditambah dengan kesenangan dunia yang lainnya yang bahkan tidak pernah kau rasakan sampai sekarang ini, dan kau masih saja merasakan kalau hidup ini adil ??
Tidak ada yang benar-benar adil didunia ini, bahkan kasih Tuhan pada umatNya pun kurasa tidak.
Jika Tuhan adil, kenapa Dia ciptakan negara yang berperang sedangkan tepat didekatnya ada negara yang aman, damai, makmur, dan sentosa. Apa yang membedakan setiap bangsa dimata Tuhan ?? Kenapa tidak diciptakanNya saja dunia ini aman dan makmur. Agar tidak ada lagi rasa iri.
Sekali lagi aku tidak benci Tuhan, tapi aku hanya protes kepadaNya. Jika Dia marah, salahkan Dia yang menciptakanku dengan setitik nurani yang murah iba ini.
Apa yang salah dengan hidupmu pak tua, kata ku sekali lagi dalam hati.
Apa ini karma dari kedua orang tuamu tentang perihal kesalahan yang sudah mereka lakukan dimasa muda dulu. Kalaupun benar demikian, kurasa tidak bijak untuk menjatuhkan karma tentang perihal yang dilakukan oleh orang tua kepada anaknya, sebab anak tidak tahu apa yang terjadi. Sama seperti halnya meranggas bunga mawar putih yang elok hanya karena kita benci pada sang tuan pemiliknya.
Apakah ini hukuman kepadamu karena dimasa mudamu tak pandai menyiasati waktu, karena kau terlalu terbuai oleh dinginnya udara pagimu dahulu sedangkan mereka yang tertawa sekarang berani melawan kantuknya untuk bangun dari mimpi dan menyambut hari. Tapi jika itu alasannya, kurasa akan masih tinggal ingatan tentang penyesalanmu yang tak pandai memelihaa waktu.
Apa yang salah dengan hidupmu ??

Hanya kau dan Tuhan yang tahu, aku hanya berani menerka-nerka saja tanpa berani berspekulasi. Tapi yang jelas kuharap Tuhan tidak akan ingkar janji tentang perihal harapan akan sebuah kebahagiaan yang Dia tebarkan dikhayal umatNya yang sudah bersedia rela untuk berkerja dan berdo’a.