Oh
dia sudah berubah sekarang, dia berbeda sekali saat terakhir kali kami bertemu,
dan dia benar-benar berbeda sekali dari terakhir aku pergi meninggalkan dia karena masih mengejar dia (yang lain). Dia sekarang lebih dari yang dahulu, dia
sekarang lebih indah dari yang dahulu, dan dia sekarang membuka mata ini lebih
jauh.
Kenapa
aku tidak bisa menemukannya dahulu ??
Padahal
dia ada didekatku sangat dekat dengan ku sedekat dahi ini dengan sajadah saat
bersujud, sedekat hembusan pertama udara ketika bernafas, dan sedekat akar
dengan tanah. Padahal dia ada disekitarku, disekelilingku,diantara
langkah-langkahku. Padahal dia ada bersamaku, melihatku, tersenyum padaku.
Tapi
aku tidak bisa merasakannya, melihatnya, dan mendengar suara detak jantungnya.
Apa
yang terjadi padaku ??
Mata
ku terlalu buta saat itu tidak bisa melihatnya, perasaanku tak peka sehingga
tak mampu merasakan hadirnya disekitarku, telingaku terlalu tuli untuk
mendengar detak jantungnya, derap langkah kakinya, dan hembusan nafasnya yang
terdengar hangat ditelinga.
Aku
terlalu sibuk mengejar mereka, mereka yang sejak awal sudah mengeluarkan aura
palsu seperti aroma yang dikeluarkan sebatang tanaman kantong semar yang lebih
memikat serangga dibandingkan aroma setangkai camelia yang berada tepat
disampingku. Aku lebih memilih aroma palsu itu dan tidak menghiraukan dia yang
telah aku lewatkan tanpa sengaja.
Dan
hari ini dia datang.
Dia
datang.
Datang
kembali.
Dia
kembali dengan membawa potongan terakhir mozaik dari ingatan-ingatanku yang
hilang. Dia adalah potongan mozaik terakhir dari sekian banyak tanda-tanda
Tuhan untuk menyindirku, kali ini. Dia adalah potongan zodiak terakhir yang
membuatku tersenyum dan kemudian tertawa sekeras-kerasnya karena telah
mengingatkanku pada sebuah perasaan lama yang mengawali pertemuan aku dan dia.
Sebuah
perasaan yang membuatku merasa aku pernah mengenalnya, tapi aku tidak tahu
dimana (padahal seingatku kita pertama kali bertemu).
Sekarang
perasaan itu terlintas jelas didepan mata ini.
Masih
jelas diingatan ini, aku dan dia bertemu. Aku melihat dia untuk pertama kali,
tapi aku sudah merasa kalau aku mengenal dia sebelumnya, jauh sebelum aku dan
dia bertemu, bahkan mungkin lebih jauh lagi dan lebih jauh lagi kebelakang
(mungkin) dimasa dimana kita hidup sebelum ini. Dikehidupan sebelumnya.
Aku
coba pejamkan mataku saat itu, untuk berharap agar aku bisa mengingat kapan dan
dimana aku (pernah) bertemu dan melihatmu sebelumnya.
Tapi,
DAMN !!!!!
Aku
lupa, aku benar-benar lupa, aku tidak ingat dimana kita pernah bertemu
sebelumnya tapi aku merasa kita pernah bertemu.
Aku
masih belum menyerah saat itu untuk mencoba mem-brainstorming otakku dan
ingatanku tentang hal yang aneh ini. Kuajak kau memainkan sebuah permainan.
Papan berukuran 15 X 15 kotak itu kujadikan alasan untuk memperlama pertemuan
(yang mungkin) pertama kali itu agar aku bisa mengingat-ingat tentang -de javu-
ini.
Aku
mencoba memperlambat waktu dengan mengulur-ulurnya saat itu, Tapi tetap saja
hampir seratus buah biji pion berhuruf itu aku dan diaa turunkan bersama, aku
tetap saja lupa siapa tentang perihal ini semua.
Mereka
yang menonton permainan yang aku dan dia lakukan menarik nafas karena tontonan
yang aku dan dia sajikan kepada mereka, tapi aku berbeda, aku menarik nafa
panjang dan mengehelanya dengan satu helaan nafas bukan karena permainan ini
tapi karena aku tetap saja tidak mampu mengingat dia dan kenapa aku merasa
pernah bertemu dengannya.
Buah
terakhir ku telah kuturunkan, aku menang pertandingan pertama dengan dia. Tapi
aku tetap merasa kalah dengan ingatanku, karena aku tidak bisa melihat dia. Saat
itu aku sudah tidak ada lagi alasan untuk mengulur waktu berpikirku. Tapi aku
masih banyak waktu untuk mengingatnya.
Times
Flow.
Aku
kembali dengan kegiatan awalku dan perlahan melewatkan dia.
Sampai
pada akhirnya sekarang dia kembali lagi dengan membawa semua yang seharusnya
sangat kubutuhkan saat pertama kali aku dan dia bertemu. Semua mozaik yang
mengatakan kalau dia adalah sesuatu yang berbeda.
Tapi
aku sudah malu untuk kembali kepadanya, karena sudah melangkahinya, sudah
melewatkannya, dan telah menampikkannya pada saat itu.
Sekarang
ini bukan masalah cinta dan rasa lagi.
Tapi
lebih kepada masalah harga diri, rasa malu, dan penyesalan.
Sudah
kuputuskan, aku tidak akan seperti seorang yang brengsek untuk kembali dan
tertarik kepada keindahan yang selama ini telah kucampakkan dan kulalui, akan
sangat malu diriku jika kembali kepadanya, kemana harga diri ini, berpantang
bagiku untuk itu.
Kuputuskan
untuk tetap terus berjalan dan tidak akan melihat kebelakang, ketempat dimana
aku mengabaikannya. Karena ini persoalan harga diri dan etika dalam bercinta.
Aku
kuat dan aku bisa kembali seperti dulu.
Mengabaikannya
kembali, seperti saat aku melewatkan oase yang nyata ditengah gurun yang gersang
dan lebih memilih fatamorgana yang setiap kukejar dengan sekuat tenaga tetap
berada didepan mata ini tak pernah kucapai.
Maaf
ini bukan karena aku munafik mengingkari perasaan ini dan dengan tinggi hati
memilih harga diri yang (sebenarnya) hanya alasanku saja (kalian pasti tahu
itu).
Bukan
seperti itu, kalian salah paham. Akan kujelaskan.
Sebenarnya,
ini adalah caraku untuk menghukum diriku yang telah berbuat salah kepada dia,
yang telah mengabaikan dia. Ini adalah caraku agar bisa merasakan apa yang
telah dia dan aku rasakan untuk membalas ego yang terdahulu.
Itu
keputusanku.
Untuk kau yang (pernah) terlewatkan.
Dari
aku yang (dulu) melewatkanmu.

0 komentar:
Posting Komentar