Kamis, 03 Desember 2015

Air Dan Api


Dia kerjakan apa yang tak kusuka dan tak sukai apa yang sangat aku suka, kami bagai air dan api. Dia caci maki apa yang kukerjakan dan memuji apa yang orang lain kerjakan meskipun itu tidak lebih baik dari apa yang aku kerjakan, kami bagai air dan api. Meskipun kami bagai air dan api, aku tak membenci dia, sungguh tak sekalipun tidak.
Setiap kali dia mengeluarkan kata-kata pedas yang mengoyak hati dan tak termakan diakal, aku lebih memilih diam. Setiap kali aku dia dia berkata kepada orang lain dan pengaruhi orang lain seolah-olah aku salah dan dia benar, tapi aku tetap diam. Sungguh aku tidak benci dirinya, karena aku lebih memilih diam.
Setiap kali dia memulai sebuah obrolan yang kutahu dia sengaja itu hanya sebuah awal untuk mengawali pertengkaran kecil, sebuah obrolan pembuka untuk memulai kebiasaannya terhadapku. Setiap kali dia akan membuka mulut untuk memulai itu, maka setiap kali itu pula aku menghindar, aku menjauh, sejauh-jauhnya aku dapat menjauh. Mungkin hingga suaranya tak dapat kudengar lagi dan wajahnya tak dapat kulihat lagi.
Setelah cukup lama aku menjauh dan kurasa sudah cukup menurutku dan kurasa dia sudah berhenti karena bosan perkataannya tak kutanggapi dan dia mulai diam, aku kembali lagi. Karena memang sungguh yang dia inginkan hanyalah membuat telingaku panas mendengar kata-katanya dan hatiku terbakar amarah karenannya. Dan ketika emosiku mulai terpancing maka itulah kesempatan baik baginya untuk tambah menjelekkanku dan mencaci maki diriku. Sungguh aku tak mau terseret oleh jebakannya, dan sunggu itu jebakan yang sudah kesekian kali baginya untukku.
Lebih baik aku menjauh, sejauh-jauhnya.
Pernah suatu hari aku berpikir ingiin pergi jauh dari dirinya dan tak ingin kembali lagi walaupun apapun yang akan terjadi, tapi saat niat itu merasuki diri ini sekilas tampak sebuah rasa kasihan terkelebat dipikiranku. Sungguh aku masih waras untuk berbuat itu, dan aku bersyukur bahwa Tuhan mengingatkan aku akan niatku.
Aku dan dia bagai air dan api, mungkin sejak dulu atau mungkin kami ditakdirkan begitu. Tapi sungguh aku tidak dendam dan tidak akan pernah merasa dendam padanya, meskipun hatiku terbakar amarah oleh semua sikapnya tapi tidak akan memunculkan abu dendam dari sisa-sisa pembakaran hati ini dan kuharap tidak akan ada dendam dihati ini meskipun sekecil apapun itu.

Sebab aku memaklumi sikapnya.

0 komentar:

Posting Komentar