Dia
kerjakan apa yang tak kusuka dan tak sukai apa yang sangat aku suka, kami bagai
air dan api. Dia caci maki apa yang kukerjakan dan memuji apa yang orang lain
kerjakan meskipun itu tidak lebih baik dari apa yang aku kerjakan, kami bagai
air dan api. Meskipun kami bagai air dan api, aku tak membenci dia, sungguh tak
sekalipun tidak.
Setiap
kali dia mengeluarkan kata-kata pedas yang mengoyak hati dan tak termakan
diakal, aku lebih memilih diam. Setiap kali aku dia dia berkata kepada orang
lain dan pengaruhi orang lain seolah-olah aku salah dan dia benar, tapi aku
tetap diam. Sungguh aku tidak benci dirinya, karena aku lebih memilih diam.
Setiap
kali dia memulai sebuah obrolan yang kutahu dia sengaja itu hanya sebuah awal
untuk mengawali pertengkaran kecil, sebuah obrolan pembuka untuk memulai
kebiasaannya terhadapku. Setiap kali dia akan membuka mulut untuk memulai itu,
maka setiap kali itu pula aku menghindar, aku menjauh, sejauh-jauhnya aku dapat
menjauh. Mungkin hingga suaranya tak dapat kudengar lagi dan wajahnya tak dapat
kulihat lagi.
Setelah
cukup lama aku menjauh dan kurasa sudah cukup menurutku dan kurasa dia sudah
berhenti karena bosan perkataannya tak kutanggapi dan dia mulai diam, aku
kembali lagi. Karena memang sungguh yang dia inginkan hanyalah membuat
telingaku panas mendengar kata-katanya dan hatiku terbakar amarah karenannya.
Dan ketika emosiku mulai terpancing maka itulah kesempatan baik baginya untuk
tambah menjelekkanku dan mencaci maki diriku. Sungguh aku tak mau terseret oleh
jebakannya, dan sunggu itu jebakan yang sudah kesekian kali baginya untukku.
Lebih
baik aku menjauh, sejauh-jauhnya.
Pernah
suatu hari aku berpikir ingiin pergi jauh dari dirinya dan tak ingin kembali
lagi walaupun apapun yang akan terjadi, tapi saat niat itu merasuki diri ini
sekilas tampak sebuah rasa kasihan terkelebat dipikiranku. Sungguh aku masih
waras untuk berbuat itu, dan aku bersyukur bahwa Tuhan mengingatkan aku akan
niatku.
Aku
dan dia bagai air dan api, mungkin sejak dulu atau mungkin kami ditakdirkan
begitu. Tapi sungguh aku tidak dendam dan tidak akan pernah merasa dendam
padanya, meskipun hatiku terbakar amarah oleh semua sikapnya tapi tidak akan
memunculkan abu dendam dari sisa-sisa pembakaran hati ini dan kuharap tidak
akan ada dendam dihati ini meskipun sekecil apapun itu.
Sebab
aku memaklumi sikapnya.


