Selasa, 27 Desember 2016

Kapan Kita Bisa Berpisah Seutuhnya ??

Ponselku bergetar, nada dering Payphone dari Maroon V yang sudah entah berapa lama menjadi khas panggilan masuk ponselku berbunyi pertanda sebuah panggilan masuk. Ku lihat di display layarnya, sebuah nama familiar dalam ingatanku. Aku tersenyum, bukan karena ada yang lucu dari yang sedang terjadi, tapi karena sudah menjadi kebiasaanku sejak dahulu jika orang itu menelponku.
‘Hallo, lama sekali kau mengangkatnya’, kata suara merdu nun jauh di sana langsung berkicau ketika aku mengangkat panggilan masuk darinya.
‘Maaf, tadi aku sedang jauh dari handphone soalnya’, jawabku setengah jujur setengahnya lagi berbohong.
‘Oh begitu’, katanya singkat seperti penuh curiga.
‘Ya, begitulah. Tadi aku sedang di dapur’, jawabku yang entah kenapa herannya aku harus menjelaskan semua yang baru saja kulakukan agar dia percaya. Padahal toh, mau percaya atau tidak pada ucapanku itu adalah urusannya.
‘Apa kabarmu ??’, tanya dia kembali.
‘Baik’, jawabku yang sebenarnya sudah bosan mendengar basa-basi ini.
‘Aku baru saja sampai pagi tadi’, jelasnya.
Aku hanya menghela nafas panjang, sudah kuduga kalimat itu akan diucapkannya lagi.

Dulu, ketika dia mengatakan hal itu, hatiku gembira sekali. Seakan-akan seperti permintaanku sudah dikabulkan oleh Tuhan, kata-kata itu adalah kata-kata yang selalu kutunggu-tunggu setiap bulannya.
Tapi itu dahulu, tidak dengan sekarang.
Sejak memutuskan jalinan ini, aku berusaha untuk tidak menyangkutkan perihal diriku dan dirinya, meskipun sesekali hatiku sedikit penasaran dengan apa yang terjadi padanya dengan melihat apa yang dia lakukan di dunia maya miliknya.
Mencoba untuk melupakan itu bukan perkara mudah, seperti layaknya mengingat sebuah pelajaran.
Kucoba untuk menjauh, jauh sekali. Sehingga aku merasa kalau aku sudah tidak lagi berada di dekatnya, tapi tetap saja begitu kulihat ke belakangku, dia tetap berada di balik bayanganku.

Mendekat dan semakin mendekat ketika aku merasa sudah lebih jauh dari sebelumnya.
Kapan kita akan bisa benar-benar bisa berpisah seutuhnya, jika setiap kali aku sudah mencoba melupakan datang momen yang membuat kita semakin dekat.
Kapan kita akan bisa benar-benar berpisah seutuhnya, jika kita terus bertemu muka seperti ini dalam satu kesempatan. Melepas rindu yang secara tidak sadar kita kumpulkan selama ini.
Kapan kita akan bisa benar-benar berpisah seutuhnya, jika kita saling bertanya kabar setiap ada kesempatan dengan berbagai alasan yang klasi. Kapan kita akan bisa benar-benar berpisah seutuhnya ??
Kapan kita akan bisa benar-benar berpisah seutuhnya, jika kita saling mendo’akan dalam diam dan kerinduan setiap malamnya. Kapan kita bisa kalau seperti ini terus ??





Selasa, 29 November 2016

Perihal Do’a, Orang Yang Berdo’a, Dan Orang Yang Di Do’akan


Bagaimana sebuah do’a akan dikabulkan menurutku, jika hanya orang yang mendo’akan saja yang berdo’a sedangkan yang dido’akan tidak sama sekali berdo’a seperti apa yang orang lain do’akan untuk dia.
Layaknya seperti cinta yang bertepuk sebelah tangan aku melihatnya.
Kita mencintainya dia tanpa tapi, sedangkan dia tidak mencintai kita tapi. Setidaknya begitulah perumpamaannya, dimataku.
Aku melihat seorang ibu yang berdo’a disebuah masjid tempat aku singgah menjalankan sholat Maghrib pada sore itu, setelah selesai aku menunaikan kewajiban kala sore itu, kulihat sang ibu tersebut belum menyudahi ibadahnya.
Kebetulan alas kaki yang kupakai melapisi telapak kaki ini ketika berjalan menuju masjid itu kuletakkan tidak jauh dari tempat sang ibu tadi. Terdengar lapat-lapat ditelingaku do’a yang dia panjatkan kepada Tuhan, do’a untuk kesuksesan anaknya dan perubahan anaknya. Begitu khusyuk dan serius terdengar ditelingaku dia memohon, bahkan jika aku menjadi Tuhan mungking aku akan mengabulkannya karena ada kesungguhan dan harapan yang lebih didalam do’anya tersebut tapi sayangnya aku bukan Tuhan.
Saat pulang dijalan aku berpapasan dengan sang anak yang dido’akan tadi, menutup pintu pagar rumah dengan sepeda motornya yang sudah siap untuk pergi keluar. Dia memang suka pergi balap liar dimalam hari, dan tak lupa aku akan do’a sang ibu yang ada dimasjid tadi. Sang ibu berdo’a agar anaknya berhenti melakukan hal yang menurut sang ibu tadi adalah sebuah kesia-siaan saja.
Tapi begitulah, yang berdo’a hanya sang ibu saja sedang yang dido’akan tidak melakukan hal yang sama.
Aku adalah orang yang percaya jika do’a yang terkabulkan itu adalah do’a yang paling banyak dipanjatkan oleh orang, seperti layaknya voting via sms. Dimana yang mendapat sms terbanyaklah yang menang.
Jadi jangan heran jika Nabi Muhammad Saw dijamin masuk surga oleh Tuhan dalam beberapa ayatnya, karena kita setiap sholat selalu berdo’a agar beliau ditempat disisi Tuhan disurga sana.
Seperti itulah juga dengan do’a sang ibu tadi.
Mungkin akan djamah Tuhan, tapi tidak secepat yang dia harapkan. Mungkin akan butuh waktu lama untuk dilihat oleh pegawai-pegawai Tuhan dilangit sana, apakah sudah memenuhi kriteria banyaknya do’a yang sudah bisa dikabulkan atau belum. Setidaknya seperti itulah pemikiranku.
Memang bukan kapasitas kita sebagai manusia mengomentari tentang rahasia Tuhan seperti do’a, tapi setidaknya kita bisa mendapat pelajaran dari cerita ibu ini menurutku.
Kebanyakan kita para anak-anak dari orang tua kita, selalu salah kaprah dan tidak mengerti cara berterima-kasih oleh karena ego masa muda yang masih mengalir dalam darah didiri ini, sentimen yang masih melekat membuat mata kita tertutup untuk melihat bagaimana cintanya kedua orang tua kita kepada kita.
Kebanyakan dari kita selalu berharap nama kita disebut dalam do’a seseorang yang kita sukai meskipun terkadang itu jarang terjadi, sampai kita lupa kalau nama kita selalu orang kita sebutkan didalam do’a mereka. Padahal kita tidak pernah berharap kalau orang tua kita menyebut nama kita dalam do’a mereka seberharap agar nama kita disebutkan didalam do’a orang yang kita sukai. Itulah salah satu dari hal yang menjadikan kita sebagai anak terkadang salah kaprah.
Jika itu telah terjadi, jangankan alih-alih untuk menyebut nama orang tua kita dalam do’a kita, mendo’akan kita sajapun kita terkadang tidak ingin karena kita tidak pernah berdo’a.
Kebanyakan dari kita hanya mengeluh dan berharap dimedia sosial dengan tujuan agar diperhatikan oleh orang lain. Tapi kita menyebut yang kita lakukan itu adalah do’a.
Kita terlalu disibukkan oleh kegiatan yang bisa dibilang hal yang sia-sia. Mendo’akan orang yang bahkan tidak pernah mendo’akan kita contohnya.
Coba kalian ingat kembali ketika kita sedang kasmaran dalam berasmara, mendengar orang yang kalian suka, sakitpun, kalian langsung mendo’akannya. Sedangkan ketika berdo’a dengan sungguh-sungguhpun kalian lupa mendo’akan kesehatan orang yang tulus mendo’akan kalian, yaitu orang tua.
Jika kita belum bisa membalas jasa orang tua kita, menurutku sebaiknya kita jangan berhutang do’a kepada mereka. Apa susahnya duduk bersimpuh dan berkata dalam hati memohon untuk hal yang baik tentang kedua orang yang selalu mendo’akan kita. Atau setidaknya kita punya rasa malu dengan membiarkan orang lain (orang tua kita) mendo’akan kita sedangkan kita terlalu sibuk sehingga lupa mendo’akan diri kita sendiri.
Terlalu lucu terdengar jika meminta hal yang baik kepada Tuhan pun kita tidak sempat, jikalau begitu bagaimana kita bisa ingat untuk berterima kasih kepada Tuhan tentang nikmat yang dia beri jika meminta saja kita tidak sempat.
Karena menurutku berdo’a itu tidak lebih dari dua hal, yaitu meminta dan berterima-kasih.
Meminta apa yang kita harapkan ingin terjadi dan berterima kasih atas apa yang telah kita terima selama ini. Sebab menurutku berterim-kasih dalam do’a adalah cara kita mengingat tentang kebaikan yang Tuhan berikan dalam diri kita. Berterima-kasih secara sadar dan tanpa perlu diumbar sehingga banyak orang yang akan tahu jadinya.
Jika kita lupa untuk meminta maka jangankan untuk berterima-kasih, untuk ingat kalau kita pernah diberi nikmatpun kita rasanya tidak akan pernah menjadi ingat. Karena kebanyakan dari kita hanya ingat untuk meminta dan lupa akan berterima-kasih, oleh karena itu sering kita dengar istilah ‘Lupa diri’ atau ‘lupa berterima-kasih’ tapi kita tidak pernah mendengar istilah ‘lupa meminta’.
Akupun terkadang sering melakukan hal yang sama, terlalu banyak meminta sehingga pada akhirnya lupa untuk mengucapkan terima-kasih dan syukur. Karena akupun sama seperti orang kebanyakan memiliki banyak hal yang diinginkan sehingga lupa menghitung hal yang sudah didapat.
Pernah aku menghitung perbandingan meminta dan ucapan terima-kasih didalam setia do’a ku kepada Tuhan, hasilnya tidaklah mengejutkan, 8:1. Delapan untuk banyanya permintaan yang kuajukan kepada Tuhan dan satu untuk ucapan terima-kasih yang kuberi kepada Tuhan, itupun kuucapkan dibagian terakhir dari kalimat do’aku.
Bahkan tidak hanya ketika aku sendiri berdo’a yang melakukan hal itu.
Ketika berdo’a dalam acara-acara baik itu formal ataupun non-formal pun kita melakukan hal yang sama.
Kebanyakan kita meminta, meminta ini meminta itu, dan hanya sedikit mengucapkan syukur dan berterima kasih. Layaknya anak kecil ketika begitu kegirangan mendapat hadiah dari seseorang, sehingga dia lupa mencium tangan dan mengucapkan kata terima-kasih kepada yang memberikannya hadiah tersebut jika tidak mereka yang lebih tua mengingatkannya.
Begitulah kita. Ketika kita memiliki suatu keingingan kita akan meminta dalam do’a, dan ketika kita sudah banyak berdo’a tapi nyatanya belum terkabulkan, kita kecewa. Padahal kita lupa bahwa ketika sebelumnya do’a kita dikabulkan, kita lupa mengucapkan terima-kasih. Layaknya orang yang telah memberi bantuan tapi tidak diberi ucapan terima-kasih, kukira Tuhan pun begitu. Dia akan lebih memprioritaskan do’a mereka yang ‘tahu terima-kasih’ dibandingkan do’a dari kita orang-orang yang lupa cara berterima kasih.
Memang tidak etis menyamakan sang pencipta dengan sifat yang dia ciptakan, tapi setidaknya bisa kita berpikir seperti itu untuk intropeksi diri kita terhadap apa yang telah kita beri kepada Tuhan. Karena berburuk sangka terhadap Tuhan itu perlu dalam arti lain. Itu akan membuat kita menjadi manusia yang tahu diri terhadap-Nya.
Seperti halnya dalam berdo’a.
Do’a itu adalah hak kita sebagai ciptaannya, setidaknya itu menurut pendapatku. Entah itu salah atau benar, tapi anggaplah saja begitu untuk mempermudah penganalogian kita.
Jika kita padankan do’a itu sebagai hak kita, maka jika ada hak pasti ada kewajiban kita. Jika do’a adalah hak maka kewajiban itu adalah ibadah. Setidaknya kita bisa menjadi manusia yang malu meminta hak jika tidak melaksanakan kewajiban yakni ibadah yang diperintahkan, tapi lain cerita jika kita manusia yang tidak tahu malu.
Setelah kita sudah melakukan kewajiban, maka cobalah intropeksi ibadah kita itu. Apakah sudah benar-benar ‘benar’ atau belum, karena jika kita analogikan kepada sebuah perusahaan. Ibadah kita itu adalah pekerjaan kita dan do’a itu gaji yang kita dapat, maka jangan kaget dan kita harus sadar diri jika tidak semua yang kita inginkan dalam do’a terkabul semuanya. Setidaknya begitu pemikiranku.
Sebab kebanyakan aku melihat orang mengeluh tentang bagaimana dia sudah beribadah dan berdo’a tapi yang dia harapkan di do’a tersebut tidak terkabulkan. Dan yang terlintas dipikiranku ada dua kemungkinan, pertama Tuhan belum mengabulkannya karena Tuhan merasa belum saatnya dia mendapatkan apa yang dia minta dalam do’a layaknya atasan yang masih menangguhkan promosi jabatan kepada bawahannya yang rajin bekerja karena sang atasan menilai dia pantas untuk dipromosikan tapi tidak sekarang. Atau yang kedua Tuhan merasa kalau yang dia pinta dalam do’anya tidak sebanding dengan ibadah yang dia lakukan, seperti perusahaan yang tidak memberikan gaji yang besar sesuai harapan pekerjannya yang hanya bekerja dua hari dalam seminggu tapi meminta disamakan gajinya dengan pekerja yang bekerja sepanjang waktu dengan tingkat kesulitan kerja dan tingkat jabatan yang sama.
Tapi ini bukan berarti aku menganggap kalau kalau ibadah kita belum baik kita tidak boleh berdo’a atau jangan dulu berdo’a, sebab Tuhan juga tidak menyukai orang yang tidak berdo’a kepada Nya jika orang tersebut selesai beribadah. Dan Dia menganalogikan itu sebagai orang yang sombong, sedangkan Dia sangat benci akan orang yang sombong. Sebuah toleransi dari sang pencipta terhadap ciptaan Nya menurutku, karena Dia tahu tidak ada ibadah kita yang menyentuh kata sempurna sebab kita bukan makhluk yang sempurna dan dianggap tempat salah dan khilaf bersatu.
Oleh karena itulah Dia tetap menyuruh kita berdo’a karena berdo’a itu bukan perihal meminta saja, tetapi juga berterima kasih.
Lagi pula tidak salah jika Tuhan menganalogikan orang yang tidak mau berdo’a itu dengan orang yang sombong. Sebab seperti layaknya seorang atasan yang bertemu dengan seorang pekerja yang sudah bekerja tapi tidak menginginkan gaji atau upah, dan itu hanya untuk orang yang sombong dan hampir sedikit menyentuh munafik kurasa.
Sebab dalam hati kita, meskipun kita menampik kalau kita tidak berdo’a karena kewajiban kita belum beres tapi setidaknya didalam hati kita sendiri kita pasti akan berkata hal yang lain. Kita beribadah pasti mengharapkan sesuatu dari Tuhan, mengharapkan imbalan. Alangkah aneh jika kita meminta hal itu secara terus terang dan malah tidak ingin berdo’a untuk meminta hal yang kita inginkan itu.
Berkata lain tapi didalam hati berharap lain, seperti ciri sifat yang sangat dibenci Tuhan.
Tuhan itu maha adil, dia tahu tidak ada yang ikhlas dari kita ini ketika beribadah dengannya. Setidaknya Dia tahu kalau kita beribadah pasti mengharapkan sesuatu dari Dia, kalau tidak kebahagian didunia pastilah itu kebahagiaan di akhirat (surga). Karena itulah dia berikan iming-iming surga dan ancaman neraka untuk setiap pekerjaan kita, layaknya gaji dan PHK dalam sebuah tempat kerja. Jika kita melakukan kewajiban dengan baik kita mendapat upah, yang kalau tidak kita dapat saat ini pastilah nanti dirapel diakhirat nanti. Tapi jika kita bekerja asal-asalan maka kita mendapat surat peringatan dahulu barulah kemudian pada akhirnya kita dipecat (dimasukkan kedalam neraka).
Tuhan tahu kalau didalam diri kita meskipun mulut berkata ikhlas beribadah tanpa ada yang diinginkan, tapi sebenarnya kita berharap sesuatu, karena itulah surga dibuat.
Setidaknya sebagai penutup menurutku, ada baiknya kita untuk selalu ingat untuk berdo’a. Meskipun itu sepele terdengar. Entah itu perihal kita berterima-kasih atau meminta, tapi yang jelas jangan sampai kita dicap oleh Tuhan sebagai orang yang sombong atau tidak tahu terima-kasih.
Perihal do’a kita dikabulkan atau tidak itu bukan urusan kita tapi urusan Tuhan, sebab hak kita hanya untuk berdo’a sedangkan untuk meng-acc do’a kita adalah tugas atasan kita (Tuhan).
Dengan berdo’a kita akan dekat dengan rasa malu, malu jika meminta tanpa melakukan kewajiban terlebih dahulu. Maka dengan do’a setidaknya kita mendapatkan win win solution dalam hidup kita. Kita tergerak untuk beribadah, kemudian kita teringat untuk berterima kasih, dan kita telepas dari cap ‘sombong’ dari Tuhan.
Dengan do’a juga kita bisa sedikit membalas kebaikan kedua orang tua kita dengan sedikit menyelipkan nama mereka berdua disela-sela permohonan kita dalam do’a.
Dan do’a itu adalah perihal antara kita dengan sang pencipta, jadi tidak perlulah ciptaan Nya yang lain tahu. Apa lagi makhluh yang sama dengan kita, sesama manusia.
Karena ibaratkan dalam sebuah perusahaan, ketika kita meminta kenaikan gaji apakah teman-teman sekantor kita harus tahu semua itu ??
Biasanya, bos tidak akan memberikan acc untuk kenaikan gaji kita jika kita mengumbar-umbarnya kepada orang sekantor sebelum permintaan kita itu dikabulkan oleh sang bos. Setidaknya seperti itulah yang terjadi dengan do’a yang kita umbar-umbar didepan orang-orang dengan tujuan agar mereka tahu kalau kita sedang berdo’a.
Membuat semua orang tahu tentang apa isi do’a kita tidak membuat kita terlihat keren bahkan terlihat sebaliknya.
Seperti seorang pengemis yang tanpa tahu malu lagi menghiba-hiba didepan umum dan mengatakan keluhannya kepada orang yang dia mintakan uang, atau pernahkah kita mendengar seseorang yang berniat meminjam uang kepada orang lain dengan cara bersuara keras agar semua orang tahu ?? Pasti sebagian kita merasa tidak pernah melihat kejadian seperti itu, karena orang merasa malu untuk menampakkan kenyataan kalau kita sedang meminta bantuan kepada orang lain. Seperti itulah kita kalau berdo’a dan kemudian memamerkan do’a kita didepan orang banyak, lebih buruk dari orang yang ingin meminjam uang kepada seorang teman dan berteriak keras agar semua orang tahu kalau dia telah meminjam uang.
Oleh karena itu, selalu kita dengar istilah berdo’a didalam hati  karena memang do’a itu haruslah menjadi sebuah kerahasiaan antara kita dan Tuhan, dan tidak perlulah orang lain untuk tahu itulah sebabnya dari sekian banyak hal yang kita baca ketika sedang Sholat atau Sembahyang, hanya do’a sajalah yang kita ucapkan dalam hati, dalam diam dan dalam keheningan. Dan itulah juga kenapa bagi kita yang muslim percaya kalau do’a disholat tahajudlah yang dipercaya cepat dijamah oleh Tuhan, salah satunya karena ketika berdo’a setelah selesai Tahajud hanya kita dan Tuhan yang tahu apa yang kita mohon, karena kita dalam sunyi, sepi, dikeheningan malam.
Sebab rahasia membuat manusia menjadi seorang manusia.


Senin, 05 September 2016

Be Yourself


‘Kamu udah berubah !! udah gak kayak kamu yang dulu aku kenal waktu kita masih belum jadian !!’.

Menurut gue itu adalah kalimat paling familiar dari ribuan kalimat familiar lainnya yang sering keluar dari mulut salah satu pasangan yang sedang bertengkar karena pasangan mereka tidak bisa ngertiin mereka atau karena ada perubahan yang terjadi didalam diri pasangan mereka.
Itu jugalah yang menyebabkan seseorang biasanya akan berkata, ‘ternyata tak ada cinta yang manis’.
Semua orang akan berubah pada akhirnya, tapi perubahan itu bisa berarti dia berubah menjadi orang lain atau berubah kembali menjadi diri sendiri setelah dirinya sebelumnya sudah lama menjadi orang lain. Begitulah yang sering terjadi ketika kita menjalani sebuah hubungan. Karena pada akhirnya nanti, kita akan merasakan sedikit perubahan dan kita akan merasakannya nanti.
Bahkan, awalnya perubahan itu terkesan sepele seperti, lupa ingetin buat makan, lupa hari tanggal jadian, lupa tanggal pertama nonton bareng, lupa tanggal pertama jalan bareng, lupa tanggal sicewek menstruasi, atau sicowok lupa ingetin ceweknya buat ganti pembalut, dan sebagainya dan sebagainya. Yang semuanya itu intinya pasangan kita berubah secara perlahan-lahan menjadi sosok yang tidak kita kenal pada masa kita masih dalam PDKT ataupun masa awal-awal menjalin hubungan.
Banyak hal yang membuat seseorang berubah, mulai dari rasa bosan sampai kepada munculnya orang ketiga.

Tapi menurut gue hal yang paling banyak menyebabkan pasangan kita berubah itu adalah karena pada awalnya dia mendekati kita bukan dengan diri dia sendiri, melainkan dengan diri orang lain yang dia kemas sebegitu rupa hingga menjadi diri dia yang membuat kita suka. Menurut gue semua itu bukan karena pasangan kita udah berubah menjadi orang lain yang gak kita kenal atau gak ngertiin kita lagi tapi menurut gue semua itu karena dia perlahan sudah kembali kepada dirinya yang sebenarnya sebelum dia bertemu kita. Bukan berubah menjadi orang lain.
Seperti yang gue bilang sebelumnya kalau saat kita PDKT sama gebetan kita dulu kita sering tidak menjadi diri kita sendiri, kita menjadi diri kita yang lain menjadi orang lain yang seperti diinginkan oleh gebetan kita dengan alasan sederhana, agar dia terpesona, agar dia tertarik pada kita, dan agar dia menerima kita untuk menjadi kekasihnyasebagai tujuan akhirnya.
Kebanyakan kita mencoba menjadi orang lain dengan tujuan agar kita terkesan menarik dimata gebetan kita dan hanya untuk mengambil perhatian gebetan kita.
Dan gebetan kita yang saat masa pendekatan sudah terbiasa dengan sikap dan sifat kita yang sebenarnya bukan sifat kita yang sesungguhnya, akan merasa terkejut dengan perubahan kita, saat kita perlahan kembali kepada kita yang sebenarnya.
Sebagai contoh, kita yang awalnya cuek dengan apa yang orang lain lakukan. Misalkan, cuek kalau ada pengemis yang minta-minta sambil bilang dengan memelas,
‘Belum makan pak belum makan’.
Kita akan menjadi orang yang peduli dengan kesehatan orang lain, peduli dengan kesehatan gebetan kita dan kita peduli apakah dia sudah makan atau tidak, kemudian dengan manja kita mengingatkan dia makan, sok perhatian dengan alasan agar dia enggak jatuh sakit atau sekedar untuk menarik perhatian dia saja. Agar kita terlihat begitu peduli dimatanya, padahal sebenarnya kita itu pada dasarnya sifatnya tidak peduli sama sekali orangnya.
Kemudian kita melakukan hal yang gebetan kita inginkan agar dia tertarik kepada kita. Misalkan buat para cewek, saat kita dengar isu kalau gebetan kita suka cewek yang memakai jilbab, maka kita membalut kepala kita dengan jilbab tapi baju kita masih menggunakan kaos ketat atau celana skini jeans yang ketatnya minta ampun. Tuhan (mungkin) menangis kalau niat kita bukan karena meminta perhatian Nya tapi malah meminta perhatian gebetan kita yang notabene adalah mahklukNya.
Kita paksa-paksain buat memakai jilbab walau hanya didepan gebetan kita doang, tapi sewaktu gebetan kita enggak ngeliat kita kita kembali kealam kita, alam yang liar, make celana hotpants yang super mini.
Kemudian saat kita mendengar gebetan kita suka cowok atau cewek yang make behel kita pun ikutan make behel,  walaupun sebenarnya kita risih. Risih buat nutup mulut karena susah banget buat mingkem, gue pernah keselek karena nahan tawa liat cewek yang udah berulang kali mencoba tapi dia gak bisa mingkem yang kalo kita yang liat bukan dia yang risih tapi malah kita. Karena entah kenapa secara otomatis ketika kita (atau mungkin cuman gue) waktu ngelihat orang mencong-mencongin mulutnya karena gak terbiasa dengan behelnya akan membuat kita (atau mungkin cuman gue sendiri) juga secara refleks ikut-ikutan gerak-gerakin bibir juga. Seperti kerasa kena hipnotis.
Atau banyak yang awalnya jijik memakai make up dan berdandan menor, tapi karena ingin bertujuan memikat hati sang gebetan akhirnya memaksakan diri untuk bermake up tebal kaya make up boneka anabelle, pakai baju gaun indah padahal awalnya gak nyaman dan suka pake celana jeans, pakai sepatu berhak tinggi padahal awalnya suka pakai sepatu kets yang simpel.
Semua itu kita lakukan hanya untuk menarik perhatian seseorang yang kita sukai, kita menjadi orang lain yang bukan diri kita hanya sekedar untuk menyenangkan hati orang lain yang mungkin belum tentu melakukan hal yang sama seperti yang kita lakukan untuknya.
Pertanyaan gue yang sampai sekarang selalu ingin gue tanyakan kepada orang-orang yang sedang jatuh cinta dan menjadi orang lain adalah, ‘Kenapa lo harus menjadi orang lain, sedangkan diri lo sendiri begitu mengasyikkan’
Kenapa lo mesti jadi orang lain dan bikin diri lo menderita gitu buat mendapat perhatian dari orang lain. Kenapa lo mesti membohongi diri lo sendiri dan orang yang lo suka dengan berubah jadi orang lain hanya karena ingin menarik perhatiannya ??
Bukannya lo percaya kalau cinta itu jujur dan tidak membohongi ??
Bukannya lo percaya kalau cinta itu menerima apa adanya ??
Sikap kita yang menjadi orang lain untuk mendapat perhatian orang lain ini lah yang menurut gue gak masuk akal.
Menurut gue kita itu haruslah dicintai dengan apa adanya oleh mereka yang dia sukalah yang membuat kita akan terasa bahagia dan kita juga harus mencintai apa adanya oarng yang kita cinta.
Jika misalnya kita belum menerima kalau pasangan kita atau gebetan kita itu tukang kentut (misalnya), itu artinya kita tidak benar-benar mencintainya. Kita hanya sekedar mengaguminya saja.
Jika cinta maka jangan takut dengan pikiran kalau-kalau mereka gak suka  misalkan kita tidak seperti apa yang mereka inginkan, jika mereka benar-benar tidak suka dengan kita yang sekarang maka itu berarti mereka secara tidak langsung tidak menyukai kalian secara pribadi. Mereka tidak cinta kita apa adanya, cinta itu tidak akan mengubah sesuatu apapun untuk jadi lebih buruk, cinta itu juga tidak akan membuat kita menderita. Karena dengan menjadi orang lain secara tidak langsung akan membuat kita menderita, seperti seekor ikan yang dipaksa berjalan didaratan.
Mungkin akan bertahan dalam sesaat dan beberapa menit, tapi tidak untuk selamanya.
Jadi buat apa kita bersikeras untuk mempertahankan orang yang bahkan menerima kita apa adanya saja sudah sulit, yang bahkan tidak suka kita yang sebenarnya. Dan mereka yang mencintai kita apa adanya sebenarnya adalah mereka yang sebenar-benarnya orang yang benar-benar mencintai kita.
Mungkin ada beberapa dari kalian yang berbeda pendapat dengan gue karena ngerasa kalo kita itu harus berusaha untuk menggapai cinta dan berubah menjadi orang lain itu adalah salah satunya. Sebab gak ada yang benar-benar cinta kita kalau kita tidak selaras dengan tuntutan zaman. Bukankah dinosaurus punah karena dia tidak mencoba beradaptasi dan mencoba menjadi binatang lain.
Oke gue kalau ada yang berpendapat begitu, gue gak bakalan menyalahkan pendapat itu.
Tapi ada baiknya kalian belajar dari cinta orang tua kepada anaknya, mau anaknya sejahat apapun, mau anaknya sejelek apapun, mau anaknya sebodoh apapun, orang tua tetap mencintainya dengan tulus. Karena kenapa ?? bukan karena mereka itu orang tua dan wajar mereka berbuat seperti itu.
Itu karena orang tua kita menganggap kita adalah belahan jiwa mereka. Itu karena orang tua kita mencintai kita dan menerima kita tulus apa adanya, walaupun tidak banyak dari kita yang tidak mau menerima kalau ber-orang tuakan mereka. Tapi cinta itu adalah perihal mencintai walaupun tanpa harus berbalas cinta.
Karena menurut gue, jika ingin belajar tentang bagaimana cinta sejati itu maka lihatlah cinta orang tua kita kepada kita. Sebab sejati-sejatinya cinta, tidak ada yang bisa mengalahkan cinta sejatinya kedua orang tua kita kepada kita.
Begitu juga dengan pasangan kita, dia yang menganggap kita adalah belahan jiwanya adalah dia yang akan selalu menerima kita apa adanya seperti diri kita tanpa memaksa kita untuk berubah menjadi diri orang lain. Karena seekor ikan air laut akan tetaplah seekor ikan air laut, meski sesama ikan mau dipaksa sekeras apapun dia tidak akan pernah bisa hidup diair payau. Walaupun bisa dia akan menderita dan butuh waktu lama agar dia bisa berevolusi, dan kalaupun dia gagal berevolusi dia akan mati.
Begitulah dengan perihal mencintai dan dicintai.
PDKT adalah awal dari segala macam proses-proses hubungan. Sebuah pasangan tidak akan menjadi jadi sebuah pasangan jika tidak dimulai dengan fase pendekatan, sebuah pernikahan tidak akan menjadi sebuah pernikahan tanpa adanya pendekatan. Jadi baik buruknya sebuah hubungan itu dapat dilihat dari pendekatannya.
Jika dalam masa pendekatan salah satu dari kita sudah menjadi orang lain dalam menarik hati pasangannya maka menurut gue kalian tinggal menunggu masanya akan menunggu sang orang lain itu akan menjadi dirinya sendiri kembali karena seseorang tidak bisa terus menerus berubah menjadi orang lain.
Lagi pula itu sama saja bahwa dia sudah berani berbohong kepada kalian diawal.
Jika diawal saja dia sudah berbohong kepada kalian, maka bagaimana kedepannya nanti. Bisa jadi akan muncul kebohongan-kebohongan yang lainnya dimasa yang akan datang.
Lagipula, pendekatan adalah sebuah tolak ukur bagaimana melihat hubungan kalian nanti kedepannya kalau kalian akan jadian misalnya.
Kalau diawalnya saja sudah dimulai dengan pencitraan dan kebohongan maka kedepannya juga bakalan sama.
Jadi menurut gue jadilah diri sendiri ketika kalian memulai sesuatu yang kalian ingin dan berharap menjadi baik tujuannya pada selanjutnya, apa lagi kita berharap akan berjalan dalam masa yang sangat panjang. Karena jika kalian menjadi diri kalian sendiri sejak kalian melakukan pendekatan, itu berarti kalian telah jujur untuk mendapatkan mereka yang benar-benar ingin kalian cintai.
Dan juga jika kita sudah menjadi diri sendiri, maka kita tidak akan repot-repot lagi untuk terus berbohong dan menjadi orang lain atau kita tidak perlu lagi takut kalau kita akan berubah lagi, karena kita memang sudah menjadi apa yang sudah awal sudah menjadi diri kita sendiri.
Selain itu, jika kita sudah menjadi diri sendiri. Maka kita akan tahu siapa yang benar-benar menyukai kita apa adanya dan mana yang tidak.
Dengan menjadi diri kita sendiri maka kita akan secara tidak langsung berkata kepada orang yang kita sukai atau yang suka dengan kita bahwa –it’s me- inilah aku, kalau kamu suka ya terima, kalau tidak suka ya tinggalkan.
Bukankah tujuan kita untuk menjadikan mereka yang kita cinta itu untuk menjadi pasangan kita adalah sebenarnya baik. Tapi kenapa kita harus dimulai dengan kebohongan dengan menjadi orang lain.
‘Agar mereka lebih tertarik kepada kita’
Mungkin mereka yang berubah menjadi orang lain ketika pendekatan banyak yang berpikiran seperti itu, tapi sebenarnya menurut gue kalau gebetan kalian itu gak suka dengan diri kalian sendiri dan lebih memilih kalian yang menjadi orang lain, itu artinya dia memang tidak suka dengan kalian dengan kepribadian yang kalian miliki sebenarnya dan lebih memilih dengan orang lain dalam arti harfiah.
Karena yang dia cintai itu adalah bukan kalian seutuhnya tapi kalian yang berbentuk orang lain atau orang lain yang berbentuk kalian.
Sejauh mana seseorang akan tahan berbohong ?? terlebih lagi itu tentang kepribadiannya sendiri ??
Tidak ada kebohongan yang bisa lama tertutupi, karena seperti kata pepatah –Busuk bangkai akan ketahuan juga pada akhirnya-.
Jadi sampai sejauh mana kita akan bertahan menjadi diri orang lain demi pasangan kita ?? jawabannya tidak akan bertahan lama. Sebab suatu masa nanti kita akan menyerah dalam berpura-pura.
Perlahan-lahan kita sendiri yang akan merasakan kalau kita tidak mampu bertahan menjadi orang lain itu, kita akan perlahan-lahan kembali kepada diri kita sendiri. Kita yang awalnya saat pendekatan dengan gebetan selalu perhatian dengan gebetan akan perlahan-lahan mengendurkan perhatian kita dan mulai turun tensi perhatian kita. Seperti sebuah euforia masyarakat Indonesia dengan batu akik yang perlahan-lahan akan menurun.
Begitulah kita dengan gebetan kita kalau kita saat pendekatan menjadi orang lain. Kita yang saat pendekatan mengingatkan gebetan kita buat makan saat itu sebanyak tiga kali sehari, sekarang perlahan menurun menjadi cuman satu kali sehari. Kita yang awalnya saat pendekatan telponan dengan gebetan kita sanggup tiga sampai empat jam sekarang saat sudah lama menjadi pasangan mulai menurun intensitasnya menjadi cuman nelpon pasangan kita saat-saat penting aja karena antara udah gak ada lagi yang mau diomongin atau karena sayang pulsa.
Intinya semua akan kembali pada awalnya pada waktunya.
Jadi menurut gue, saat ada orang yang berkata ‘Kamu sudah berubah bla bla bla’. Itu adalah kekeliruan besar.
Bukan dia yang telah berubah, atau bukan kamu yang merasa dia sudah berubah. Tapi dia yang sudah kembali pada sifat awalnya, karena sebetulnya pada awalnya kalian bertemu dengan gebetan kalian adalah dia yang sudah berubah dari dirinya sendiri menjadi orang lain karena ingin mendapatkan kalian.
Jadi menurut gue kalau kalian pada saat pendekatan dengan gebetan kalian atau seenggaknya sampai separuh masa jadian kalian tetap menjadi diri kalian sendiri, maka kata-kata ‘Kamu udah berubah’ itu akan mustahil terdengar walaupun sayup-sayup jika terjadi pertengkaran.
So, jadi diri sendiri atau orang lain dalam berhubungan demi mendapatkan cinta pasangan kalian itu menurut gue sangat menentukan untuk membuat cinta itu manis atau tidak.
Tapi gue berpendapat sebaik-baik orang itu adalah diri sendiri.
Karena orang lain bisa berbohong kepada kita tapi diri kita sendiri tidak akan pernah bisa berbohong pada diri sendiri, akan ada satu sisi dimana kebenaran itu masih terlihat didalam diri.
So, be yourself.
Menurut gue, untuk mendapatkan cinta lo gak perlu harus ngorbanin diri lo untuk menjadi orang lain, yang hanya sekedar untuk mendapat perhatian dari gebetan doang.
Karena kita mungkin saja menjadi orang lain seperti apa yang gebetan kita ingin kan, tapi itu hanya sementara. Kita gak bisa selamanya dan terus-terusan jadi orang lain, karena kita adalah kita, bukan dia ataupun mereka. Bukankah Nabi Muhammad SAW juga pernah bilang kalau ‘Agamu agamu, agamaku agamaku’, secara tidak langsung ini juga menyatakan kalau kita disuruh menjadi diri sendiri dan tak perlu menjadi orang lain atau ikut-ikutan menjadi orang lain.
Sebab cinta itu bukan perihal memberi, tapi juga menerima tanpa pamrih.
Menerima tanpa memilih tentang apa yang mereka beri. Karena jika kita tidak suka dengan pemberian orang maka kita berhak menolaknya.
Gue sebenarnya adalah orang yang gak suka kalau mendengar seseorang yang baru mulai pendekatan aja udah banyak maunya, seperti
‘Aku suka cewek yang berjilbab, coba deh kamu pakai jilbab’
Atau
‘Aku suka cewek yang pakai baju gak buka-bukaan, coba deh kamu pakai baju kurung’
Atau
‘Aku sukanya sama cewek yang pake behel, coba deh kamu pasang behel’
Ini bukannya apa, ya siapa tau aja sicewek belum mau pakai jilbab, atau siapa tau emang cewek lebih suka pakai bakaian seksi karena gak mau jadi munafik, yang didepan kamu pakai pakaian soleha tapi dibelakang kamu malah jadi orang lain. Atau siapa tau kan sicewek giginya aman-aman aja jadi gak perlu dipasang pager segala.
Jadi menurut gue, buat cowok yang suka kayak gini, yang suka menyuruh-nyuruh cewek atau gebetannya berubah, apa kalian sayangnya sama pasangan kalian aja, gak sayang sama orang tua kalian ??
Karena pernah dulu gue ketemu, seorang cowok yang sibuk nyuruh-nyuruh ceweknya buat pake jilbab tapi waktu gue lihat mamanya malah gak pake jilbab sama sekali.
Ini gue pikir, lo sayang orang yang belum tentu jadi pasangan lo ketimbang lo sayang ibu kandung lo sendiri. Dan menurut gue orang kayak gini drama banget.
Begitu juga cewek terhadap cowok, terimalah diri mereka apa adanya. Jangan memaksa mereka untuk berubah menjadi apa yang kamu inginkan jika suatu hari nanti kamu gak ingin mereka akhirnya kembali kepada diri mereka yang sebenarnya yang tidak kamu inginkan.

Toh, kalau kalian gak suka dengan diri seseorang kalian tidak perlu memaksanya untuk menjadi apa yang kalian inginkan.

Kamis, 04 Agustus 2016

Drossen


Adakalanya kita bosan dan penat dengan kehidupan yang kita jalani, dengan dunia ini, dan dengan segala hiruk-pikuk didalamnya, sampai terasa ingin hati ini sejenak pergi kedimensi lain yang lebih tenang dan bisa menenangkan diri ini.
Terkadang kita mencoba untuk mencari tempat lain yang baru agar rasa bosan itu hilang.
Meskipun dunia ini luas, dan semesta ini tak terhingga sampai kemana ujungnya, tapi kita tak secepat itu menemukan tempat yang menurut hati kita cocok untuk melepas kepenatan yang ada padanya dan pikiran kita. Karena terkadang selalu ada saja hal yang terasa kurang didalam hati.
Ini bukan masalah tempat, ini bukan tentang pantai, gunung, hutan, perkebunan hijau, atau padang rumput yang hijau nan indah, dan bukan pula masalah taman bunga yang penuh dengan warna-warni menggoda hati. Tapi ini tentang rasa dan selera.
Terkadang pula kita telah mencoba untuk mencari tempat untuk berbagi keresahan hati agar bisa lepas semua beban yang ada dipikiran dan perasaan ini dan hilang dengan serta merta. Tapi tetap saja kita selalu merasa ada yang kurang pada tempat itu.
Meskipun manusia didunia ini banyak, ribuan, jutaan, milyaran, atau mungkin bahkan triliunan jumlahnya. Tapi untuk menemukan orang yang cocok agar semua rasa resah ini hilang sangatlah tidak mudah. Sebab kita berhadapan dengan manusia yang sama seperti kita, kepala saja yang sama-sama ditumbuhi oleh rambut tapi isi didalamnya siapa yang tahu apa yang sedang terpikirkan olehnya.
Mencari orang untuk mendengarkan keresahan kita itu mudah, sebab pada dasarnya hampir semua orang ingin mendengar keluhan kita. Bukan karena mereka peduli dan bersedia untuk mendengar, tapi lebih karena dia ingin tahu rahasia kita, ingin tahu perasaan kita yang orang lain bagi mereka. Bukankah, kebanyakan orang lebih menyukai hal yang belum diketahui olehnya dan orang lain.
Begitu dia sudah tahu akan hal yang membuat dia tertarik perhatiannya, maka setelah itu dia akan meninggalkan kita dan tidak mempedulikan apa yang sudah kita kabarkan kepadanya tentang keluhan kita. Dia pergi tanpa memberikan solusi, sedangkan kita sudah memberi semua rahasia kita kepadanya. Tidakkah ini curang.
Setidaknya begitulah sebagian besar tabiat orang.
Mereka peduli bukan karena mereka peduli, tapi mereka peduli hanya untuk menertawakan. Hanya sedikit orang-orang yang benar-benar peduli, mungkin setelah kau menemukan sepuluh orang yang tidak peduli kepadamu barulah kamu menemukan orang yang benar-benar peduli itu.
Aku bukanlah orang yang suka berbagi rahasia kepada orang lain,walaupun itu ayah dan ibuku. Sebab rahasiaku adalah harga diriku menurutku, jika semua orang tahu rahasiaku maka akan semakin kecil harga diri yang aku punya.
Lagipula, aku merasa orang-orang disekitarku hanya ingin tahu rahasiaku saja, hanya ingin masalahku dan setelah itu, setelah dia tahu semua rahasiaku maka dia akan pergi meninggalkanku sebab aku tidak ada lagi cerita yang bisa kubagi bersama mereka, tidak ada lagi rahasia yang bisa kuberitahukan lagi kepada mereka.
Mereka pergi, tanpa meninggalkan pesan atau solusi untuk masalah yang kuceritakan kepada mereka.
Bahkan terkadang untuk mereka yang kejam, mereka tega untuk membagikan ceritaku yang kuceritakan kepada mereka tanpa meminta izin kepadaku lebih dahulu. Tanpa bertanya apakah aku memperbolehkan mereka untuk menceritakannya lagi cerita itu kepada orang lain. Dengan ditambah bumbu-bumbu sedikit yang bahkan kenyaaannya berbeda sekali dengan yang kuceritakan kepada mereka, mereka menceritakannya kepada orang lain.
Agar terlihat seperti drama, mungkin itu maksud mereka. Atau mungkin karena tujuan-tujuan lainnya yang tidak pernah terpikirkan olehku ingin seperti yang dia ceritakan itu.
Maka dari itu aku lebih memilih diam daripada kehilangan teman.
Ya, meski jika aku bercerita kepada mereka dan skenario itu terjadi dia tetaplah temanku. Tapi jika itu terjadi, teman yang selama ini berasa dekat akan terasa menjauh karena problema demikian.
Sebab aku tidak minta didukung ataupun dihujat karena ceritaku, tapi aku hanya ingin didengar dan jika tidak bisa memberi solusi maka jangan dibagikan dengan tambahan berita yang tidak pada kenyataannya.
Sebab kau temanku, bukan musuhku.
****
‘Drossen......’
Hanya pada buku bersampul hitam ini aku percayakan semua keluhanku, keresahanku, dan kebosananku. Keluhan, keresahan, dan kebosananku pada semesta, dunia, orang-orang didalamnya, dan juga pada dia yang telah berulang kali membuatku jatuh dan cinta lagi.
Drossen...
Tak sekalipun dia mengeluh karena mendengar keluhanku, tak sekalipun dia bosan mendengar kebosananku, dan tak sekalipun dia membantah ketika aku ingin menceritakan keresahan hatiku. Dia selalu setia mendengarkan apa yang aku keluhkan, apa yang aku resahkan, dan apa yang menyebabkan aku bosan pada hari ini. Dia diam tanpa membantah, menyela, ataupun balik mengeluh kepadaku. Dia tetap setia mendengarku, kapanpun aku mau, meski terkadang aku lupa waktu. Sebab keluhan, keresahan, dan kebosanan yang aku rasakan datang setiap waktu tanpa mengenal jadwal. Meskipun tengah malam aku ingin mengeluh, dia tetap menemani aku. Meski tengah malam aku resah, dia masih terbangun untukku. Meski tengah malam bosan datang menemuiku, dia bersedia mendengar ceritaku.
Dia sahabat terbaikku, ketika para orang-orang yang kuanggap sahabat pada masa sebelumnya tidak menunjukkan lagi kalau mereka ingin menjadi sahabatku.
Entah karena aku yang telah berubah, atau karena mereka yang kurasa telah perlahan berubah. Aku tidak tahu, dan aku tidak mau tahu. Karena aku tidak ingin mempermasalahkannya, karena aku tidak ingin menghakimi mereka dengan pemikiran dan sudut pandang yang salah. Sebab terkadang sudut pandang itu menyudutkan.
Drossen..
Tak sekalipun dia menyela ceritaku, dan menghakimiku walaupun terkadang aku memang bersalah. Dia memilih dia dan memahami dan itu sudah cukup menurutku. Karena memahami seseorang tidak perlulah dengan kita dengan memperlihatkan bahwa kita seolah-olah peduli kepada mereka dan kepada masalah mereka, jika itu hanya pura-pura saja dan hanya untuk menyenangkan hatinya.
Sebab diam juga bisa berarti kita memahami keadaan yang terjadi. Sebab diam itu emas.
Ya, walaupun terkadang banyak yang beranggapan kalau jika diam itu emas, tapi jika lebih baik berbicara maka beribicaralah karena berbicara itu berlian’.
Aku merasa, tidak se-spontan itu kita bisa memberikan berlian dalam setiap pembicaraan kita. Apa lagi untuk sebuah masalah yang baru kita dengar. Sebab dari yang banyak kulihat, kebanyakan mereka berbicara hanya untuk menunjukkan kalau mereka seolah-olah peduli dan ingin membantu.
Jika ingin membantu, kenapa harus dengan pura-pura ??
Tidak ada yang bisaa diselesaikan dengan pura-pura, sebab sebuah kepura-puraan hanya akan bertahan sejenak dan suatu hari nanti akan menimbulkan masalah yang merupakan rentetan dari kepura-puraan kita.
Drossen..
Dia tidak pernah berpura-pura, oleh karena itu dia hanya setia dalam diamnya untuk mendengarkan apa yang aku keluhkan, apa yang aku rasakan, dan apa yang menjadi pusat kebosananku.
Sebab itulah yang aku cari.
Aku bercerita tidak untuk ditanggapi ceritaku, dan tidak pula untuk dibagikan kepada orang-orang yang tidak tahu siapa aku yang merupakan sumber dari cerita itu. Sebab aku ini bukanlah seorang pekerja marketing yang butuh pemasaran yang luas agar apa yang kuceritakan diketahui oleh banyak orang, dan aku bercerita tidak pula untuk dibalas. Aku hanya sekedar untuk menumpahkan rasa sesak yang membuat sempit hulu hati ku ini dan seakan menutup paru-paru didada ini.
Aku merasa jika aku menceritakan ini kapada yang lain maka akan tumpahlah semua rasa itu, seakan-akan seperti orang yang selama ini dibekap dan baru menghirup gas oksigen yang melayang tersebar diudara sekitarnya. Tapi aku bukan karena aku telah bercerita maka kau sekendak hati menceritakan ulang cerita ini kepada orang lain dengan seenak hati, dan aku juga tidak ingin kau tertarik pada keresahanku hanya karena kau ingin tahu rahasiaku.
Aku ingin kau mendengarkanku saja tanpa ada tujuan apapun. Sebab yang punya tujuan untuk bercerita itu adalah aku, dan kuharap kau mendengarkannya saja.
Kukira akan susah untuk menemukan mereka yang seperti itu, yang ingin mendengarkan keluhan ini, yang ingin mendengarkan keresahan ini, dan yang mengerti kemudian mendengar kebosananku ini, tanpa harus takut kalau akan didengar orang lain yang tak ingin aku mereka dengar, tanpa harus takut dan berpikiran jelek kalau mereka hanya ingin tahu rahasiaku saja.
Drossen..
Dialah yang kuharapkan selama ini.
Dialah yang aku cari selama ini, kala aku merasa resah, dan bosan. Dialah tempat aku membagi semuanya. Dia adalah sahabat bisuku yang setia.
Dia datang kalau aku merasa kebingungan sementara resah dan bosan sesak memenuhi hati dan pikiran ini. Dia jalan keluar dari masalahku ini.
Dia sangat kupercaya, sebab hanya kepada dialah aku menyerahkan semua daftar rahasia dalam diriku. Mulai dari yang paling absurd sampai keapada hal yang sangat serius. Dia saksi bisu tentang bagaiamana perasaan hati ini yang berung kali jatuh dan kemudian cinta pada wanita yang sama berkali-kali, dan dia jugalah saksi bisu bagaimana perasaan hati ini ketika mendapati bahwa diri ini berpisah pada orang itu.
Drossen..
Dialah saksi bisu, bagaimana perasaan hati ini dihari-hari yang dirasa hati ini terasa bahagia.
Sebab aku tidak ingin membagikan hal yang buruk saja kepadanya, sebab aku tidak ingin membagikan keresahanku saja kepadanya, sebab aku tidak ingin datang mengeluh saja kepadanya, dan sebab aku juga tidak ingin datang kepadanya hanya ketika aku bosan kepada dunia saja. Dan ketika aku bahagia, ketika aku tidak sedang resah, ketika aku tidak ingin mengeluh, dan ketika aku tidak merasakan bosan kepada dunia, aku melupakannya. Meninggalkannya didalam laci meja belajarku.
Aku tidak seperti itu.
Aku tidak sejahat itu kepada dia yang sudah kuanggap sebagai sahabat terbaikku.
Dia adalah tempat semua rahasia dan perasaanku, aku ungkapkan. Bahkan dalam keadaan aku berbahagiapun aku selalu membagikan dengannya, aku tidak akan melupakannya, semua kubagikan padanya. Aku tidak akan menjauhinya hanya karena kebahagiaan yang kudapat pada hari ini, seperti orang-orang yang ketika sedang kesusahan dalam dirinya memanggil teman tapi begitu sudah merasa tidak membutuhkan bantuan lagi dia melupakan teman.
Aku ingin menjadi seorang seperti itu.
Sebab aku tahu benar bagaimana rasanya diperlakukan seperti itu.
Dear drossen.
Hari ini aku tidak ingin bercerita apapun kepadamu, baik itu tentang keresahan, kebosanan, ataupun kebahagiaan yang kudapat hari ini. Aku hanya ingin bercengkrama denganmu saja, agar kau tahu bagaimana perasaanku terhadapmu, bagaimana aku telah mempercayaimu dan menganggapmu melebihi mereka yang kuanggap teman diluar sana.
Dan terakhir kataku padamu.
Jangan pernah bosan untuk mendengar ceritaku, meski kau telah letih dengan itu.
Disudahinyalah tulisannya malam itu dibeberapa lembar buku catatan bersampul hitam miliknya, sepenggal kalimat terakhir yang menjadi kalimat penutup itupun mengakhiri ceritanya kepada sang ‘Drossen’, tempat dia selama ini melarikan diri dari apa yang sedang dia rasakan disetiap waktu diakhir hari dalam perenungannya.
Ini adalah ‘Drossen’, tempat pelarian dirinya dari semua kepenatan dan apa yang sedang dia rasakan. Dia merasa seakan-akan menemukan kebebasan untuk bernafas dan berbicara tentang apa yang sedang dia rasakan tanpa harus takut akan hujatan, cemo’ohan, kemarahan orang, ataupun hal-hal lain yang kiranya akan membuat dirinya berkonflik pada diri orang lain.
Disini dia merasa menjadi diri sendiri, tanpa perlu berpura-pura menjadi orang lain dan tanpa perlu pula takut ada yang mengganggunya.
Ini adalah dunianya, setidaknya seperti itulah yang ada dalam pikirannya dan setidaknya seperti itulah dia merasa. Semua yang dia rasakan dia keluarkan disana, dia teriak, dia marah, dia mencaci, bahkan dia menangis, dan tertawa bahagiapun dia lakukan disana.
Ini adalah fantasinya, sebuah alam fatamorgana yang dia ciptakan dari sebuah buku bersampul hitam yang dia dapatkan ketika ulang tahunnya beberapa tahun yang lalu. Sampul kelam yang gelap, cocok untuk sebuah tempat bagi orang yang ingi melarikan diri dari hal yang mengejarnya.
Layaknya tempat yang gelap, seperti kegelapan kota Paris dimana para pelarian menemukan kenyamanan dan keamanan dari yang mengejar mereka disana. Walaupun tak banyak dari para pelarian itu yang merindukan rumah mereka sendiri dan dunia mereka sebelumnya.
Drossen, keindahan yang menyelubungi kegelapan. Atau lebih tepatnya kabut hitam yang dilingkupi dan dilapisi dengan keindahan. Menggambarkan dua sisi kepribadian sang pemiliknya. Yang tertawa keras layaknya komedian didepan layar tapi menangis sendu sedih ketika layar perlahan diturunkan dan penonton tak lagi bisa melihat wajahnya.
Sebuah hal yang ironis jika kita bisa membacanya.
Layaknya kita sedang dihadapkan pada sang Dokter Hidden Jeckyll, yang suatu saat menjadi orang yang bersahaja dan baik hati, tapi dilain waktu menjadi orang yang liar dan seakan didunia ini tidak ada yang bisa membendungnya, tak ada yang bisa memagari dirinya.
Potret dari kenyataan bahwa dunia ini tidak seperti apa yang kita lihat, bahwa dunia ini tidak bisa dinilai dengan satu sudut pandang saja. Perlu banyak sudut pandang untuk menilai dunia, atau mungkin jika ingin menilai dunia kita tidak bisa memakai sudut pandang. Sebab dunia ini bulat tak bersudut, maka dari itu sudut pandang tak bekerja untuk menilai dunia. Layaknya semesta yang tak berujung, yang tidak bisa terka apa yang ada ada didalamnya.
Seperti itulah ketika menilai seseorang.
Tidak hanya sekedar butuh referensi untuk menilai seseorang, bahkan apalagi referensi dengan menggunakan sumbar dari ‘kata orang’. Sebab jika kita sudah berani menilai seseorang, maka itu artinya kita sudah berani berkomentar pada sang penciptanya dan sudah berani berhadapan dengan apa yang akan kita terima dari sang penciptanya.
Seperti layaknya kita menilai dengan sesuka hati tanpa pertimbangan yang jelas dan masuk diakal sebuah karya seni seseorang didepan sang penciptanya. Mungkin apa yang kita nilai itu akan diterima oleh sang pencitptanya jika itu bersifat membangun, tapi jika hujatan yang kita sampaikan ?? Apakah kita sudah siap dengan reaksi dari sang pencipta mahakarya itu.
Disisipkannya kalam alat penulis tadi pada sebuah kaitan kecil disampul ‘Drossen’, dan setelah itu ditutupnya ‘Drossen’.
Hari sudah malam, dia sudah lelah. Apa yang dia rasakan sudah dia ceritakan pada ‘Drossen’, tidak ada hal lain lagi yang dia ingin lakukan pada malam itu. Sudah saatnya bagi dia untuk memejamkan mata dan sejenak mengistirahatkan diri yang sejak dari pagi tadi sudah setia membawanya berjalan, berkelana, melanglang buana menembus hiruknya kehidupan dunia.

Dunia mimpi sudah menunggunya untuk tidak sabar memintanya untuk dijelajahi.